Bus Kota Khusus Perempuan, Semoga Tak Senasib Dengan Bus Sekolah

Bus Perempuan (foto:kompas)

Setelah Kota Bandung melaunching bus kota DAMRI khusus melayani konsumen perempuan pada pertengahan Juni 2011, kemudian bus TransJakarta pada akhir tahun 2011, selanjutnya di Kota Pekanbaru pada bulan April 2012, maka di puncak Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Surabaya ke 917 Tahun 2012 ini Walikota Surabaya, Tri Rismaharini juga telah melaunching bus kota khusus melayani perempuan.

Pada tiap jalur di Kota Surabaya akan disediakan 4 unit bus baru ber-AC. Launcing perdana ini diharapkan tak mengalami nasib sama dengan bus sekolah yang ditolak oleh para operator transportasi publik di Kota Surabaya. Pelayanan bus ini diharapkan mampu mengubah perilaku masyarakat konsumen transportasi yang selama ini lebih suka menggunakan kendaraan pribadi daripada angkutan umum khususnya bagi kaum perempuan.

 

Logika pasar transportasi publik ternyata tak cukup hanya berpatokan pada suplai dan demand. Namun faktor selera (willingness to pay) dan kemampuan daya beli masyarakat (ability to pay) sangat penting menjadi pertimbangan. Jika tarif bus kota khusus melayani perempuan ini dipatok Rp. 4.000,- adalah besaran tarif yang semua lapisan masyarakat mampu membayarnya. Persoalannya, apakah bus ini akan selalu mengundang selera kaum perempuan untuk menggunakannya? Sangat tergantung pada mutu pelayanan yang diberikan.

 

Selera konsumen untuk menjadi keputusan mengkonsumsi atau tidak, selalu diukur dengan pendapatannya. Berselera untuk mengkonsumsi tapi tak terjangkau dengan pendapatannya maka keputusan untuk mengkonsumsi akan dihentikan. Pasca pencabutan Peraturan Walikota Surabaya Nomor 15 Tahun 2012 tentang Batasan Umur Kendaraan semakin menjauhkan dari selera konsumen untuk memanfaatkan transportasi publik karena semakin membludaknya kendaraan tak laik operasi menawarkan jasa di jalan raya.

 

Ketersediaan transportasi publik di Kota Surabaya menurut data dari Dinas Perhubungan Kota Surabaya dalam tahun 2010, moda jenis Taksi 4.756 unit, Mikrolet 4.573 unit, Angguna 289 unit, dan bus kota 228 unit. Pada tahun 2011 setelah adanya pelaksanaan Peraturan Walikota Surabaya Nomor 26 Tahun 2009 tentang Pembatasan Umur Kendaraan, Taksi mengalami kenaikan 0.4 persen menjadi 4.774 unit, Mikrolet turun 9,4 persen menjadi 4.139, Angguna turun 66,1 persen menjadi 101 unit dan Bus Kota juga turun 26,7 persen menjadi 167 unit. Namun pasca Peraturan Walikota Surabaya Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pencabutan Pembatasan Umur Kendaraan maka terjadi lonjakan jumlah Mikrolet naik 19,5 persen menjadi 4.949 unit, Angguna naik 245,5 persen menjadi 349 unit, Bus Kota naik 58,8 persen menjadi 282 unit, sedangkan taksi turun 5,4 persen menjadi 4.514 unit.

 

Itulah potret ketersediaan transportasi publik di Kota Surabaya yang keberadaannya semakin tak disukai masyarakat. Selain kondisinya lebih banyak yang bobrok, lama ngetem di jalan, pengab dan rawan kejahatan. Padahal sarana transportasi menjadi salah satu kebutuhan dasar mansuia selain sandang, pangan dan papan. Maka, bus kota yang beroperasi khusus melayani perempuan itu diharapkan mampu mengubah imej buruk transportasi publik di Kota Surabaya dan mampu mengundang selesa kaum konsumennya. Apalagi konsumennya adalah kaum perempuan yang memiliki prototipe provokatif dan promotif.

