Corporate University Penguatan Peran TELKOM

No comment 721 views

Perkenankan pada kesempatan yang baik ini saya memperkenalkan jajaran direksi baru. Saya, Arief Yahya, yang paling tua 50 tahun sedangkan Direksi yang baru rata-rata berusia 45 tahun. Yang paling muda adalah Rizkan Chandra (DirNWS) kemudian berurutan Honesti (DirKug), Awaluddin (DirEWS), Priyantono (DirHCGA), Sukardi (DirKons) dan Ririek (DirCRM) disambung dengan Indra (DirITSS) dan saya sendiri (Dirut).

“Priyantono itu Doktor, sehingga sering saya sampaikan bahwa DirHCGA pintarnya sudah seperti itu apalagi Dirutnya. Indra juga memperoleh penghargaan sebagai CIO terbaik,” seloroh CEO Telkom 2012-2015 Arief Yahya belum lama ini dihadapan karyawan Telkom.

Dikatakan professional muda energik dari Jawa Timur ini tadinya paparan yang akan diberikannya itu panjang sekali, namun dipangkas jadi 15 menit. Meskipun demikian akan dicoba untuk dipersingkat tanpa mengurangi esensinya. Temanya adalah “Great Spirit dan Grand Strategy to achieve Sustainable Competitive Growth”. Di CSS disebutkan “competitive sustainable growth” tapi di bukunya (CSS) ditulis “sustainable competitive growth”. Yang tepat adalah “Sustainable Competitive Growth” karena pertumbuhan (growth) yang harus sustain.

“Saya adalah orang yang meyakini bahwa yang nomor satu itu adalah rasa dan rasio sehingga dalam lagu himne Telkom disebutkan “satukan hati, pikiran dan tindakan”. Semua tentang rasa. Saya sering mengatakan “manage by head, lead by heart”. Kalau secara awam “manage by head, lead by heart” namun sesungguhnya yang lebih tepat adalah “lead by heart (memimpin dengan hati) dan manage by head (mengelola lebih menggunakan rasio)”,” kata Arief Yahya kemudian.

Dari mengelola pekerjaan menjadi memimpin orang dengan menggunakan rasa. Istilah tersebut kemudian di populerkannya menjadi “lead by heart dan manage by head”. Konsep ini jelas Arief, dia sebut dengan leadership architecture karena menurut dia leadership merupakan gabungan antara rasio dan hati serta gabungan antara spirit dan strategy. “Saya sering menyampaikan bahwa spirit yang tinggi akan menemukan strategi dan jalannya sendiri,” tuturnya.

Menurut Arief Yahya, Working Spirit untuk menjadi Always The Best merupakan interseksi antara Imagine, Focus & Action yang disingkat dengan IFA. Mengapa dirinya menggunakan kata “Imagine” bukan “Vision” dan tidak juga “mimpi” ? Karena Imagination lebih hebat daripada visi dan mimpi. Kalau Visi itu melihat sehingga terbatas, kalau mimpi itu tidak terbatas tapi tidak sadar sedangkan imagination itu tidak terbatas tapi sadar.

“Imajinasi menggambarkan desirability (keinginan) bukan hanya feasibility (kebiasaan). Kalau dulu tumbuhnya Telkomsel double digit itu feasibility, kalau Speedy tumbuh 1,8 juta itu juga feasibility karena orang lain melakukannya seperti itu,” jelas CEO Telkom ini.

Disebutkan dia, secara informal dia tetapkan dulu, Speedy harus menjadi 5 juta di 2012. Katanya, seharusnya start dari market bukan start dari diri kita sendiri. Logika apakah ada alat produksi itu start yang salah. Tidak peduli berapa alat produksi tapi yang terpenting adalah berapa market sizenya dan berapa yang akan diambil oleh Telkom (market share). Compare dengan negara lain seharusnya Telkom memiliki 8 juta pelanggan Speedy, itulah yang dinamakan start from imagination. Jadi start from desirability = start from imagination lalu fokus kemudian action.

Ditegaskan Arief Yahya, hanya visi dan aksilah yang bisa mengubah dunia. Dengan visi yang besar akan menghasilkan aksi besar. Jadi maksud Sustainable Competitive Growth adalah harus terus tumbuh lebih tinggi dari kompetitor atau industri. Imajinasi yang bagus jangan menetapkan target yang berbentuk pecahan karena sama sekali tidak inspired. Target harus utuh sehingga mudah dicerna dan diaksikan. “Wireline POTS sementara ini telah ditetapkan sebesar 10 juta,” ungkapnya.

