Kebutuhan Angkutan umum di Kota Surabaya (Revisi)

                  Ketersediaan dan keandalan pelayanan angkutan umum merupakan cermin awal baik-buruknya tata kelola sebuah pemerintahan. Keberhasilan sistem yang mengatur pelayanan angkutan umum di suatu kota dapat dilihat dari adanya perubahan perilaku masyarakatnya.

Apabila terjadi perubahan perilaku masyarakat menggemari angkutan umumnya daripada kendaraan pribadi maka dapat diartikan sistem angkutan umumnya sangat baik. Tapi bila terjadi sebaliknya maka menandakan sistem pelayanan angkutan umumnya buruk.

Baik buruknya ketersediaan dan keandalan angkutan umum di sebuah kota sangat ditentukan oleh sistem yang mengaturnya. Namun di kebanyakan pemerintah kota dan daerah di negeri kita ini dalam mengelola sistem angkutan umum justru dikendalikan oleh kepentingan operator daripada pertimbangn kepentingan umum. Akibatnya sistem angkutan umumnya tak memberikan pelayanan yang sesuai dengan kepentingan umum masyarakat konsumennya.

Lucunya, pembenahan sistem angkutan umum kita hanya berorientasi pada kuantitas bukan pada sistem dan kualitas pelayanan. Menambah armada dan pembangunan jalan selalu menjadi solusinya. Padahal pembangunan jalan hanya mendorong masyarakat lebih suka berkendaraan pribadi.

Akibatnya, angkutan umum di Kota Surabaya, nyaris sudah tak dibutuhkan lagi oleh masyarakat. Ketersediaannya semakin berkurang dan keandalan mutu pelayananya semakin memburuk. Maka dengan sendirinya masyarakat konsumen angkutan umum beralih berkendaraan pribadi sepeda motor yang lebih menjanjikan tepat waktu, ekonomis dan lebih fleksibel (kapan saja dan di mana saja).

 

Peta Kebutuhan Angkutan umum.

Penduduk usia produktif Kota Surabaya jika berdasarkan usia yang memiliki hak pilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) menurut Pedoman.News.Com, (09 Juni 2010) sebanyak 2.142.900 orang. Berarti sejumlah itu pula mobilitas penduduk Kota Surabaya setiap harinya yang berangkat (pagi) dan pulang (sore) yang memadati jalan jika diasumsikan usia pemilih itu adalah usia produktif dan punya mobilitas tinggi. Berdasarkan jumlah data DPT itu pula bisa diperkirakan berapa persen penduduk Kota Surabaya yang naik angkutan umum dan berapa persen yang menggunakan kendaraan pribadi?

Menurut data di Dinas Perhubungan Kota Surabaya (2010), potensi ketersediaan angkutan umum di Kota Surabaya, Mikrolet 5.016 unit dan Bus Kota 270 unit (tidak termasuk taksi). Jika Mikrolet dengan load factor 10 orang x 4 trip x 5.016 unit = 200.640 orang yang diangkut perharinya. Bus Kota dengan load factor 50 orang x 4 trip x 270 unit = 54.000 orang yang diangkut perharinya. Jadi pergerakan perpindahan manusia melalui angkutan umum selain taksi cuma 200.640 + 54.000 = 254.640 orang . Hanya sekitar 11,8 persen dari jumlah penduduk produktif Kota Surabaya. Dengan demikian pergerakan manusia usia produktif penduduk Kota Surabaya perharinya pengguna kendaraan pribadi di jalan raya sekitar 2.142.900 – 254.640 = 1.888.260 orang, sekitar 88,2 persen.

Maka belum cukup, manakala Wali Kota Surabaya, Ibu Tri Rismaharini (Risma) hanya mengakomodasi penduduk pemilihnya saja sekitar 358.187 orang (38,529%) dari total pemilih dengan suara sah 929.663 atau 43,382% dari jumlah DPT yang mencapai 2.142.900 itu. Bahkan menakala rencana pembangunan jalan lingkar barat dan lingkar timur yang diyakini akan mampu mengurai kemacetan pembangunannya rampung dalam tahun 2011 pun belum mampu menjadi solusi bagi pergerakan perpindahan manusia sekitar 358.187 orang pemilihnya.

Bagaimana dengan jumlah pergerakan penduduk yang tak memilihnya dalam Pilkada? Bagaimana pula jika dikaitkan dengan pergerakan kendaraan pribadi dan moda transportasi barang yang masuk ke Kota Surabaya dari daerah Gerbangkerasusila? Sistem angkutan umum di Kota Surabaya diharapkan mampu berkembang secara progresif dan konektivitasnya bersinergi dengan sistem angkutan umum di Gerbangkersusila.

 

Tidak Ekonomis.

            Sistem angkutan umum diharapkan mampu mengubah perilaku masyarakat dari kegemaran menggunakan kendaraan pribadi beralih ke angkutan publik. Sistem angkutan umum di Kota Surabaya belum mampu mengubah perilaku masyarakatnya dan masyarakat di sekitarnya ke arah itu. Karena apa? Hasil penelitian YLPK Jatim kepada konsumen angkutan umum di Kota Surabaya pada Mei-Juni 2008, diketahui bahwa setiap konsumen rata-rata perharinya harus pindah moda angkutan umum tiga sampai empat kali sejak dari rumahnya sampai ke tempat tujuan. Jadi pergi-pulang (PP) perharinya konsumen butuh pindah antar moda angkutan umum sebanyak delapan kali.

Kalau ongkos angkutan umum di Surabaya Rp. 3.000,- perorang berarti tiap konsumen butuh biaya Rp. 24.000,- perharinya, maka dalam sebulan konsumen harus menyediakan biaya angkutan umum dalam masa 26 hari jam kerja sebesar Rp. 624.000,- separuh dari UMK (upah minimum kota/kabupaten) tertinggi dan cukup untuk membayar kredit sepeda motor perbulannya. Fakta ini bisa dibayangkan besarnya biaya angkutan umum yang menjadi beban masyarakat jika memilki anggota keluarga dua sampai tiga orang yang butuh mobilitas tinggi setiap harinya.

Kenyataan empirik ketersediaan dan aksesibilitas angkutan umum di Kota Surabaya berbiaya tinggi itu dikarenakan kenektivitasnya belum mengakomodasi kepentingan publik. Contoh, ketersediaan rute bus Kota Surabaya hanya tersedia rute ke Perak melintasi Kupang dan jalan Darmo, tak tersedia rute ke Jl. Mayjen Sungkono, rute Kampus UNESA-Lidah dan rute ke Pantai Kenjeran dan rute-rute yang mengelilingi kampus-kampus seperti Trans Yogya. Bahkan, rute bus Kota Surabaya rute Bratang-SIER-Bungurasih untuk para pekerja pabrik yang dulu ada sekarang tinggal ceritanya.

Mengacu pada bus Trans Jakarta, meski masih mengandung banyak masalah namun telah meringankan beban masyarakat perkotaan. Dengan tarif tiket SingleTtrip Rp. 5.000,- perorang, siapa pun dapat berkeliling Kota Jakarta karena rutenya memiliki konektifitas dengan tempat-tempat fasilitas umum tanpa harus bayar lagi dan pindah ke moda angkutan umum lain. Demikian pula bus Trans Yogya, dengan tarif Single Trip Rp. 3.000,- perorang, siapa pun bisa berkeliling kota DIY dan ke beberapa Kampus, bahkan memiliki konektifitas sampai ke Bandara Udara Adisucipto tanpa harus pindah ke moda angkutan umum lainnya. Trans Yogya maupun Trans Jakarta sedikit banyak telah mampu mengubah perilaku masyarakatnya tentang kebutuhan transportasi. Kota Surabaya diharapkan tak hanya memiliki Trans Surabaya tapi juga memiliki Trans Gerbangkertasusila yang konektifitasnya terintegratif dengan sistem angkutan massal monorel umpamanya yang konon katanya sedang dalam perencanaan pembangunannya.

Kapan terwujud? Lima tahun lagi? Sepuluh tahun lagi? Wallahua’lamu bissowab..!

(Artikel ini revisi dari artikel sebelumnya yang berjudul : Kebutuhan Transportasi Publik di Kota Surabaya

Oleh :

M. Said Sutomo

Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK)

Jawa Timur