Dahlan Iskan, Dosa di Mata DPR, Pahala di Mata Konsumen

            Dahlan Iskan ingin menjadikan BUMN benar-benar menjadi perpanjangan tangan negara dalam membangun kesejahteraan rakyat. Memang itulah tujuan utama BUMN sehingga sektor-sektor strategis dalam pembangunan nasional dipercayakan kepada BUMN, bukan pada swasta.

Idealnya BUMN selalu hadir di tengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami kesulitan, namun dalam kenyataannya justru sebaliknya. BUMN memperkeruh kesulitan rakyat dan membebani ekonomi rakyat. Maka Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan harus melakukan banyak gebrakan sendirian, dari membuka pintu tol, ikut berdesak-desakan naik kereta rel listrik, sampai menginap di rumah petani.

Gebrakan demi gebrakan untuk menghadirkan BUMN di tengah rakyat yang sedang mengalami kesulitan itu ternyata tidak semuanya merasa senang. Terutama bagi kebanyakan orang yang telah dimanjakan oleh keberadaan BUMN selama ini. Bukan rahasia lagi, singkatan BUMN diplesetkan oleh kebanyakan orang dari kepanjangan Badan Usaha Malinge Negoro.

Dilema yang dihadapi BUMN dalam mengoptimalkan misi pelayanan publik dan misi menjadi organisasi yang profitable adalah kendala kultural dan struktural. Kebijakan Dahlan Iskan ingin membongkar semua kendala itu secara bersamaan. Tapi faktual kultural dan struktural itu pula yang kini menyusun kekuatan untuk menghalanginya.

Kultur korupsi umpamanya, yang selama ini telah menggerogoti kemampuan BUMN untuk mengeruk laba secara maksimal, telah menjadi faktor penghambat yang sangat serius bagi Dahlan Iskan untuk membangun suatu organisasi BUMN yang memiliki kultur etos kerja haram merugi. Karena etos kerja BUMN selama ini menganggap merugi itu halal hukumnya.

Dari sisi struktural, BUMN yang diposisikan di bawah departemen pemerintahan, seringkali menghadapi jaring-jaring struktur yang menyulitkan untuk berkembang. Apalagi setelah era reformasi, politisasi BUMN oleh kekuatan-kekuatan politik yang sedang berkuasa semakin kuat. Maka terjadilah pembagian kapling-kapling kekuasaan pada tubuh BUMN. Apalagi corak kekuasaan yang ada sekarang adalah pemerintahan koalisi. Kondisi seperti ini tentu semakin menyulitkan BUMN untuk mengembangkan secara mandiri.

Tidak perlu heran jika beberapa anggota DPR RI mengecam tindakan Dahlan Iskan sebagai aksi koboi yang berdosa. Padahal di mata anak-anak kita aksi di film-film koboi itu adalah aksi heroik untuk membasmi para penjahat yang telah menyengsarakan kehidupan rakyat kecil. Namun aksi “koboi” itu memang selalu mendapat perlawanan dari “kaum mapan” yang telah lama menikmati dari sistem kehidupan yang bobrok.

Kini anggota DPR RI mengajukan penggunaan hak interpelasi soal Keputusan Menteri BUMN Nomor 236 Tahun 2011, yang diteken Dahlan Iskan pada 15 November 2011. Tindakan itu dinilai melanggar tiga undang-undang sekaligus. Dari pemberitaan berbagai macam media, tindakan Dahlan Iskan yang dinilai berdosa oleh DPR RI itu adalah,:

  1. Penunjukan direksi BUMN tanpa mekanisme rapat umum pemegang saham, sehingga melanggar Pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
  2. Penunjukan direksi BUMN tanpa melalui Tim Penilai Akhir. Penunjukan ini mengabaikan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang diamanatkan dalam Pasal 16 Undang-Undang tentang BUMN.
  3. Pengangkatan kembali direksi BUMN yang memiliki rekam jejak negatif melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik sesuai dengan Pasal 5 ayat 3 Undang-Undang tentang BUMN.
  4. Pengangkatan kembali direksi BUMN untuk masa jabatan ketiga kalinya melanggar Pasal 16 ayat 4 Undang-Undang tentang BUMN. Pasal tersebut menyebutkan, masa jabatan direksi BUMN ditetapkan 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.
  5. Dahlan Iskan juga melimpahkan wewenang kepada direksi BUMN untuk menjual aset. Akibatnya, diduga kuat, telah terjadi penjualan aset BUMN oleh direksi BUMN.

Selain dinilai melanggar Undang-Undang tentang BUMN, jika dugaan itu benar, Dahlan Iskan juga dianggap telah melanggar Pasal 24 ayat 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, serta Pasal 45 dan 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Kedua regulasi terakhir ini mengatur bahwa penjualan aset BUMN harus melalui persetujuan DPR, Presiden, dan atau Menteri Keuangan, sesuai dengan tingkat kewenangan masing-masing.

Pertanyaan publik adalak apakah regulasinya yang salah atau memang dari hulunya dulu regulasi itu dibuat salah, akibatnya menjadi “salah kaprah”, dan akhirnya menjadi “kaprah yang salah”? Mengingat segala macam persetujuan yang diatur dalam regulasi itu dalam praktiknya tidak ada yang gratis. Semua bentuk persetujuan itu ada ongkosnya dan membuat BUMN tidak lincah untuk menjadi pilar-pilar ekonomi negara. Dan mengingat, semua beban ekonomi BUMN itu pada akhirnya dibebankan kepada masyarakat konsumen.

Karenanya, masalah paling krusial adalah kultur bangsa kita yang lebih suka berpikir jangka pendek, semuanya diukur dengan kepentingan jangka pendek. Contohnya, dalam proses pembuatan regulasi dalam pasal demi pasalnya diukur dengan kepentingan jangka pendek bukan dengan kepentingan jangka panjang dan kepentingan lebih luas. Akibatnya, masa berlakunya regulasi berjangka pendek. Bahkan tidak jarang ketika regulasi itu ditetapkan untuk diterapkan sudah tidak sesuai lagi dengan pekembangan zaman dan tuntutan kehidupan masyarakat.

Maka regulasi-regulasi yang mengatur BUMN itu sebenarnya sudah usang, tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. DPR RI seharusnya memiliki inisiatif mengubah semua regulasi BUMN yang ketinggalan zaman itu sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Namun kalau pun berusaha mengubahnya, dapat diyakini konten produk legislasinya berjangka pendek, pada akhirnya ketika regulasi itu digedok tidak sesuai lagi dengan zamannya yang sudah bergerak maju lebih cepat. Maka proses legislasi pembuatan regulasi itu sebenarnya hanya membuang-buang ongkos saja yang ujung-ujungnya menjadi beban masyarakat konsumen. Ini suatu bukti bahwa kapabilitas dan integritas para legislator kita terdiri dari orang-orang yang berpikiran jangka pendek.

Konstruksi regulasi yang berbasis kepentingan publik akan menjadi sangat penting bagi sistem tatakelola BUMN. Namun sistem yang dibangun dari proses legislasi itu sangat tergantung pada para legislatornya. Apakah output regulasi itu mau dibuat jangka pendek atau jangka panjang? Ataukah output regulasi untuk kepentingan tertentu atau untuk kepentingan publik? Pasal demi pasal proses legislasi sebuah regulasi bisa dijual-belikan. Karenanya, apa yang kelihatan dosa di mata wakil rakyat, boleh jadi pahala di mata Rakyat, sebaliknya, apa yang kelihatan pahala di mata wakil rakyat, boleh jadi dosa di mata Rakyat! Mata Rakyat dengan wakilnya benar-benar beda!

Oleh: M. Said Sutomo

Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur

 

Surabaya, 17 April 2012.