Anomali Kebijakan Publik Eksplorasi : Berdampak Negatif Terhadap Masyarakat Konsumen

saidsutomoDalam tahun 2006, paling tidak ada dua kegiatan usaha eksplorasi yang berdampak negatif terhadap masyarakat konsumen di Jatim. Konten masyarakat konsumen yang dimaksudkan dalam konteks tulisan ini adalah masyarakat konsumen dalam pengertian luas, yaitu kelompok masyarakat konsumen yang kebutuhan konsumsinya untuk kepentingan komersial yang dikenal dengan sebutan “konsumen antara”, dan kelompok masyarakat konsumen yang perilaku konsumsinya untuk kepentingan konsumsi langsung yang disebut “konsumen akhir”.

Pertama, dampak negatif semburan Lumpur panas PT. Lapindo Brantas Inc. di Porong Sidoarjo yang sampai hari ini belum mampu diatasi. Dampak negatifnya telah berpengaruh luas terhadap masyarakat konsumen pengguna infrastrkutur publik –jalan raya Porong, tol Porong-Gempol dan rel kereta api- karena tidak berfungsi secara normal sehingga distribusi produk barang dan produk jasa transportasi publik terganggu. Kedua dampak negatif semburan gas hydrogen sulfida PetroCina yang membahayakan keselamatan publik, Sabtu, 29 Juli 2006 di 5 Desa Campurejo, Kabupaten Bojonegoro meskipun mampu dihentikan.

Persoalannya, karena apa hal itu bisa terjadi? Dari sisi teknis orang bisa mempertanyakan kemampuan teknologi yang digunakan. Dari sisi perencanaan, orang bisa mempertanyakan akurasi perencanaan dan analisis estimasi dampak negatifnya terhadap lingkungan hidup. Dari sisi kebijakan publik, orang bisa mempertanyakan, karena apa kegiatan ekplorasi-eksploitasi di lingkungan padat penduduk, industri dan berdekatan dengan infrastruktur publik itu bisa diizinkan? Dari sisi regulasi pertambangan, orang bisa mempertanyakan, karena apa batasan geografis hak wilayah kegiatan eksplorasi-eksploitasi tidak diatur secara ketat? Akibatnya, ketika terjadi dampak negatif terhadap masyarakat konsumen, antara regulator, operator, dan pemerintah –baik pusat maupun daerah- saling lempar tanggung jawab. Pada gilirannya masyarakat konsumen menuai akibat negatifnya.

Lemahnya Regulasi Pertambangan.
Dari beberapa regulasi pertambangan yang ada, ternyata masih banyak kelemahannya. Adanya kelemahan regulasi itu membuka peluang terjadinya anomali dalam prosedur perizinan dan pelaksanaan teknis di lapangan. Salah satu bentuk anomali itu berupa praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) antara pemohon izin dengan pemberi izin dalam mengeluarkan kebijakan teknis perizinan. Hal ini sering terjadi di semua sektor kebijakan teknis lainnya yang dampak negatifnya merugikan masyarakat konsumen.

Paling tidak ada dua kelemahan regulasi pertambangan yang sampai saat ini selalu berdampak negatif. Pertama, penetapan hak kuasa lokasi penambangan terlalu umum tidak ada batasan ketat larangan jika hak penambangan –eksplorasi maupun eksploitasi- berada di wilayah dekat permukiman padat penduduk, industri dan infrastruktur publik. Di dalam UU No. 23/1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, umpamanya, hanya ditetapkan bahwa kegiatan penambangan dapat dilakukan di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia baik di daratan, perairan, maupun landas kontinen Indonesia tampa mambatasi geogragis lingkungan yang padat penduduk, industri dan infrastruktur publik yang dapat diperkirakan akan berdampak negatif pada kepentingan publik.

Kedua, regulasi pertambangan tidak memberikan batasan tegas antara kegiatan ekspolrasi-eksploitasi. Hal ini memungkinkan pengkaburan dalam perencanaan dan kegiatan teknis antara eksplorasi-eksploitasi di lapangan. Jika pengertian eksplorasi adalah kegiatan pengamatan umum, maka kegiatan teknis eksplorasi tidak termasuk kegiatan pengeboran sumur di lokasi penambangan dan seharusnya tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.

Celakanya, meskipun UU No. 23/1997 telah berusaha membatasinya bahwa kegiatan pengeboran sumur termasuk kegiatan eskploitasi, bukan eksplorasi, masih ada “kalimat karet” yang mengatakan: “kegiatan eksploitasi merupakan kegiatan yang menghasilkan…..” Karena tolok ukurnya menghasilkan, maka semua kegiatan pengeboran sumur usaha penambangan yang belum menghasilkan diklaim sebagai kegiatan eksplorasi yang tidak wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).