 

Provokatif dalam artian, kaum perempuan akan selalu melakukan provokasi kepada setiap orang yang ditemuinya manakala mandapati pelayanan bus yang buruk karena tak tepat waktu, tarifnya tak menentu, dan pelayanannya takbermutu. Sebaliknya, kaum perempuan akan bersikap promotif manakala mendapatkan pelayanan yang memuaskan.

 

Karenanya, jika bus khsusus perempuan ini konsisten dalam memberikan pelayanan yang baik, pada gilirannya mampu mengubah perilaku masyarakatnya yang semula lebih mengutamakan kendaraan pribadi sehingga tak memperparah kemacetan di jalan raya. Karena kemacetan tak hanya di jalan raya tapi sudah meluas di gang-gang perumahan pun sekarang sering macet karena dipenuhi oleh kendaraan pribadi yang parkir di depan rumah pemiliknya. Melonjaknya kepemilikan kendaraan pribadi ini dikarenakan pelayanan transportasi publik terus memburuk dan aksesibilitasnya tak terintegrasi dengan pusat-pusat keramaian kota.

 

Anehnya, para operator di Kota di Surabaya tak menyadarinya bahwa telah terjadi pergeseran perilaku konsumtif konsumen transportasi publik. Dulu pusat keramaian perpindahan orang dan barang terpusat di terminal bus dan pangkalan angkutan kota. Tapi sekarang beralih di pusat-pusat perbelanjaan, mal-mal, dan tempat-tempat rekreasi. Sedangkan terminal dan pangkalan transportasi publik semakin terpisah dari pusat-pusat keramaian kota.

 

Karenanya sistem pelayanan transportasi publik di Kota Surabaya butuh ada perubahan progresif agar mampu mengubah perilaku masyarakatnya. Karena apa? Karena sistem pelayanan yang ada mensekat-sekat rute perjalanan konsumen sehingga menimbulkan beban ekonomi biaya tinggi. Buktinya, konsumen transportasi publik di Kota Surabaya terpaksa harus pindah moda transportasi rata-rata sampai tiga kali untuk sampai di tempat tujuannya. Pergi-pulang (PP) perharinya konsumen butuh pindah antar moda transportasi sebanyak enam kali.

 

Jika ongkos tarif transportasi publik di Kota Surabaya Rp. 3.000,- perorang berarti butuh biaya Rp. 9.000,- sekali pergi dan PP butuh Rp. 18.000,- perharinya. Jika dalam sebulan dengan hitungan hari kerja 26 hari maka butuh anggaran Rp. 468.000,- perbulan, setara dengan besaran cicilan kredit sepeda motor perbulannya. Maka, beban ekonomi untuk transportasi publik saja di Kota Surabaya sangat membebani pendapatan perbulannya.

 

Kenyataan empirik yang menyebabkan transportasi publik di Kota Surabaya berbiaya tinggi itu dikarenakan keneksitas coverage area pelayanan transportasi publiknya tak terintegrasi. Contoh, rute bus Kota Surabaya hanya tersedia rute ke Perak, Jembatan Merah (JMP) melintasi Kupang dan Darmo (jalur Utara-Selatan), tapi tak tersedia jalur Utara-Barat, Utara-Timur dan Timur-Barat) yaitu jalur dari/ke Terminal Tambak Osowilangun (TOW), Jl. Mayjen Sungkono, Kampus UNESA-Lidah, Pantai Kenjeran, dan dari/ke Terminal Bratang dan dengan jalur-jalur lain yang memiliki koneksitas dengan pusat-pusat belanja.

 

Ke depan, progres ketersediaan Bus kota khusus melayani wanita itu diharapkan mampu membuka jalur perintis untuk mengisi kekosongan rute transportasi publik yang selama ini belum diperhatikan secara maksimal oleh para pemangku kepentingan. PT. DAMRI, selaku BUMN, tentunya berkewajiban mengadakan ketersediaannya dengan pelayanan tak hanya tepat waktu, tapi tarifnya murah, nyaman dan memiliki aksesbilitas coverage area pelayanan yang terintegratif dengan pusat-pusat perpindahan orang dan barang yang sekarang terpusat pusat-pusat perbelanjaan, tempat rekreasi dan pusat-pusat keramaian lainnya.

Oleh

M. Said Sutomo

Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK)

Jawa Timur