Anomali Pasokan BBM Bersubsidi Menyengsarakan Rakyat

bbmPublik merasa lega membaca berita Pertamina Normalkan Pasokan Premium Terhitung Mulai Tadi Malam, demikian headline halaman depan berita Jawa Pos, Rabu, 27 Agustus 2014. Berita ini membuktikan bahwa kebijakan BPH Migas membatasi pasokan BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsidi sehingga publik, terutama masyarakat konsumen mengalami kesulitan mendapatkannya rupanya dirasakan oleh elit politik sangat tidak menguntungkan bagi pemerintahan SBY yang akan berakhir Oktober 2014.

Karena kebijakan itu ternyata justru akan menguntungkan pemerintahan Jokowi-JK mendatang. Betapa tidak. Adanya kebijakan itu publik lebih memilih bahkan mendorong agar harga BBM bersubsidi dinaikkan saja daripada dibatasi sehingga mengakibatkan sulit mendapatkannya. Dengan demikian, ketika pemerintahan SBY nantinya benar-benar telah berada ditangan Jokowi-JK, maka ketika Jokowi-JK menaikkan harga BBM bersubsidi dapat diyakini tidak akan mengundang gejolak publik yang berarti sepanjang ketersediaannya mencukupi.

Kebijakan mengurangi jumlah pasokan BBM bersubsidi yang telah menjadi kebutuhan energy masyarakat dengan menggunakan alasan apapun sangat sulit diterima oleh publik. Karena selain mempersulit masyarakat untuk mendapatkan pasokannya juga akan mengurangi mobilitas dan produktivitas masyarakat banyak. Mobilitas dan produktivitas masyarakat yang berkurang akan mengakibatkan pendapatan masyarakat berkurang. Berkurangnya pendapatan masyarakat mengakibatkan menurunnya daya beli masayarakat, yang pada gilirannya akan melahirkan kerawanan sosial.

Oleh karenanya, Wakil Presiden Terpilih, H.M. Jusuf Kalla, mengkritisi kebijakan pengurangan pasokan kebutuhan BBM bersubsidi itu sebagai kebijakan yang tidak tepat. Karena akan mengakibatkan beban kerugian masyarakat semakin tinggi. Masyarakat yang menunggu dalam antrian panjang untuk mendapatkan BBM bersubsidi menglamai beban lebih berat dibanding menerima beban biaya akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Sehingga dia menyesalkan lahirnya kebijakan tersebut yang seharusnya menaikkan harga BBM bersubsidi daripada mengurangi pasokannya.

Apalagi kebijakan pengurangan pasokan BBM bersubsidi itu hanya berjalan beberapa hari saja semakin mengundang publik bertanya-tanya. Apakah benar kebijakan pengurangan pasokan BBM bersubsidi itu karena kuotanya sudah terbatas, tidak cukup untuk memasok kebutuhan masyarakat sampai akhir tahun 2014? Jika terbatas, karena apa baru berjalan beberapa hari sudah dinormalkan kembali? Bagaimana jika ketersediaan BBM bersubsidi itu nantinya benar-benar habis sebelum akhir tahun 2014?

Walhasil, masih banyak pertanyaan lain yang bergelayut di pikiran masyarakat, antara lain: karena apa pembatasan pasokan BBM bersubsidi ini dilaksanakan di masa pemerintahan transisi? Mungkinkah perencanaan dan estimasi kebutuhan pasokan BBM bersubsidi yang disusun oleh pemerintahan SBY bersama dengan DPRRI meleset dari perkiraan yang akurat? Jika perencanaan dan estimasi pasokan BBM bersubsidi telah dinilai akurat, mengapa sampai bisa habis sebelum waktunya? Mungkinkah ketersediaan BBM bersubsidi akan habis sebelum waktunya itu dikarenakan kebocoran-kebocoran akibat anomali distribusi sejak dari hulu hingga sampai di hilirnya?

Sejatinya kebijakan BPH Migas yang membatasi pasokan BBM bersubsidi itu tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 25/2009 Tentang Pelayanan Publik (UPP) dan Undang-Undang Nomor 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Bahkan tidak sejalan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum. Jika saja para pemegang kebijakan mampu memahami hal itu, maka kebijakan pembatasan pasokan BBM bersubsidi tidak akan pernah terjadi.

Pembatasan pasokan BBM bersubsidi itu bertentangan dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik yang antara lain berasaskan: kepentingan umum, kepastian hukum, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan. Tidak terpenuhinya asas-asa penyelenggaraan pelayanan publik itu mengakibatkan beberapa hari masyarakat konsumen BBM bersubsidi kesulitan untuk mendapatkan pasokannya. Apalagi melalui antrian yang panjang, dan ketika sampai pada gilirannya ternyata BBM bersubsidinya habis.

Kekecewaan masyarakat seperti itu merupakan pelanggaran PT. Pertamina sebagai pelaku usaha dari kalangan BUMN terhadap UUPK. Karena UUPK Pasal 9 ayat (1) melarang pelaku usaha menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah: barang dan/atau jasa tersebut tersedia. Kerugian masyarakat akibat kebijakan BPH Migas ini sesungguhnya melahirkan praktik usaha PT. Pertamina yang dapat berimbas kepada pengurusnya dapat diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 milyar.

Akibat kesalahan dalam mengambil kebijakan sehingga tidak bijak ini diharapkan tidak terjadi lagi pada era pemerintahan Jokowo-JK selama dalam lima tahun ke depan. Sosialisasi pencerahan bahwa besaran subsidi tetap ada dan hanya mengubah bentuknya dari bentuk harga BBM bersubsidi menjadi pembangunan infrastruktur yang lebih memadai seperti pembangunan jalan di segala tingkatan kelasnya, rel kereta api, integrasi angkutan massal, gedung sekolah, rumah sakit, mutu pelayanan kesehatan yang lebih layak, ketersediaan pupuk bersubsidi dan benih yang cukup bagi para petani.

Namun yang lebih penting lagi, pemerintah dan PT. Pertamina ke depan wajib menjamin kepastian harga sesuai dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah sampai di tangan konsumen akhir yang berada di pelosok desa dan kepulauan terpencil sekalipun. Jangan sampai kenaikan harga BBM bersubsidi nantinya, apalagi sampai mencabut nilai subsidinya sampai nol persen justru akan mengakibatkan tambah mencekik kelompok masyarakat konsumen akhir yang berada di pedesaan dan kepulauan terpencil itu karena harus memberli BBM dengan harga yang berlipat-lipat dari harga yang ditetapkan pemerintah seperti yang terjadi selama ini. Sistem pengawasan dari pemerintah dan PT. Pertamina untuk memastikan bahwa harga BBM di pasaran wajib sama persis dengan harga ketetapan pemerintah perlu dibangun sejak dini.

SAID SUTOMOPublik sedang menunggu, mungkinkah ada perubahan kebijakan yang lebih bijak di era pemerintahan Jokowo-JK? Mungkinkah setali tiga uang? Untuk menjawab pertanyaan terakhir ini: semoga saja tidak. Amin!

Oleh: M. Said Sutomo

Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur