Isu Perlindungan Konsumen Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)

           Pembentukan komunitas ASEAN 2015 dalam kerja samanya bidang informasi Kementerian Luar Negeri RI Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN pada 13 Desember 2010 mencanangkan One Vision, One Indentity, One Community. Salah satunya adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Tujuannya: Memberikan kontribusi dalam mewujudkan komunitas ASEAN yang berorientasi kepada rakyat dan memiliki tanggung jawab secara sosial untuk mencapai solidaritas dan persatuan di antara bangsa-bangsa dan rakyat ASEAN dengan menumbuhkan kesamaan identitas dan membangun masyarakat yang saling peduli dan berbagi yang dapat meningkatkan taraf hidup, mata pencaharian, serta kesejahteraan rakyat di kawasan.

Basis rule dan orientasi kerakyatan yang dituangkan dalam nota kesepahaman yang disebut: PIAGAM ASEAN itu  ada tiga pilar komunitas ASEAN 2015: 1. Komunitas Politik ASEAN, 2. Komunitas Ekonomi ASEAN, 3. Komunitas Sosial Budaya ASEAN. Isu Perlindungan Konsumen menjadi salah satu bagian sub-bidang cetak biru Komunitas Ekonomi ASEAN dengan memperkuat consumer protection di ASEAN melalui pembentukan ASEAN Coordinating on Consumer Protection (ACCP). Tujuannya: Membangun jaringan antara otoritas yang terkait dengan kegiatan consumer protection, dan menyelenggarakan pelatihan di bidang consumer protection.

            ACCP ASEAN dalam kerangka One Vision, One Identity, One Community suatu tantangan bagi pengawasan dan pengeterapan perlindungan konsumen nasional dan sekaligus menjadi ancaman bagi industri lokal. Karena dari masing-masing Negara anggota MEA akan saling memperkuat dan ingin memaksakan produk barang/jasa dari industri negaranya menguasai pasar MEA.

Karenanya dalam lingkup satu kesamaan visi, identitas dan komunitas MEA dapat dipastikan ada pihak yang dirugikan karena hanya menjadi obyek pasar dan ada pihak yang diuntungkan karena mampu menempatkan dirinya sebagai subyek pasar. Bagaimana dengan Negara kita dalam konteks perlindungan konsumen nasional?

 

Cetak Biru Perlindungan Konsumen  MEA

Cetak biru isu perlindungan konsumen MEA ada tiga: Pertama, kebijakan pemberitahuan dan mekanisme pertukaran informasi isu perlindungan konsumen pada tahun 2010. Kedua, kebijakan strategis roadmap untuk capasity building perlindungan konsumen pada tahun 2010. Ketiga, kebijakan mekanisme ganti rugi untuk konsumen lintas batas pada tahun 2015.

Cetak biru pertama dan kedua telah dijalankan oleh Pemerintah RI., melalui kebijakan pengesahan UU No. 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen dengan kebijakan pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di Kota/Kabupaten meskipun keberadaannya belum maksimal dalam melaksanakan tugas dan fungsinya untuk mengawasi pengeterapan perlindungan konsumen.

Akibatnya cetak biru ketiga perlindungan konsumen MEA tentang kebijakan mekanisme ganti rugi untuk lintas batas yang ditargetkan tuntas 2015, di tingkat nasional masih memendam beberapa kendala:

l  Regulator dan operator masih menganggap isu perlindungan konsumen sebagai ancaman bukan sebagai tantangan,

l  Isu perlindungan konsumen belum mendapatkan respons positif dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kab/kota, terutama keberadaan BPSK seperti parikan jawa timuran: “Manuk glatik cucuk-e abang, mari dilantik langsung ngilang”,

l  Antara pemerintah dan LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat) belum bersinergi dalam pengawasan dan pengeterapan perlindungan konsumen,

l  Maraknya pertumbuhan LPKSM di daerah-daerah namun minim pelatihan dan pembinaan dari pemerintah daerah,

l  Minimnya SDM profesional yang tertarik dalam melakukan advokasi perlindungan konsumen,

l  Terbatasnya sumber dana LPKSM yang mengandalkan dari swadaya masyarakat/pengurus.

Manakala regulator, operator (industry atau pelaku usaha nasional) dan LPKSM tak memliki kesepahaman isu perlindungan konsumen MEA maka produk barang/jasa lokal akan ditinggalkan konsumen dalam persaingan di pasar tuan rumahnya sendiri. Karena konsumen akan memilih produk barang/jasa yang memiliki komitmen dan konsistensi kepastian ganti rugi bagi konsumen yang dirugikan. Sikap pilihan konsumen semacam ini bukan karena konsumen tak memiliki jiwa nasionalisme terhadap produk barang/jasa dari produsen lokal, tapi karena kebutuhan keamanan, kesehatan, kenyamanan dan kepastian hukum terhadap produk barang/jasa yang dikonsumsi.

 

Kebijakan Nasional.

Persoalan krusial bagi produk dan jasa lokal dalam persaingan MEA adalah pembenahan kebijakan nasional yang selama ini belum menyatukan kesepahaman tentang pengawasan dan pengeterapan perlindungan konsumen terhadap produk barang/jasa di pasar. Belum adanya penyatuan kesepahaman itu adalah pelaksanaan pengawasan dan pengetrapan perlindungan konsumen untuk melindungi rakyat.

Konteks melindungi rakyat butuh ada kesepahaman antara regulator dan operator. Karena pada khakekatnya person regulator dan operator adalah rakyat juga sebagai konsumen produk barang/jasa yang ditawarkan di pasar. Sebagai konsumen end user posisi hukumnya sama di hadapan UU No. 8/1999 Tentang Perlindungan konsumen.

Karenanya, langkah kebijakan nasional yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam mensikapi kebijakan mekanisme ganti rugi untuk konsumen lintas batas pada tahun 2015, adalah:

l  Kebijakan nasional memiliki visi dan misi yang sama tentang perlindungan konsumen dalam penguatan kelembagaan (capasity buliding) bukan saja untuk kepentingan perlindungan konsumen tapi juga untuk kepentingan daya saing produk nasional di pasar ASEAN.

l  Sebelum tahun 2015 pemerintah nasional memiliki kebijakan memproteksi produk barang/jasa atau produk sosial budaya dengan cara memberikan bantuan/subsidi gratis bagi UKM dalam mengurus dan memperoleh sertifikasi SNI, hak cipta, merek dagang, dan sertifikasi lainnya agar produk barang/jasa nasional punya daya saing di pasar global tidak hanya di ASEAN.

l  Kebijakan nasional penguatan kerja sama bidang informasi dan komunikasi yang telah dicanangkan One Vision, One Indentity, One Community tingkat ASEAN agar industri nasional, sosial budaya maupun penyatuan mata uang nantinya memiliki daya saing tinggi dan tak melebur begitu saja ke dalam satu visi, satu identitas dan satu komunitas MEA.

l  YLKI bersama YLPK Jatim mulai Nopember 2011 melaksanakan program “MEMBANGUN NASIONALISME PRODUK DALAM NEGERI” perlu mendapatkan apresiasi dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota untuk dijadikan momentum gerakan nasional.

l  Kebijakan nasional perlu segera mencipta bahan pengawet yang aman bagi kesehatan konsumen sebagai pengganti bahan pengawet formalin, borax dan lain-lain yang selama ini di pakai oleh industri besar, UKM dan industri perumahan sebagai bahan pengawet makanan dan minuman yang membahayakan bagi kesehatan konsumen.

            Masyarakat konsumen memiliki pilihan yang bebas dalam memilih produk barang/jasa yang ditawarkan di pasar, bagi kecuali bagi konsumen tak punya pilihan lain. Namun pembatasan pilihan itu telah diatur oleh UU No. 5/1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Hantaman persaingan pasar ke depan bukan hanya antara produk barang/jasa lokal tapi juga dengan produk impor MEA. Tingkat persaingannya akan sangat ditentukan pada kompetitif harga, kesesuaian kualitas produk barang/jasa dengan standar kualitas yang ditentukan dan kepastian hukum jaminan ganti rugi jika konsumen dirugikan.

Jika tidak, cepat atau lambat akan ditinggalkan konsumen..!

 

 

Oleh : M Said Sutomo

Ketua YLPK Jatim