BPKN: Revisi UU Perlindungan Konsumen Harus Adopsi Prinsip Strict Liability

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) merupakan prinsip yang tidak didasarkan pada aspek kesalahan dan hubungan kontrak melainkan didasarkan pada cacatnya produk dan risiko atau kerugian yang diderita konsumen.

Anna Maria (kanan) dan Husna (kiri). Foto: NNP – HukumOnline.com

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mendorong agar revisi UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengadopsi prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability). Prinsip strict liability diyakini akan lebih melindungi konsumen dari kerugian yang diakibatkan suatu produk.

Koordinator Komisi Penelitian dan Pengembangan BPKN, Anna Maria TriAnggraini mengatakan, bahwa kajian BPKN menyimpulkan revisi UUPK harus segera mengintrodusir prinsip strict liability sebagai salah satu komitmen pemerintah mendukung perlindungan konsumen. Pasalnya, prinsip product liability dalam UUPK yang diimplementasikan dengan pembuktian terbalik seringkali dimanfaatkan produsen atau pelaku usaha sehingga tidak menguntungkan kedudukan konsumen.

“Pelaku usaha itu kalau ada yang complain, dia bisa berkelit dengan permintaan bukti. Saat ini pembuktian terbalik, artinya pelaku usaha masih bisa membela diri dengan pembuktian,” kata Tri kepada Hukumonline di kantor BPKN, Rabu (27/12).

Draf RUU Perlindungan Konsumen (RUUPK) terakhir yang dibuat pemerintah masih belum memperkenalkan prinsip strict liability. Dari penelitian yang dilakukan Komisi Penelitian dan Pengembangan BPKN, draf RUUPK masih menyentuh poin-poin yang bersifat teknis seperti perubahan definisi barang, pelaku usaha, konsumen, transaksi jual beli, maupun perjanjian baku. Selain itu, draf RUUPK, masih menurut Tri, masih sebatas mengubah susunan formal atau legal drafting dari ketentuan undang-undang sebelumnya.

Tri menjelaskan, poin-poin yang menjadi perhatian pemerintah sebagaimana draf RUUPK bukan berarti tidak penting untuk direvisi dan dikaji. Sebutlah misalnya, revisi mengenai perjanjian baku khususnya terkait larangan klausula eksonerasi atau pengalihan tanggung jawab tetap menjadi perhatian. Bahkan, BPKN mengusulkan agar kewenangan pengawasan penggunaan klausul eksonerasi dalam kontrak diberikan kepada BPKN karena memang memiliki fungsi pengawasan.

“Mengenai aspek perlindungannya tanggung jawab pelaku usaha, tidak diperhatikan,” kata Tri.

Kajian BPKN menyebutkan, tujuan utama prinsip tanggung jawab mutlak adalah jaminan atas konsekuensi atau akibat hukum dari suatu produk yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen. Hal tersebut berangkat dari pemikian, bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menjamin produk tersebut 100% aman untuk dikonsumsi. Dengan adanya prinsip strict liability, pelaku usaha harus bertanggung jawab atas kerugian konsumen tanpa harus membuktikan ada tidaknya kesalahan pada dirinya.

 

Tri menambahkan, dengan kata lain prinsip strict liability merupakan tanggung jawab yang tidak didasarkan pada aspek kesalahan (fault) dan hubungan kontrak melainkan didasarkan pada cacatnya produk (objective liability) dan risiko atau kerugian yang diderita konsumen (risk based liability). Sehingga draf RUUPK setidak-tidaknya mencantumkan klausul yang berbunyi: ”Pelaku Usaha bertanggungjawab langsung terhadap produk yang dipasarkan.”

“Setiap barang yang dikeluarkan kalau sampai ada atau menimbulkan kerugian, pelaku usaha yang tanggung jawab. Itu prinsip strict liability. Mekanismenya, nanti perlu diatur lebih lanjut. Paling tidak asasnya sudah ada dalam RUUPK ke depan. Kalau ada statement itu, hakim atau penegak hukum tidak ragu-ragu menjatuhkan sanksi karena ada asasnya,” kata Tri.

Penguatan Kelembagaan

Selain mengenai substansi revisi UUPK, Komisi Penelitian dan Pengembangan BPKN menilai salah satu isu krusial dalam revisi UUPK terkait dengan aspek kelembagaan. Anggota Komisi Penelitian dan Pengembangan BPKN, Husna Gustiana Zahir mengatakan, bahwa Strategi Nasional Perlindungan Konsumen dan RPJMN memandatkan pemerintah untuk memperkuat lembaga-lembaga perlindungan konsumen seperti BPKN. Bahkan, tak cuma BPKN, termasuk badan perlindungan konsumen lain seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).

“BPKN mengkaji dari draf yang ada. beberapa catatan di antaranya yang perlu digarisbawahi adalah kelembagaan,” kata Husna yang juga mantan Ketua YLKI tersebut.

Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua BPKN Rolas B. Sitinjak. Ia mengatakan, solusi perlindungan konsumen yang tepat adalah keseriusan pemerintah untuk memperkuat BPKN baik dari sisi kemandirian lembaga, anggaran, dan juga kewenangannya. Tanpa dukungan tersebut, Rolas menilai upaya pemerintah melindungi konsumen hanya di atas kertas belaka. Apalagi, dalam praktiknya banyak sekali produk rekomendasi BPKN kepada kementerian dan lembaga terkait tidak diindahkan.

“Tahun 2015 BPKN memberikan rekomendasi kepada Kementerian Agama terkait travel yang malpraktik, Kementerian tidak menanggapi dengan serius. Setelah ada kasus nasional mengenai travel umrah, semua pelaku kebijakan seakan kebakaran jenggot padahal jauh sebelum itu, BPKN sudah berteriak dengan lantang agar pemerintah melakukan antisipasi,” kata Rolas di tempat yang sama.

Sementara itu, Ketua BPKN Ardiansyah Parman berharap agar revisi UUPK menghasilkan peraturan yang lebih baik dan efektif dalam memberikan perlindungan konsumen dibanding dengan UUPK yang berlaku saat ini. Ardiansyah mengusulkan setidaknya revisi tersebut mengarah pada empat manfaat. Pertama, visi yang kuat. Revisi UUPK harus bervisi perlindungan konsumen yang kuat serta berorientasi manfaat kepada konsumen. Kedua, bernafas politik hukum perlindungan konsumen. Sebagai produk politik, revisi UUPK haru memiliki keberpihakan dan jangkauan luas bagi perlindungan konsumen.

Ketiga, efektif implementatif. Revisi UUPK harus mampu mendorong lahirnya kebijakan implementatif, berdaya guna, dan manfaat. Muatan pasal dan ayat dalam revisi UUPK sudah seharusnya mempunyai semangat dan langkah affirmative dan praktis bagi perlindungan konsumen. Selain itu, tidak terjebak pada aspek hukum teknis dan transaksi dagang jual beli dan meninggalkan hakikat perlindungan konsumen. Keempat, dilandasi prinsip iterative yakni lebih sempurna dari UUPK yang berlaku saat ini.

“Keberdayaan UU Perlindungan Konsumen sangat menentukan bukan hanya perlindungan terhadap masyarakat konsumen, namun mempunyai nilai strategis, bahkan vital terhadap ketahanan ekonomi nasional,” kata Ardiansyah.

Sumber : Hukum Online

Tags: