Bom Waktu Pendidikan Kedokteran

629 views

Bak cendawan di musim penghujan! Itulah gambaran nyata maraknya pendidikan kedokteran di Indonesia. Kini tidak kurang dari 83 fakultas kedokteran, yang tersebar di seluruh Indonesia, dan fenomenanya akan terus bertambah. Sepintas banyaknya jumlah fakultas kedokteran adalah hal yang menggembirakan. Namun, jika didalami, fenomena ini justru menggambarkan adanya masalah serius yang membelit pada dunia pendidikan kedokteran di Indonesia.

Maraknya pendidikan kedokteran, menyisakan pertanyaan mendasar, misalnya, apakah hal ini mencerminkan adanya ratio dokter yang masih kurang dibanding jumlah penduduk?  Dan apakah fenomena tersebut dibarengi dengan kualitas alumni kedokteran? Berikut ini diskripsi penjelasannya.

Ada beberapa faktor kenapa fakultas kedokteran di Indonesia menjamur. Secara sosilogis dokter masih merupakan profesi bergengsi. Masyarakat akan bejibaku masuk ke falkutas kedokteran, sekalipun biayanya selangit. Demikian juga banyak pimpinan daerah yang sok gengsi, ngotot agar perguruan tinggi di daerahnya punya fakultas kedokteran. Bahkan ada hal yang ironis terkait hal ini.

Banyak pimpinan universitas, menjadikan fakultas kedokteran sebagai tambang uang bagi institusinya. Jadi tujuan mendirikan fakultas kedokteran hanya sebagai bussines oriented only.  Maka tidak heran jika mereka mematok harga selangit pada calon mahasiswanya.

Lalu apakah  jumlah dokter di Indonesia masih kurang? Data menunjukkan, di Indonesia kini terdapat 180 ribuan dokter, terdiri atas 128 ribuan dokter umum dan dokter gigi, dan sisanya adalah dokter spesialis. Jika mengacu pada standar WHO perbandingannya adalah 1: 2.500 orang, maka jumlah dokter di Indonesia sudah sesuai kebutuhan. Bahkan sudah terjadi inflasi, alias over kuota dokter.

Masalah krusialnya justru pada distribusi dokter yang sangat tidak merata. Jumlah dokter yang mencapai 180 ribuan itu secara dominan hanya tersebar pada 11 provinsi, dari 34 provinsi di Indonesia. Para dokter lebih asyik menambang uang (berpraktik) di kota-kota besar saja. Jadi yang sangat mendesak adalah distribusi dokter ke seluruh pelosok Indonesia, bukan memproduksi  dokter secara ugal-ugalan, bak sopir angkutan mengejar setoran.

Bagaimana dengan profil pendidikan kedokteran yang ada? Dari 83 fakultas kedokteran sebarannya adalah sebagai berikut; 22 fakultas (27 persen) terakreditasi A, 37 fakultas (45 persen) terakreditasi B, dan 24 fakultas (29 persen) terakreditasi C.

Dengan kata lain, jika dilihat status akreditasinya, mayoritas fakultas kedokteran di Indonesia (55 persen) kualitasnya mengkhawatirkan. Apalagi fakultas kedokteran dengan akreditasi C, yang jumlahnya cukup signifikan (24 fakultas, 29 persen).

Inilah bukti, bahwa pemerintah–Ditjen Dikti Kemenristek dan Perguruan Tinggi, di satu sisi “mengobral” izin operasional fakultas kedokteran, tetapi di sisi lain gagal dalam  menstandardisasi kualitas fakultas kedokteran. Padahal Menristek dan Perguruan Tinggi, Muhammad Nasir, pernah menjanjikan bahwa jika fakultas kedokteran dengan akreditasi C mengalami kegagalan hingga dua kali untuk naik tingkat,  maka fakultas kedokteran tersebut akan ditutup alias dicabut izin operasinya.

Tetapi hal ini tidak pernah dilakukan,  hingga detik ini belum ada satupun fakultas kedokteran dengan akreditasi C yang ditutup, akibat tidak mampu meningkatkan statusnya. Ini menunjukkan Menristek inkonsisten dan tidak peduli dengan kualitas lulusan kedokteran. Menristek tidak peduli dengan patient safety, sebagai basis profesi kedokteran.