Arief Yahya mengatakan, Relasi 4R (Raga, Rasio, Rasa dan Ruh) dengan 3P (Philosopy, Principle dan Practise) dan IFA (Imagine, Focus dan Action) diwujudkan dengan keseimbangan dari raga, rasio, rasa dan ruh yang semuanya harus dalam keadaan bagus. “Imaginasi” (Philosopy) adalah rasa dan ruh. “Focus” (Principle) itu antara rasa dan Rasio sedangkan “Action” (Practise) itu antara Rasio dan Raga.

Menurut dia, yang membedakan antara satu manusia dengan manusia lainnya adalah “karsanya”. Raga, rasio, rasa dan ruh boleh persis sama tapi karsa yang membedakannya. ““R” yang kelima belum saya temukan tapi yang paling tepat untuk menggerakkan dan membedakan semuanya adalah karsanya, sehingga sementara dibuat 4R. Dari sisi ruh sebagai contoh sholat harus bagus,” tandas Arek Jatim ini.

Mengapa memimpin harus menggunakan rasa ? Mengapa Jack Welch menyampaikan “lead more manage less” ? Mengapa dia mengatakan untuk mencapai hasil yang bagus maka caranya harus tidak biasa ? Karena Leadership itu melead people sedangkan manage itu memenage pekerjaan. Mana yang lebih hebat lead peole atau manage pekerjaan ? Seluruh pemimpin-pemimpin besar di dunia itu lebih banyak melead people. Oleh sebab itu manage less lead more. Ketika melead people harus menggunakan rasa.

Menyinggung Leadership level 5 dijelaskan Arief Yahya, adalah orang yang rendah hati tapi memiliki professionalisme yang tinggi (personal humility and professional will). Great company biasanya dipimpin oleh great leader seperti ini. Dia lebih fokus ke long term result dan tidak mau populer dalam jangka pendek. Investasi di Human Capital bersifat long term sehingga kalau diperlakukan semata-mata sebagai OPEX maka itulah tanda-tanda kehancuran.

“Sebagai contoh ibu mana yang lebih baik, apakah Ibu A yang memiliki EBITDA kurang baik tapi menyekolahkan anaknya di sekolah yang terbaik, atau Ibu B yang memiliki EBITDA baik tapi menyekolahkan anaknya di sekolah yang kurang baik ? Orang yang berpikir long term pasti akan memilih ibu A dan hanya orang yang berpikir short term akan memilih ibu B. Sama dengan corporate image, kalau hanya berpikir marketing untuk short term corporate image maka akan cepat dilupakan oleh pelanggan. Pemimpin level 5 berpikir long term. Kalau hanya short term memang bagus tapi hanya snapshoot,” papar CEO Telkom ini.

Dikemukakan dia, ciri lain dari pemimpin level 5 adalah kalau ada kesalahan itu akan menjadi feedback bagi dia namun kalau ada anak buah yang salah maka akan ditakeover olehnya. “Seorang leader harus mengcover kesalahan anak buahnya dengan segala resikonya,” tegasnya.

Berbicara tentang Contextual Leadership, ujar Arief Yahya, adalah perpaduan dari competence dan context. Competent bukan hanya sekedar content tapi juga AKS atau Attitude (character), Knowledge (Concept) dan Skill (capability). Yang hilang dari “7 habits of highly effective people” oleh Stephen R. Covey adalah suara hati atau attitude baru dilanjutkan dengan knowledge dan yang terakhir adalah skill.

“Akhir dari presentasi saya adalah saya ingin membangun Corporate University untuk mengukur attitude, siapa yang memiliki leadership level 5, siapa orangnya yang menurut Pak Dahlan Iskan memiliki integritas dan antusiasme yang tinggi, setelah itu baru akan diukur seberapa mampu dia di hard skill, high level dan lower level tapi yang perlu dicatat soft skill jauh lebih penting dari semua itu. Hal itulah yang mendasari mengapa seseorang kadang kala dikelompokkan pekerjaannya bukan pada capabilitynya tapi mainly karena pilihannya sendiri yang ditentukan oleh kemauan atau characternya,” jelas jebolan ITB Bandung ini.

Mengenai Result is not only output but also outcomes. Penjelasan singkatnya adalah kalau kita berpikir mikro maka kita akan menghasilkan produk, kalau kita berpikir makro maka kita akan menghasilkan output sebagaimana yang dibutuhkan oleh Industri, namun jika kita berpikir mega maka kita akan menghasilkan outcome untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

“The more you give the more you get”, hal ini adalah suatu kepastian yang dijamin dalam Al-Qur’an. Sebagai contoh jika kita buat broadband seluruh Indonesia pasti ada manfaatnya baik bagi masyarakat dan juga bagi Perusahaan. Belajar dari Google yang berprinsip seperti angin, prinsipnya kalau kita membuat sesuatu yang dibutuhkan oleh orang banyak maka akan ada “outcomes” yang kita peroleh. Semakin gratis semakin baik. Poinnya adalah seseorang yang berpikiran mega maka pasti akan memperoleh ketiga-tiganya,” tutur Arief Yahya.

