46 Tahun YLKI – Legitimasi Gerakan Konsumen

783 views

Tidak banyak masyarakat yang mengetahui, lembaga seperti apakah YLKI itu? Ketidaktahuan ini memunculkan beragam komentar di media sosial milik YLKI. Beberapa apresiasi dari konsumen terekam, tetapi nada sumbang dan komentar negatif tak kalah banyak – terutama ketika aduan/laporan via media sosial tidak dapat segera diselesaikan. Lantas netizen berasumsi YLKI pantas dibubarkan, sebab tidak berguna dan hanya menghamburkan uang negara.

Ekpektasi netizen dan anggapan bahwa YLKI merupakan lembaga negara, yang memiliki cabang di seluruh Indonesia, menjadi salah satu penyebabnya. Sebagai “lembaga yang menetek negara”, netizen menganggap YLKI ditopang oleh sumber daya manusia yang cakap dan cukup, dengan sokongan anggaran belanja memadai. Selayaknya dituntut sigap melayani pengaduan maupun memberikan informasi yang dibutuhkan netizen terkait isu konsumen.

Tetapi secara faktual tidak seperti itu. Alih-alih lembaga negara, hingga kini YLKI tetaplah sebuah Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang memiliki keterbatasan; baik sumber daya manusia (SDM), maupun anggaran belanja yang menopang aktivitas lembaga.

Satu-satunya yang masih membuat YLKI tegak berdiri (hingga 46 tahun) karena semangat untuk terus mendampingi konsumen. Sejauh ini, keberadaan YLKI dan tetap dibutuhkan, kredibilitas dan integritasnya masih diakui. Kegiatan advokasi, penyuluhan dan informasi yang disebarkan oleh YLKI tetap dipandang dan diakui oleh para pengambil kebijakan, pelaku usaha dan masyarakat.

YLKI yang lahir pada 11 Mei 1973 oleh kelompok ibu-ibu, awalnya tidak terfokus pada perlindungan konsumen, tetapi pada pengembangan produk lokal/nasional. Suatu ketika kelompok ini mengadakan fashion show pakaian batik produk dalam negeri, ketika seorang jurnalis menanyakan, jika batiknya luntur, kemana mengadu? siapa yang hendak melindungi konsumen?

Dari pertanyaan itu, kelompok ibu-ibu tersebut terbersit ide mendirikan lembaga penyambung suara konsumen. Mereka adalah Ibu Sujono P, Ibu SK Trimurti, Ibu Soemarno, dan Ibu Lasmidjah Hardi yang membidani lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLK), dan mengangkat Ibu Lasmidjah Hardi menjadi ketua.

Dari era 70-an hingga era 80-an, YLK benar-benar lembaga sosial yang sumber dananya lebih banyak dari urunan para pendiri. Pada masa ini, beberapa pengurus dan ketua YLK terus berjuang hingga ke daerah-daerah untuk ikut membantu mendirikan lembaga konsumen di daerah. Intinya, sebanyak mungkin melibatkan masyarakat dalam perlindungan dan pemberdayaan konsumen, menjadi sebuah gerakan yang bersifat massif, tidak lagi bersifat ekslusif.

Memasuki era 80-an, YLK bertriwikrama menjadi YLKI dengan membubuhkan Indonesia di belakang. Jejaknya juga semakin kentara ketika aktif menuntut kehadiran negara dalam melindungi konsumen dalam bentuk regulasi. Tahun 90-an, YLKI terlibat dalam penyusunan rancangan undang-undang perlindungan konsumen, yang akhirnya disahkan pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie, pada April 1999 menjadi Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) .

Sumber Dana

Salah satu kritik keras yang senantiasa terlontar ke hampir semua LSM adalah bahwa LSM menjadi perpanjangan kepentingan asing di Indonesia. Benarkah itu? Dan bagaimana dengan YLKI?