Kebijakan izin eksplorasi seperti itu telah diberikan kepada Lapindo. Buktinya, Yohanes S. salah satu pimpinan PT. Lapindo Brantas Inc. dalam kesempatan seminar di Surabaya, 20/7/2006, mengatakan bahwa untuk pengeboran di Banjar-Panji-1, Porong-Sidoarjo, Lapindo tak perlu AMDAL. Alasannya proyeknya kecil. Cukup menggunakan Kepmen LH Nomor 17/2001, yang mengatur tentang Unit Pengelolaan Lingkungan dan Unit Pemantauan Lingkungan (UPL). Namun tampa disadari bahwa dampak negatifnya ke semua sektor lingkungan dan kehidupan sangat besar sampai sekarang. Karenanya kita tidak perlu menyesalkan jika perusahaan eksplorasi pada umumnya tidak memiliki emergency plan.

Dasar Hukum Wajib AMDAL.
Salah satu tujuan kegiatan eksploitasi adalah untuk menghasilkan migas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan. Kegiatan yang dilakukan di lapangan antara lain pengeboran dan penyelesaian sumur. (H. Salim HS., Hukum Pertambangan di Indonesia, 2006). Dengan demikian kegiatan pengeboran sumur merupakan batas awal kegiatan eksploitasi dan merupakan batas akhir kegiatan eksplorasi. Karenanya kegiatan pengeboran sumur dan penyelesaiannya yang dilakukan Lapindo dan PetroCina sudah dikategorikan sebagai kegiatan eksploitasi bukan eksplorasi.

Sehingga kegiatan Lapindo dan PetroCina itu wajib memiliki AMDAL seperti yang telah diatur dalam Kepmen LH No. 39/MENLH/1996 Tentang Jenis Usaha atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang dipertegas lagi oleh UU No. 23 tahun 1997 pada bab VI pasal 18 ayat (1). Jadi dasar hukumnya bukan menggunakan Kepmen LH Nomor 17/2001 yang mengatur tentang UPL.

Karena apa AMDAL diwajibkan? Karena AMDAL memuat rencana kegiatan dan prediksi apa yang akan terjadi terhadap lingkungan, menyangkut dampak negatif fisik dan non fisik. Karena itu, umumnya AMDAL dibuat dengan menggunakan berbagai pendekatan atau disiplin ilmu pengetahuan (multidisipliner). Manakala Lapindo, PetroCina atau lainnya memiliki AMDAL dan regulasinya mengatur secara ketat, maka dampak negatif yang meresahkan publik tidak akan pernah terjadi. Karena semua dampak negatifnya yang paling buruk sekalipun telah diprediksi sebelumnya dalam AMDAL.

Namun masih banyak AMDAL fiktif (menyontek/saduran) dan asal jadi. Selain itu sebagian besar pengusaha mempunyai persepsi yang keliru terhadap pentingnya AMDAL. Mereka menganggap AMDAL sebagai syarat proforma untuk mendapatkan izin penambangan atau investasi. Bahkan ada yang menganggap AMDAL sebagai regulasi baru yang tidak cocok di zaman deregulasi saat ini. Celakanya, manakala masih ada pejabat publik yang berwenang memberi izin eksplorasi-eksploitasi di negeri kita ini memiliki persepsi yang sama, dan hanya memperhitungkan kepentingan finansial semata.

Menurut M. Amin Rais, mantan Ketua MPR, pemerintah telah memberikan izin eksplorasi sebanyak 812 izin eskplorasi terhadap perusahaan asing maupun nasional. (Kompas, 27/8/2006). Dari jumlah itu, tegasnya, 10 persen di antarnya telah beroperasi. Bisa dibayangkan, jika kemudian 90 persen dari 812 perusahaan yang telah memiliki izin eksplorasi benar-benar melakukan penambangan dengan regulasi yang sangat longgar seperti sekarang ini, maka tidak perlu terkejut jika negara kita nantinya akan menjadi negara pemegang rekor tertinggi mengalami bencana yang disebabkan oleh kegiatan eksplorasi-eksploitasi.

Karenanya, penegasan Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, (Kompas, 10/8/2006) agar pemerintah dan DPR RI segera membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas pelarangan aktivitas pengeboran di dekat permukiman penduduk perlu direnspons oleh seluruh struktur pemegang kebijakan publik di negara kita ini. Sehingga kebijakan publik yang bersifat teknis di sektor pertambangan ada pertimbangan aspek kehati-hatiannya. Aspek kehati-hatian ini bukan berarti nantinya prosedur izin penambangan harus dipersulit. Karena hal ini sangat bertentangan dengan harapan publik yang ingin adanya pelayanan publik yang prima di negeri tercinta ini. Jargon birokrasi: kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah, harus benar-benar sirna di muka bumi nusantara ini.

Oleh: M. Said Sutomo
Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur