Kebutuhan Transportasi Publik di Kota Surabaya

Sistem transportasi publik di suatu kota merupakan cermin awal baik-buruknya tata kelola sebuah pemerintahan kota. Namun sebaik apa pun sebuah sistem tata kelola pemerintahan kota itu dibangun tapi manakala pemerintahnya sebagai pelaksana suatu sistem dan masyarakatnya sebagai obyeknya tak mematuhinya maka sebuah sistem itu akan menjadi sia-sia.

 

Adanya distorsi dalam pelaksanaan sistem akan mendorong masyarakat untuk tidak mematuhinya. Celakanya keberadaan sistem seringkali dilaksanakan hanya untuk penindakan terhadap pelanggar bukan untuk pencegahan suatu pelanggaran. Tak perlu heran manakala kita sering menjumpai di lapangan bahwa petugas lalu-lintas umpamanya lebih banyak bertugas mengintip pelanggaran pengguna jalan dibanding bertugas mengawasi agar tak terjadi pelanggaran di jalan.

 

Sistem adalah regulasi yang mengatur perilaku manusia pelaksana sistem dan masyarakatnya. Keduanya ibarat satu kesatuan “dua sisi satu mata uang” yang tak terpisahkan dalam menciptakan sistem tata kelola pemerintahan yang baik. Karenanya pengeterapan sistem sangat tergantung pada kesiapan sumberdaya manusia, keandalan infrastruktur, dan teknologi pendukungnya. Celakanya jika para pembuat sistem itu terdiri dari orang-orang yang berpikiran destruktif.

 

Dalam sistem transportasi publik, seringkali penambahan jalan atau pembangunan jalan tol hanya ingin mengurai kemacetan di jalan tapi sistemnya sama sekali tak mendukung sehingga tak mampu memberikan solusi mengurai kemacetan di jalan. Idealnya setiap penambahan jalan, apakah jalan tol atau flyover seharusnya seiring dengan pembenahan sistem transportasi publiknya.

 

Kontraversi dalam mengatasi kemacetan kendaraan di kota Surabaya antara rencana pembangunan jalan tol tengah kota, jalan lingkar maupun jalan flyover di dalam Kota Surabaya telah menjadi debat publik berkepanjangan. Padahal biang utama kemacetan bukan karena kurangnya jalan (tol) atau belum adanya jalan flyover tapi karena pembenahan sistem transportasi publiknya diabaikan. Akibatnya ketersediaan transportasi publiknya semakin berkurang dan mutu pelayanannya semakin memburuk, pengguna kendaraan pribadi semakin membludak.

 

Sistem Transportasi Publik Gerbangkertasusila.

 

Penduduk usia produktif Kota Surabaya jika berdasarkan usia yang memiliki hak pilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) menurut Pedoman.News.Com, (09 Juni 2010) sebanyak 2.142.900 orang. Berarti sejumlah itu pula mobilitas penduduk Kota Surabaya setiap harinya yang berangkat (pagi) dan pulang (sore) yang memadati jalan jika diasumsikan usia pemilih itu adalah usia produktif dan punya mobilitas tinggi. Berdasarkan jumlah data DPT itu pula bisa diperkirakan berapa persen penduduk Kota Surabaya yang naik transportasi publik dan berapa persen yang menggunakan kendaraan pribadi?

Menurut data di Dinas Perhubungan Kota Surabaya (2010), potensi ketersediaan transportasi publik di Kota Surabaya, Mikrolet 5.016 unit dan Bus Kota 270 unit (tidak termasuk taksi). Jika Mikrolet dengan load factor 10 orang x 4 trip x 5.016 unit = 200.640 orang yang diangkut perharinya. Bus Kota dengan load factor 50 orang x 4 trip x 270 unit = 54.000 orang yang diangkut perharinya. Jadi pergerakan perpindahan manusia melalui transportasi publik selain taksi cuma 200.640 + 54.000 = 254.640 orang . Hanya sekitar 11,8 persen dari jumlah penduduk produktif Kota Surabaya. Dengan demikian pergerakan manusia usia produktif penduduk Kota Surabaya perharinya pengguna kendaraan pribadi di jalan raya sekitar 2.142.900 – 254.640 = 1.888.260 orang, sekitar 88,2 persen.

 

Maka belum cukup, manakala Wali Kota Surabaya, Ibu Tri Rismaharini (Risma) hanya mengakomodasi penduduk pemilihnya saja sekitar 358.187 orang (38,529%) dari total pemilih dengan suara sah 929.663 atau 43,382% dari jumlah DPT yang mencapai 2.142.900 itu. Bahkan menakala rencana pembangunan jalan lingkar barat dan lingkar timur yang diyakini akan mampu mengurai kemacetan pembangunannya rampung dalam tahun 2011 pun belum mampu menjadi jadi solusi bagi pergerakan perpindahan manusia sekitar 358.187 orang pemilihnya.

 

Bagaimana dengan jumlah pergerakan penduduk yang tak memilihnya dalam Pilkada? Bagaimana pula jika dikaitkan dengan pergerakan kendaraan pribadi dan moda transportasi barang yang masuk ke Kota Surabaya dari daerah Gerbangkerasusila? Sistem transportasi publik di Kota Surabaya diharapkan mampu berkembang secara progresif dan sinergi dengan sistem transportasi Gerbangkersusila.

 

Biaya Tinggi Transportasi Publik.

 

Sistem transportasi publik diharapkan mampu mengubah perilaku masyarakat dari kegemaran menggunakan kendaraan pribadi beralih ke angkutan publik. Sistem transportasi publik di Kota Surabaya belum mampu mengubah perilaku masyarakatnya dan masyarakat di sekitarnya ke arah itu. Karena apa? Hasil penelitian YLPK Jatim kepada konsumen transportasi publik di Kota Surabaya pada Mei-Juni 2008, diketahui bahwa setiap konsumen rata-rata perharinya harus pindah moda transportasi publik tiga sampai empat kali sejak dari rumahnya sampai ke tempat tujuan. Jadi pergi-pulang (PP) perharinya konsumen butuh pindah antar moda transportasi publik sebanyak delapan kali.

 

Kalau ongkos transportasi publik di Surabaya Rp. 3.000,- perorang berarti tiap konsumen butuh biaya Rp. 24.000,- perharinya, maka dalam sebulan konsumen harus menyediakan biaya transportasi publik dalam masa 26 hari jam kerja sebesar Rp. 624.000,- separuh dari UMK (upah minimum kota/kabupaten) tertinggi dan cukup untuk membayar kredit sepeda motor perbulannya. Fakta ini bisa dibayangkan besarnya biaya transportasi publik yang menjadi beban masyarakat jika memilki anggota keluarga dua sampai tiga orang yang butuh mobilitas tinggi setiap harinya.

 

Kenyataan empirik ketersediaan dan aksesibilitas transportasi publik di Kota Surabaya berbiaya tinggi itu dikarenakan kenektivitasnya belum mengakomodasi kepentingan publik. Contoh, ketersediaan rute bus Kota Surabaya hanya tersedia rute ke Perak melintasi Kupang dan jalan Darmo, tak tersedia rute ke Jl. Mayjen Sungkono, rute Kampus UNESA-Lidah dan rute ke Pantai Kenjeran dan rute-rute yang mengelilingi kampus-kampus seperti Trans Yogya. Bahkan, rute bus Kota Surabaya rute Bratang-SIER-Bungurasih untuk para pekerja pabrik yang dulu ada sekarang tinggal ceritanya.

Mengacu pada bus Trans Jakarta, meski masih mengandung banyak masalah namun telah meringankan beban masyarakat perkotaan. Dengan tarif tiket SingleTtrip Rp. 5.000,- perorang, siapa pun dapat berkeliling Kota Jakarta karena rutenya memiliki konektifitas dengan tempat-tempat fasilitas umum tanpa harus bayar lagi dan pindah ke moda transportasi publik lain.

 

Demikian pula bus Trans Yogya, dengan tarif Single Trip Rp. 3.000,- perorang, siapa pun bisa berkeliling kota DIY dan ke beberapa Kampus, bahkan memiliki konektifitas sampai ke Bandara Udara Adisucipto tanpa harus pindah ke moda transportasi publik lainnya. Trans Yogya maupun Trans Jakarta sedikit banyak telah mampu mengubah perilaku masyarakatnya tentang kebutuhan transportasi. Kota Surabaya diharapkan tak hanya memiliki Trans Surabaya tapi juga memiliki Trans Gerbangkertasusila yang konektifitasnya terintegratif dengan angkutan missal yang katanya telah dalam perencanaan. Kapan? Wallahua’lamu bissowab..!

(artikel ini telah direvisi, silakan klik judul : Kebutuhan Angkutan umum di Kota Surabaya )

M. Said Sutomo

Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK)

Jawa Timur