Tidak memungkiri, bahwa untuk menjalankan roda aktivitas lembaga, kerjasama dengan asing dibutuhkan. Tetapi YLKI juga terikat pada kode etik yang sangat ketat. Diantaranya adalah kebebasan dalam membuat perencanaan dan aktivitas di lapangan. Selain itu, pertanggung jawaban terhadap lembaga asing juga cukup ketat, dengan adanya audit yang menyeluruh terhadap keuangan lembaga. Dengan kata lain, dana yang digelontorkan benar-benar untuk kepentingan publik.

Jadi, ketika di masa lampau ada sebuah funding yang merasa terancam oleh aktivitas advokasi YLKI dan mendesak agar tidak melakukan hal tersebut, YLKI berpantang surut ke belakang. Bisa ditebak, funding tersebut menarik dana hibahnya dari YLKI.

Dalam menjalin kerjasama dengan funding, YLKI sangat selektif. Lembaga dana yang jelas memiliki catatan hitam, atau memiliki agenda terselubung yang bertolak belakang dengan semangat perlindungan konsumen, jelas akan ditolak. Barangkali idealisme seperti inilah menyebabkan lembaga donor yang bekerjasama dengan YLKI terbatas jumlahnya.

Satu hal yang sangat penting, sebagai lembaga yang berbasis di Indonesia, YLKI juga tidak harus bergantung terus menerus kepada funding asing. Sebisa mungkin, YLKI akan menggali potensi dari dalam negeri, khususnya penggalangan dana dari masyarakat (publik). Prinsipnya, segala gerakan dan advokasi yang dilakukan YLKI merupakan gerakan dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Langkah ke arah tersebut mulai dijajaki dengan belajar kepada lembaga donor, bagaimana cara melakukan penggalangan dana publik. Beberapa pengujian yang dilakukan oleh YLKI, seperti pengujian air minum dalam kemasan, air minum isi ulang, melamin dalam susu, adalah dari dana publik bekerjasama dengan Dompet Dhuafa.

Memang, jika dicermati, jangankan lembaga lokal, bahkan lembaga asing seperti WWF maupun UNICEF, sukses mencari penggalangan dana publik di Indonesia. Artinya, ada juga peluang bagi YLKI menggalang dana publik secara legal, demi penguatan perlindungan konsumen di Indonesia.

Padahal salah satu legitimasi gerakan konsumen yang solid adalah melalui penggalangan dana publik. Jika pengujian produk yang dilakukan oleh YLKI berasal dari dana masyarakat, maka hasil kajian merupakan milik publik dan keraguan mengenai independensi penelitian bisa direduksi. Karena bukankah ini dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat?.

Begitu juga jika ada pengaduan komoditas strategis bagi konsumen, penggalangan dana publik juga bisa dilakukan. Sehingga masyarakat tidak perlu khawatir mengenai biaya operasional jika akan melakukan class action, ataupun gugatan kepada pelaku usaha pelanggar hak-hak konsumen. Ada subsidi internal, yang mampu membiayai yang kurang mampu. Kasus biro perjalanan umroh bermasalah (2018) merupakan succes story dari penggalangan dana untuk advokasi konsumen.

Ke depan, di era digital ekonomi, banyak aktivitas transaksional beralih melalui pasar digital, menjadi tantangan tersendir bagi YLKI untuk beradaptasi dan berinovasi dalam advokasi. Sebab era digital ekonomi di satu sisi memberikan pilhan bagi konsumen, namun juga membawa risiko yang cukup besar bagi konsumen. Mencuatnya kasus fintech dan pinjaman online menjadi tengara bahwa negara abai dalam memberikan perlindungan bagi konsumen. Sudah saatnya konsumen berdaya bergandengtangan merebut hak-haknya yang terampas.

Lantas, bagaimana masyarakat konsumen dapat percaya bahwa penggalangan dana ini tidak disalahgunakan? Secara berkala, semua kegiatan YLKI termasuk sisi budgeting dikontrol oleh audit publik untuk mempertanggungjawabkan kegiatannya. Bahkan, sesuai dengan code of conduct yayasan, YLKI berkewajiban mempublikasikan posisi keuangannya.