Jadi, kata dia, competence based itu adalah hard skill dan soft skill. Hard Skill adalah content namun itu belum cukup harus juga dilengkapi dengan contextnya sehingga disebut dengan contextual leadership.

Pada sisi lain, Great Spirit Contextual Leadership for creating value style memiliki style: Solid, Speed dan Smart. Solid, Speed dan Smart harus menjadi profile status dari BBM masing-masing BoD. Terjemahannya adalah Spirit (Attitude) harus solid, Strategy (Knowledge) harus speed dan Skill (Skill) harus smart. Spirit manakah yang paling menentukan ketika kita mengelola Telkom sebagai BUMN bahkan untuk hampir seluruh Perusahaan?.

Menjawab pertanyaan tersebut, kata Arief Yahya, harus berkaca pada pelajaran dari Tsun Zu (ahli strategy china). Tsun Zu mengatakan, untuk memenangkan pertempuran bukan terletak pada jumlah tentara yang banyak atau senjata yang tajam tapi karena unity.” Secara kontekstual itu tepat sekali untuk Telkom yaitu solidity atau satu hati, satu pikiran dan satu tindakan,” pungkas Arief Yahya.

Disebutkannya, strategi mana yang harus dipilih untuk Telkom selaku BUMN ? Mengacu ke Strategi generik Porter mana kira-kira yang lebih tepat, apakah cost leadership atau differensiasi atau speed (kecepatan) ? Katanya, ketika kita mengelola perusahaan seperti BUMN maka yang nomor satu adalah Speed. Dalam persaingan bukan lagi yang besar memakan yang kecil tapi yang cepat memakan yang lambat.

Elemen-elemen dari solid, speed dan smart semua tentang rasa. Sebagai contoh ,jelasnya, kalau kita bermain tenis namun masih berpikir dalam memainkannya maka akan sangat terlambat dan tidak indah untuk ditonton. Demikian juga jika kita bermain golf masih berpikir maka akan tidak indah. Seharusnya tidak perlu lagi untuk berpikir kalau sudah menyatu dengan darah kita, itulah yang disebut dengan intuisi yang sudah terlatih.

“Setelah itu baru didukung dengan rasio. Seharusnya dalam bekerja juga demikian, sudah menyatu dengan darah kita, dengan intuisi kita yang didukung dengan rasio yang tajam. Syarat untuk menjadi Direksi BUMN ada 2 (dua) yaitu integritas dan antusiasme, dan dengan sepertujuan Menneg BUMN ditambahkan 1 (satu) lagi yaitu totalitas sehingga mimpi-mimpi kita sudah menyatu dengan darah kita. Jadi Solid, Speed dan Smart harus dipahami dan diimplementasikan oleh seluruh jajaran Telkom,” harap CEO Telkom 2012-2015 ini.

Dikemukakannya, dari 10 strategic initiatives (SI) Telkom, kalau diminta untuk memilih 1 (satu) SI prioritas utama maka yang dipilih adalah center of excellence karena pembeda satu bangsa dengan bangsa lainnya adalah “sumber daya manusia”, demikian juga yang membedakan perusahaan satu dengan perusahaan lainnya serta keluarga satu dengan keluarga lainnya adalah “sumber daya manusianya”. Kalau sumber daya manusia baik maka baiklah Perusahaan tersebut. Oleh sebab itu Quick Win dari Center of Excellence yang dalam 3 (tiga) bulan ini harus diwujudkan adalah Corporate University.

Menurut Arief Yahya, latar belakangnya adalah Indonesia itu clash of global, kalau tidak bisa mensertifikasi Perusahaan kita sesuai standard internasional maka akan secara perlahan akan hilang (demolish). Telkom mewakili BUMN Indonesia Incorporated dalam digital bisnis harus memiliki juga International Standard. Tugas dari Corporate University adalah mensertifikasi sesuai sertifikasi standard Internasional.

Ditetapkan Rektor dari Corporate University adalah Dirut dan masing-masing Direksi adalah Dekan masing-masing Direktoratnya yang wajib belajar. Seorang Pemimpin harus membuat pemimpin-pemimpin besar lagi bukan memusuhi anak buahnya. Sumpah saya adalah anak buah saya harus lebih sukses dari saya. Di situlah fungsi seorang ayah. “Jayalah Telkom Indonesia!,” teriak Arief Yahya lantang dan penuh keyakinan.