Dokumen Perjalanan Dinilai Bebani Masyarakat

Dokumen yang harus dilampirkan calon penumpang saat perjalanan pesawat udara, kapal laut, kereta dan kendaraan antar wilayah dinilai membebani rakyat.

Negara harus hadir di tengah tengah masyarakat yang sudah tercekik akibat pandemi. Rakyat selama pandemi Covid juga sudah menjadi sasaran negara yang tidak mampu menjamin kesehatan dan keselamatan rakyat.

Sebelumnya, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia, yang juga mantan anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Gerindra periode 2014-2019, Bambang Haryo Soekartono (BHS), meminta agar kebijakan itu ditinjau ulang.

Sesuai Surat Edaran Gugus Tugas (SEGT) nomor 7 tahun 2020. Dalam SE itu disebut rapid test berlaku 3 hari, test PCR berlaku 7 hari dalam keberangkatan.

Hal ini rawan dijadikan bisnis baru, baik bisnis medis dan bisnis ilegal atau gelap. Di awal saja sudah ada pemalsuan dokumen izin keluar masuk wilayah diperjualbelikan. Apalagi test rapid dan PCR, sangat rawan.

Kebijakan itu bias dan tidak memihak rakyat. Karena tidak ada jaminan calon penumpang streril sampai rumah. Apalagi sebelum dan sesudahnya masih naik kendaraan lain untuk sampai rumah, kecuali kendaraan pribadi.

“Pemerintah jangan sudutkan konsumen, padahal pemerintah wajib menyediakan infrastruktur dan sumber daya manusianya standarisasi Covid-19, menjamin keselamatan rakyat,” imbuhnya.

YLPK : Negara Harus Tanggung Jawab

Sementara Ketua YLPK Jawa Timur, M Said Sutomo, mengatakan bahwa kebijakan menyertakan syarat dokumen perjalanan test negatif rapid test dan PCR negatif memberatkan rakyat.

Dokumen itu rawan diperjualbelikan, dipalsukan, dan rawan tidak sesuai hasil karena jadi ajang bisnis kalangan tertentu.

“Apakah menjadi jaminan surat rapid test dan PCR itu bisa dipertangjawabkan secara medis dan hukum? Karena surat rapid test dan PCR telah menjadi objek bisnis baru yang tidak terkendali,” ujarnya kepada Nusadaily.com.

Dari sisi standar akurasi hasil diagnosanya hingga ketentuan biayanya, jadi ajang permainan baru bisnis mencekik rakyat.

Kata Said, negara atau pemerintah Pusat/Provinsi/Kota/Kabupaten memfasilitasi secara gratis atau dengan tarif terjangkau sesuai amanat UUD 1945 pasal 34 ayat (3), bahwa negara bertangjawab terhadap penyediaan fasilitas kesehatan dan pelayanan umum yang layak. Meindungi keselamatan jiwa rakyatnya,” tegas Said Sutomo.

Sementara itu, Kepala Bidang Upaya Kesehatan Lintas Wilayah (UKLW) Kantor Karantina Kesehatan Pelabuhan (KKP), Kelas 1 Surabaya, Acub Zaenal, mengatakan memang hal itu terkesan memberatkan.

“Namun itu adalah upaya yang bisa dilakukan dalam mencegah peningkatan potensi penularan antar daerah dalam situasi new normal,” ujarnya singkat.

Sekadar diketahui, untuk mendapat dokumen test rapid secara mandiri di RS swasta tarifnya Rp 350 – 400 ribu. Dokumen tersebut hanya berlaku selama tiga hari. Bayangkan jika para calon penumpang mengalami penundaan perjalanan atau delay, maka surat bisa hangus dan harus mengurus baru lagi.

Sedangkan biaya test PCR atau swab bertarif antara Rp 1,750 juta hingga Rp 2,5 juta. Masa kedaluwarsanya pun berlaku 7 hari saja.

Sumber : Nusa Daily