Secara empirik pendidikan kedokteran dengan akreditasi C hanya akan menghasilkan lulusan “abal-abal”.

Hal ini bisa ditengarai dari 2.700-an alumni kedokteran yang tidak lulus ujian sertifikat kompetensi, mayoritas adalah lulusan fakultas kedokteran dengan akreditasi C. Tanpa mengantongi sertifikat kompetensi, seorang dokter tidak akan bisa membuka izin praktik alias “dokter tanpa stetoskop”.

Ibarat seorang hakim tidak boleh menangani suatu perkara di pengadilan, alias “hakim non palu”.  Tentu hal ini terasa sangat menyakitkan, baik bagi orang tua dan terutama bagi lulusan kedokteran. Yang sungguh mengerikan, fenomena “dokter tanpa stetoskop” akan terus bertambah.

Mengingat setiap tahun tidak kurang dari 10-12 ribuan alumni kedokteran di Indonesia. Jika fenomena ini terus dibiarkan, tanpa kontrol dan kendali yang jelas maka akan menjadi permasalahan sosial yang sangat mengerikan. Akan ada pengangguran dokter! Sebuah bom waktu yang siap meledak setiap saat!

Harus ada langkah radikal dari sisi hulu, untuk mengatasi hal ini, yakni, pertama, Ditjen Dikti Kemenristek dan Perguruan Tinggi harus menghentikan aksi “obral izin operasional” fakultas kedokteran.

Harus ada moratorium mendirikan fakultas kedokteran! Patut diduga, ada oknum Ditjen Dikti yang bermain mata dengan pihak universitas bahkan pimpinan daerah, untuk meloloskan izin operasi fakultas kedokteran sekalipun tanpa rekomendasi dari KKI (Konsil Kedokteran Indonesia), AIPKI (Asosiasi Ilmu Pendidikan Kedokteran Indonesia), PBIDI (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia), dan asosiasi profesi lainnya.

Kedua, Ditjen Dikti harus berani menutup  izin operasi fakultas kedokteran yang tidak mampu meningkatkan derajad akreditasinya, khususnya akreditasi C. Jangan pertaruhkan reputasi profesi kedokteran dan patient safety, hanya karena mempertahankan fakultas kedokteran tertentu. Lebih baik ditutup daripada menyisakan bom waktu di kemudian hari.

Ketiga, pimpinan universitas jangan menjadikan fakultas kedokteran sebagai gengsi , tanpa dibarengi dengan investasi sumber daya manusia dan infrastruktur memadai. Jangan pula fakultas kedokteran untuk tambang uang.

Orang tua dan calon mahasiswa jangan memaksakan diri masuk ke fakultas kedokteran jika memang tidak mempunyai kemampuan intelektual yang cukup. Jangan hanya karena punya uang segunung, memaksakan diri masuk ke fakultas kedokteran yang mutunya tidak jelas. Praktik komersialisasi ujian kompetensi juga harus dihentikan. Patut diduga selama ini panitia nasional ujian kompetensi hanya ingin mendulang uang semata.

Biaya ujian Rp 1.000.000 per orang, adalah kue bisnis yang lumayan menggiurkan. Dan patut diwaspadai, guna meloloskan alumni kedokteran yang masih magkrak itu, yang jumlahnya 2.700-an, ada wacana untuk mendegradasi ujian kompetensi. Misalnya, dengan mempermudah soal ujian atau bahkan meniadakan ujian kompetensi.

Jika upaya tersebut berhasil, maka tamatlah riwayat kualitas dan profesionalitas dokter di Indonesia. Yang tersisa hanyalah profesi “terkun”, alias dokter tapi dukun.  Mendegradasi ujian kompetensi sama artinya  mendorong terjadinya fenomena malpraktik profesi kedokteran. Dan siapa lagi yang akan menjadi korban masal, kalau bukan konsumen/pasien sebagai pengguna jasa profesi kedokteran. Apakah ini yang akan diwariskan oleh rezim sekarang? ***

Tulisan ini pertama kali diterbitkan di kompasiana, 28 Agustus 2018; 12.44

 

TULUS ABADI
KETUA PENGURUS HARIAN YLKI


Source: YLKI

Tags: