Beban Pungli Bagi Pelaku Usaha Lebih Mencekik Dibanding Tuntutan Upah KHL Buruh

pungliSebagian besar ketidakmampuan perusahaan untuk memenuhi UMK tuntutan kaum buruh akhir-akhir ini belum seberapa jika dibandingkan dengan tuntutan komponen wajib yang dikeluarkan pelaku usaha untuk pungutan liar (pungli). Tampa pungli pelaku usaha akan mampu memberikan pendapan perbulannya sesuai dengan kehidupan layak (KHL) kaum buruh yang menjadi tuntutan selama ini.

Pungli ini juga akan membebani konsumen akhir yaitu masyarakat pengguna produk barang/jasa bukan untuk diperdagangkan lagi melainkan untuk kepentingan konsumsi langsung. Karena semua perhitungan biaya produksi riil, para pekerja dan lain-lain termasuk pungli dimasukkan ke dalam komponen produksi. Anehnya justru komponen pungli ini yang lebih besar dibanding komponen untuk gaji para pekerja dan kaum buruh.

Besarnya uang yang disetor untuk pegawai negara bermental preman dan orang preman beneran ini, konon menurut Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur cukup besar. Sejumlah pengusaha mengakui bahwa pungli memang cukup menggerogoti keuangan perusahaan. Akibatnya produk barang/jasa nasional tidak kompetitif di pasaran global. Padahal jika tampa pungli ongkos produk barang/jasa dapat ditekan 35% dari harga jualnya. Hal ini bisa dibayangkan jika ongkos pungli tersebut diserap untuk kesejahateraan kaum buruh.

Rudy (nama samaran), seorang pengusaha muda Surabaya di bidang ekspor-impor, menceritakan kepada Ketua YLPK Jawa Timur, pungli yang dikeluarkan perusahaannya malah sudah tertata sistematis dan teratur. Mulai dari oknum birokrat untuk kelancaran pengambilan barang, sampai oknum di bea cukai dan kepolisian. Ditambah lagi orang-orang diluar birokrat

Praktik pungli bukan rahasia lagi di kalangan pelau usaha, karena diakui dilakukan berjenjang. Dari bawahan, sampai atasan, semua menerima pasokan uang dari perusahaan Rudy. “Mau nggak kasih, kita yang malah ribet. Mereka selalu cari kesalahan. Jika salah beneran sih gak apa-apa. Tapi kalu dicari-cari kesalahan menjadi susah dalam dunia usaha. Contohnya, truk tidak ada tutup pentil saja, bisa kena tilang. Padahal truk ini kan sewa, bukan punya kami,” keluhnya.

Selanjutnya ia menjelaskan, besarnya uang yang keluar untuk pungli lumayan besar. Andai tidak ada pungutan semacam ini, uang perusahaan seharusnya bisa diberikan oleh perusahaan untuk menambah kantong pekerja. Tujuannya jelas, agar usaha yang dikelolanya lancar tanpa gangguan. Meski mereka tidak meminta tapi dari sorot mata dan gerak-geriknya sudah menjadi pengetahuan umum para pelaku usaha. Buktinya jika dikasih diterima dan kegiatan usahanya menjadi lancar.

Pelaku usaha wanita lain, Ny Sekar, juga mengaku memilih setor uang tak resmi tersebut ke para ‘tikus’ pemungut pungli, ketimbang usahanya tersendat. “Kalau di SPBU, pungli itu hal wajib. Mulai truk ambil bensin di depo sudah di pungli. Untuk keamanan, ada lagi kita kasih polisi. Ada juga ke kelurahan dan sebagainya. Mau nggak kasih, ya khawatir ada saja gangguan. Kiriman bensin telat lah, dan sebagainya,” ujar Sekar.

Perilaku pungli tidak hanya merambah kocek para pelaku usaha sukses seperti Rudy dan Ny. Sekar, tapi juga telah merambah kepada para sopir Angkutan Kota (Angkot) di Surabaya. Said Sutomo mengatakan, beberapa sopir Angkot Surabaya dan pelaku usaha pemilik armada Angkot belum lama ini datang ke kantor YLPK Jatim menyampaikan keluhannya soal pungli terhadap para sopir Angkot.

Mereka mengeluhkan penarikan pungli oleh Ketua Lyn Angkot ketika ingin mengoperasikan kendaraannya wajib bayar Rp. 500ribu sampai dengan Rp. 3juta/per-sopir “Padahal berapa pengahasilan para sopir Angkot Surabaya dan pelaku usaha angkutan umum sekarang. Penghasilan belum tentu didapat sudah diwajibkan bayar,” ujar Said Sutomo.