Selain kegiatan pengujian maupun pengaduan, kegiatan advokasi juga bisa dilakukan dengan legitimasi yang lebih kuat. YLKI tidak punya kepentingan terhadap pihak yang diadvokasi, semata-mata merupakan kepentingan masyarakat yang hendak dibela ataupun diperjuangkan kepentingannya.

Esensi dari tulisan ini bahwa gerakan perlindungan konsumen membutuhkan partisipasi masyarakat secara luas. Peran aktif, solidaritas, dukungan dan kontribusi masyarakat, baik berupa materiil maupun imateriil. Tanpa peran aktif, suara konsumen hanya sayup sayup di telinga pembuat kebijakan. Tidak ada perubahan kebijakan berarti, karena kuatnya lobi industri ataupun perusahaan terhadap pengambil kebijakan di Indonesia.

Setiap dari kita merupakan konsumen, dan setiap dari kita merupakan bagian dari gerakan pemberdayaan konsumen. YLKI hanya salah satu wadah dari kelompok konsumen yang peduli pada hak dan kewajiban.

Selamat ulang tahun YLKI

Admin

” Di era digital ekonomi ini masyarakat menjadi mudah mendapatkan akses memperoleh  produk dan terpapar iklan produk obat dan makanan. Hal ini bisa menguntungkan konsumen namun juga terdapat risiko. Peran YLKI menjadi semakin diharapkan untuk melindungi konsumen Indonesia. Selamat Ulang Tahun YLKI Ke – 46. Semakin matang dalam kiprahnya membuat masyarakat Indonesia cerdas sebagai konsumen dan melindungi masyarakat serta membangun masyarakat bermartabat dan maju. Terimakasih atas kerjasama dan kemitraan bersama Misi Badan Pengawas Obat dan Makanan”  – Dr Ir Penny K Lukito, MCP (Kepala Badan POM)

 

“YLKI dicari dan dicintai manakala ada hak-hak konsumen yangterciderai. YLKI semakin diakui mengingat peran lembaga yang sangat objektif dan berimbang. BPJS Kesehatan merasakan peran objectif dan berimbang dari YLKI dalam memberikan kritik konstruktif terhadap pelayanan yang dijalankan BPJS Kesehatan. Situasi di era digital ekonomi akan menjadi tantangan khusu YLKI. Selamat berjuan YLKI, dan Selamat Ulang Tahun ke-46. Jaya Selalu. YLKI untuk Bangsa! – Prof Fahmi Idris (Dirut BPJS Kesehatan)

 

“Selamat Ulang Tahun YLKI yang Ke-46. Harapan Konsumen, YLKI terus memberi advokasi, mendampingi, mencerdaskan konsumen dalam memulihkan hak-haknya. Semoga” – Ir. Ardiansyah Parman (Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional/ BPKN)

 

“Selamat Ulang Tahun YLKI yang e-46. Semoga tetap konsisten mengemban amanah konsumen Indoensia di era digital ekonomi saat ini. Dan semoga sukses sebagai lembaga konsumen yang terpercaya di Indonesia. Bravo YLKI!!” – Ituk Herarindri (Direktur Airport Service PT Angkasa Pura II)

 

“Selamat Ulang Tahun YLKI yang Ke-46. Semoga dapat terus menjadi wadah informasi dan pendidikan bagi konsumen dan mendoorng pelaku usaha industri untuk selalu memberikan pelayanan terbaik kepada konsumennya, serta menjadi momentum bagi YLKI untuk terus menjadi mitra bagi pelaku industri untuk bersama-sama menciptakan kosumen serdas dalam memajukan negeri.” – Juliandra Nurtjahjo (Dirut PT Citilink Indonesia)


Source: YLKI

Tags: