Brexit: Tragedi Kelam Arus Mudik Lebaran 1437H

No comment 1136 views

tol brexitMenjelang Hari Raya Idul Fiftri 6 Juli 2016 M (1 Syawal 1417 H) menorehkan catatan kelam yaitu soal meninggalnya belasan pemudik di jalur tol Brebes Exit, Jawa Tengah yang dikenal dengan sebutan Brexit. Pemerintah mengakuinya sebagai bahan evaluasi manajemen tata kelola arus lalu lintas, infrastruktur jalan, ketersediaan dan keandalan angkutan umum agar ke depan lebih baik lagi dalam penyelenggaraan pelayanan masyarakat konsumen pengguna jalan.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, pemerintah sebelumnya sebetulnya sudah mengantisipasi kemacetan panjang dalam musim mudik Lebaran 6 Juli 2016 dengan mempercepat pembangunan jalan tol dan perbaikan jalan. Namun diakuinya, bahwa antisipasi itu kurang cukup. Atas kejadian kelam itu Mendagri Tjahjo Kumolo, atas nama pemerintah khususnya Kemendagri menyampaikan permohonan maaf kepada publik para pemudik.

Sebagaimana telah menjadi pemberitaan secara nasional baik di media televisi, cetak, radio, media online maupun media sosial bahwa musibah di Brexit yang menimbulkan korban jiwa tersebut ditenggarai lantaran dampak dari antrian panjang dalam arus mudik Lebaran. Oleh karenanya, ketika Mendagri Tjahjo Kumolo menyampaikan permohonan maaf kepada publik, Mendagri Tjahjo Kumolo atas nama pemerintah melalui pers rilisnya kepada wartawan, Minggu (10/7), berjanji, pemerintah segera melakukan evaluasi atas peristiwa Brexit tersebut. Harapannya, peristiwa serupa tidak terulang lagi dalam musim mudik Lebaran berikutnya.

Salah seorang Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, menilai kemacetan parah di beberapa pintu keluar tol pada arus mudik-balik Lebaran tahun ini sebagai tanda kegagalan pemerintah dalam menata jalur transportasi. Ia merujuk pada kemacetan sepanjang 30 kilometer di Brexit sebagai momen untuk mengharmoniskan jalur jalan tol dan non-tol. Selain sebab ketidaksinkronan antara jalur jalan tol dan non tol, fenomena ini menurutnya menunjukkan tidak adanya persiapan matang pemerintah untuk mengatasi membeludaknya arus kendaraan saat itu.

Sebagaimana dikeluhkan oleh para pemudik bahwa kemacetan pada 3-4 Juli 2016 lalu di jalan Brexit terjadi lantaran jalan arteri di Brebes tak mampu menampung kendaraan yang keluar dari jalan tol. Selain itu tak ada jalur alternatif yang memadai. Manakala sebelumnya ada persiapan dan perencanaan antisipasi, seharusnya, pemerintah mampu menyiapkan jalur lain untuk mengurai dan membagi arus kendaraan.

Kondisi itu menurut pengamatan Sudaryatmo, diperparah oleh buruknya manajemen lalu lintas di Brebes. Berdasarkan pantauan YLKI, tegasnya, skema contra-flow atau lawan arus di gerbang tol Brexit menyebabkan lalu lintas “terkunci” karena volume kendaraan dari arah sebaliknya cukup banyak. Kondisi ini diperparah lagi oleh rekayasa lalu lintas yang terjadi di lapangan tak diimbangi oleh jumlah petugas yang memadai.

Untuk mencegah terulangnya kemacetan parah pada masa mudik tahun depan, YLKI menyarankan pemerintah agar membangun jalan tol baru, yang dibarengi dengan peningkatan kapasitas jalan arteri di wilayah sekitarnya. Sudaryatmo juga meminta pemerintah memperhatikan jalur tengah dan selatan Jawa sehingga pemudik punya pilihan. Selain itu Sudaryatmo mengingatkan bahwa Kementerian Perhubungan agar terus mengalihkan moda angkutan pemudik dari kendaraan pribadi ke angkutan umum. Salah satu sebabnya, tahun ini jumlah penumpang bus malah turun karena tak ada pembatasan tuslah (kenaikan tarif).

Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menyoroti tak berjalannya sistem pembayaran elektronik sebagai penyebab kemacetan arus mudik-balik. Ia pun meminta Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT) dan operator jalan tol berinovasi dan mengintensifkan sistem pembayaran non-tunai. “Kalau tolnya masih bayar tunai, pasti akan macet,” ujar Jonan, akhir pekan lalu. Jonan pun membuka wacana untuk menggratiskan tarif tol saat terjadi kemacetan panjang.

Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengakui kemacetan di jalur mudik disebabkan oleh infrastruktur yang tidak memenuhi standar dan pembangunan tol Trans Jawa yang belum rampung. “Belum tersambung semuanya, sehingga pintu keluar tol berpapasan dengan dua arus, seperti di Brebes,” kata Darmin, di kediamannya. Ia mengatakan pihaknya akan mempercepat pembangunan tol Trans Jawa hingga mencapai Surabaya.

Adapun Kepala BPJT, Herry Trisaputra Zuna, mengatakan kemacetan lebih disebabkan oleh lonjakan volume kendaraan yang berlebihan. “Rekayasa lalu lintas di pintu keluar tol harus dikelola bersama,” ujarnya. Herry pun menganggap pembebasan tarif saat terjadi kemacetan lebih dari 5 kilometer sebagai solusi awal, selain menambah jumlah gardu dan petugas untuk menjemput tiket. Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Inspektur Jenderal Agung Budi Maryoto menyarankan para pemudik agar memilih jalur lain. “Jangan hanya lewat tol Cikampek-Palimanan (Cipali)”, sarannya.

Dari semua pendapat di atas yang menjadi sumber masalahnya adalah regulasi yang mengatur tentang peningkatan kualitas jalan dan pembangunan jalan yang tidak sinkron antara pembangunan jalan tol dan jalan non-tol. Umumnya pembangunan pintu keluar jalan tol tidak terkoneksi dengan baik dengan jalan non-tol. Pembangunan jalan tol se-olah-olah tidak mau tahu tentang kondisi jalan non-tol di provinsi maupun jalan non-tol kota/kabupaten sebagai pintu keluar (exit) jalan tol. Begitu juga sebaliknya, pemerintah provinsi, pemerintah kota/kabupaten seolah-olah tidak mau tahu terhadap kondisi dan kepentingan pembangunan pintu exit jalan tol. Inilah yang jadi biang kemacetan di setiap pintu exit jalan tol yang terhubung dengan jalan non-tol.

Muhammad Said Sutomo

Muhammad Said Sutomo

Kelemahan sinergi pembangunan jalan tol dan jalan non-tol selama ini antara pengelola jalan tol dengan pemerintah pusat pengelola jalan nasional, pengelola jalan provinsi dan pengelolan jalan kebupaten/kota yang masih lemah mengakibatkan publik pengguna jalan yang jadi korbannya. Apalagi jika kita mempertanyakan konektifitas pembangunan jalan tol dan non-tol dengan rencana pembangunan rel angkutan massal kereta api dengan stasiunnya, pembangunan pelabuhan tempat bersandar angkutan massal laut maupun angkutan penyeberangan antar pulau dan pembangunan konektifitas antara sistem jalan dan sistem transportasi publiknya dengan bandara udara sebagai terminal angkutan udara, tentunya masih menjadi pertanyaan besar?

Oleh: Muhammad Said Sutomo (Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur)