Apresiasi Peneliti dan BPPOM Soal Obat Covid-19, Ketua YLPK: Jangan Berteriak Setelah Jatuh Korban

Muhammad Said Sutomo

Kabar obat Covid-19 telah ditemukan tim peneliti Universitas Airlangga (Unair), Badan Intelejen Negara (BIN), dan TNI AD cukup menggembirakan. Begitu juga semangat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) meneliti dampak buruknya, patut diapresiasi.

“Bagus! Harus diapresiasi semangat Kepala BPOM (Penny Lukito) untuk meneliti lebih jauh atau hasil uji klinis obat tersebut. Begitu juga efek sampingnya. Jangan sampai kita berteriak setelah korban jatuh,” demikian disampaikan Muhammad Said Sutomo, Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur kepada duta.co, Jumat (21/8/2020).

Seperti diberitakan, bahwa obat Covid-19 ini, tergolong keras. Beberapa catatan masih harus dikoreksi oleh tim peneliti, agar segera bisa mengantongi izin edar serta diproduksi secara massal. Termasuk BPOM akan meneliti efek samping obat tersebut. “Apalagi kabarnya obat ini kategori keras,” tambah Said.

Kepala BPOM Penny Lukito, kepada wartawan menjelaskan sampai saat ini BPOM masih meneliti hasil uji klinis obat tersebut. Sedangkan untuk efek samping masih menjadi tahapan yang akan dilakukan ke depannya.

Side effect masih rencana jangka panjang ya. Ini kan obat masih baru ya. Belum sampai ke situ (efek samping),” katanya dalam konferensi pers, Rabu (19/8).

Penny menambahkan obat ini adalah obat dengan kombinasi baru. Penny menyebut, kombinasi obat tersebut merupakan obat keras yang tak bisa diperjualbelikan bebas.

“Karena obat keras, pasti ada efek samping yang ditimbulkan. Enggak bisa diberikan ke orang yang tak sakit. Sakit itu kan kondisi yang terpaksa ya. Maka penting sekali ya perhatikan dosisnya, karena itu obat keras, dikaitkan dengan efek, dan resistensi pada antiviral,” jelas Penny.

Tanpa Mengurangi Rasa Hormat

Dalam kesempatan yang sama, Anggota  Komnas Penilai Obat Prof. Rianto Setiabudi, Sp.FK (K) menegaskan bahwa setiap obat pasti memiliki efek samping, namun pasti akan lebih banyak keuntungan atau manfaat yang bisa diambil. Dia mencontohkan obat anti kanker memiliki efek samping yang dahsyat sekali. Seringkali membuat rambut rontok dan lainnya.

“Tapi toh tetap kita setujui kan? Jadi mohon dimengerti. Efek samping yang ada, bukan satu-satunya pertimbangan kita menolak suatu obat. Efek samping itu bisa diatasi dengan memitigasi, misalnya mengurangi dosisnya,” jelas Prof Rianto seperti diberitakan jawapos.com.

Menurut Said, adalah kewajiban BPPOM untuk mengawasi proses dan prosedur semua obat-obatan pra-pasar. Menurutnya, selama ini, kita lemah dalam pengawasan kritis di pra-pasar. “Makanya, jangan sampai kita teriak-teriak setelah barang beredar di pasar. Ini yang terjadi selama ini. Setelah ada korban jatuh, baru dihentikan,” kritiknya.

Apalagi terkait obat-obatan dengan janji-janji penyembuhan bagi orang yang terinfeksi covid-19. “Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap para ahli, peneliti dan akademisi yang sudah bersusah payah menemukan obat covid-19, maka, pengawasan BPKN bersama BPPOM harus tetap dilakukan sesuai prosedur. Apalagi ini terkait covid, yang disebutnya sebagai obat keras,” pungkasnya.

Sumber : Duta

Tags: