Jamu Tradisional Berbahan Kimia Masih Banyak Beredar

SEPANJANG 2008, Dinas Kesehatan (Dinkes) Jatim menemukan 16 jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat. Tentu, jamu itu tak cespleng. Sebab, pemakaian dalam rentang waktu tertentu bisa mengakibatkan efek negatif. Antara lain, asma, gagal ginjal, tekanan darah naik, nyeri dada, hingga kematian.

Kepala Seksi Obat Tradisional dan Kosmetika Dinkes Jatim Husin Rayesh Malleleng MKes Apt mengatakan, sejak 2005, institusinya meneliti jamu dan obat tradisional di seluruh Jatim. Caranya, digunakan metode acak (sampling). ”Memang cakupannya luas, tetapi harus kami lakukan,” kata Husin. Di provinsi ini, tambah Husin, ada 430 industri kecil obat tradisional. Di Surabaya, ada 121 perusahaan -tertinggi di Jatim.

Dinkes tahun ini menyeleksi seratus sampel jamu di 20 kabupaten dan kota. ”Kami membatasi pada jamu ataupun obat tradisional yang sudah teregistrasi,” ujarnya.

Hasilnya, berdasar uji laboratorium Fakultas Farmasi Unair, 16 produk ternyata berbahan kimia obat.

Ada tujuh macam bahan kimia obat yang ditemukan. Yakni, antalgin, paracetamol, sildenafil sitrat, kafein, deksametason, prednison, dan fenilbutason. Zat-zat tersebut dicampur pada obat-obat yang sudah memiliki izin edar baik dari Departemen Kesehatan maupun Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Beberapa di antaranya adalah ramuan tradisional asam urat Kuda Jantan produksi UD Mulia Abadi Blitar, jamu Ginseng Prakoso produksi Jamu Iboe Surabaya, dan jamu tradisional Barongsai Brand A Pegel Linu yang dikemas perusahaan PJHG Surabaya. ”Ketika dikasih izin edar, mereka memang tidak mencampur jamunya dengan bahan kimia obat. Eh setelah itu, mereka malah menambahi dengan bahan kimia. Kurang ajar sekali,” ujar Husin geram.

Dia menambahkan, produk-produk yang sudah di-blacklist oleh instansinya itu di luar 22 obat terlarang yang diumumkan BPOM sebulan lalu. Pria asal Ujung Pandang tersebut menuturkan bahwa fungsi dinkes sebetulnya adalah mem-back up kerja BPOM. ”Ini bukan overlapping. Namun, sebagai salah satu upaya perlindungan masyarakat,” ujarnya.

Hasil tahun ini, kata Husin, menurun dibanding uji coba pada 2007. Pada tahun itu, 30 di antara seratus sampel yang diteliti positif mengandung bahan kimia obat. Husin berharap agar jumlah sampel yang diteliti dinkes bertambah pada tahun-tahun mendatang.

Tetapi, masalah terbesar yang dia hadapi adalah terbatasnya anggaran penelitian. Untuk meneliti seratus sampel saja, Rp 30 juta digelontorkan. Itu belum termasuk pajak 15 persen. ”Ini tergantung dananya. Kalau bisa, saya tidak ingin meneliti seratus, tapi seribu sampel,” tandasnya.

Husin mengakui bahwa sekarang citra industri jamu sedang merosot luar biasa. Namun, itu tidak seberapa kalau dibandingkan dengan korban yang semakin hari banyak berjatuhan. Husin mencontohkan suplemen yang amat terkenal, Tripoten. Banyak orang telanjur memercayai produk itu karena terbukti mampu meningkatkan stamina.

Namanya pun baik. Sebab, produk tersebut sudah diiklankan di berbagai media. Tripoten adalah produk Dexa Medica, sebuah perusahaan kredibel asal Palembang. Dalam satu hari produksi, perusahaan tersebut bisa menghasilkan satu juta tablet. Sayang, kepercayaan masyarakat dikhianati. ”Masak suplemen dicampuri obat. Parah,” tandasnya.

Untuk mengatasinya, dinkes sudah menyiapkan siasat. Di antaranya, memberikan peringatan sampai tiga kali kepada perusahaan ataupun distributor yang ditengarai bersalah. Jika masih membandel juga, izin registrasi produk mereka akan dicabut dan perusahaannya dibubarkan. ”Ya kita membina mereka (perusahaan dan distributor jamu, Red) dahulu. Kalau tidak mau, ya kita binasakan,” tegas Husin.
Sumber : Jawapos