Kecele Salam 2 Jari Jokowi

No comment 658 views
Ilustrasi (Repro: KOMPAS cetak)

Ilustrasi (Repro: KOMPAS cetak)

Publik pemilih Capres Joko Widodo (Jokowi) dalam Pilpres 2014 ketika berhadapan dengan Capres Prabowo Subianto kecele (tidak sesuai harapan). Publik pemilih Jokowi kalau saja sebelumnya mengetahui bahwa gaya kepresidenannya seperti dirasakan, dilihat dan dialami seperti dalam waktu 100 harinya sekarang ini, maka dapat dipastikan Capres Prabowolah yang terpilih jadi Presiden RI. Periode 2014-2019.

Kini publik pemilih Jokowi mulai berbalik arah, karena ternyata setelah Jokowi terpilih jadi Presiden tidak menunjukkan sebagai Presiden yang tegas dan berani melawan koruptor. Komitmen kampanyenya melalui pesan Salam 2 Jari sekarang dipertanyakan publik.

Kekecewaan publik mulai muncul, Pertama, ketika mengangkat Jaksa Agung H.M. Prasetyo. Kedua, Jokowi ngotot tetap mencalonkan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri yang statusnya tersangka KPK. Pengangkatan dan pencalonan Kapolri itu dengan melangkahi KPK dan PPATK tidak seperti ketika mengangkat para menterinya.

Belum reda kekecewaan publik kepada kebijakan Jokowi menurunkan harga BBM (Harga Bahan Bakar) dua kali yang ternyata tidak berpengaruh positif terhadap harga barang/jasa di pasar ikut turun, bahkan harganya terus melangit. Kemudian Jokowi dibuat tidak berdaya menghadapi tersangka koruptor yang mampu mengendalikan institusi Polri untuk “menghancurkan” KPK dengan “sasaran tembak antara” Wakil Ketua Bambang Widjojanto, dan selanjutnya mengincar Wakil Ketua KPK lainnya, yaitu Adnan Pandu Praja dan Zulkarnaen. Sedangkan target “sasaran tembak akhir” adalah Ketua KPK Abraham Samad. Harapan publik dalam pesan Salam 2 Jari yang katanya Jokowi akan patuh pada konstitusi dan kehendak rakyat terasa mimpi di siang bolong.

Tulisan wartawan Jawa Pos, Rohman Budijanto, Merevolusi Mental Jokowi, 17/1/2015, seolah-olah ingin mengatakan bahwa jargon politik revolusi mental telah menjadi bumerang bagi Jokowi sendiri. Begitu juga tulisan Kurniawan Muhammad, Jokowi, Presiden atau Petugas Partai?, 19/1/2015, dan tulisan Imam Syafi’I, Sampai Kapan Jokowi Sandera Polri?, 20/1/2015, serta tulisan Kardono Setyorahmadi, Presiden, Bertindaklah sebagai Seorang Presiden, 24/1/2015, merefleksikan kegalauan dan kekecewaan publik terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi.

Atasan Jokowi

Ada apa dengan Jokowi? Karena apa Jokowi tidak mampu lagi menampakkan jati dirinya sebagai Presiden sejati? Hal ini mengingatkan kita terhadap nasehat Robert Greene yang menulis buku bertitel The 48 Laws of Power (48 Hukum Kekuasaan), 2000, yang pada hukum I mengatakan: Senantiasalah buat atasan Anda merasa superior. Walaupun Anda ingin menyenangkan hati mereka atau membuat mereka merasa terkesan, jangan terlalu berlebihan dalam menunjukkan bakat-bakat Anda. Jika tidak, Anda hanya akan berhasil memancing reaksi sebaliknya. Buatlah atasan Anda tampak lebih brillian daripada sesungguhnya, maka Anda akan meperoleh kekuasaan terbesar.

Siapa atasan Jokowi? Tentunya Megawati Sukarnoputri. Manakala Jokowi pernah membaca nasehat Robert Greene ini tentu Jokowi tidak berani menunjukkan bakat kepresidenannya di hadapan orang-orang yang berada di sekeliling atasannya itu. Apalagi bertingkah pamer kebakatan kepresidennya di hadapan langsung atasannya. Jokowi rupanya menyadari bahwa karier politiknya akan segera habis apabila pamer bakat Presidennya. Karena bakat Presiden masih diyakini melekat pada diri atasannya itu.

Karenanya, hepotesa publik menjadi kenyataan bahwa harapan publik tidak selalu berbanding lurus dengan harapan pejabat publik. Harapan publik tidak selalu menjadi inheren dalam diri pejabat publik. Harapan publik hanya inheren sebatas dalam jarkon-jarkon politik ketika kampanye dan dalam acara debat publik. Selanjutnya berguman dalam hati: Emangnya Gua Pikirin! Gue lagi menyenangkan atasan gue, bukan lu!

Maka, kemimpinan Jokowi yang pernah dikatakan Yenni Wahid mirip dengan ayahnya yang menjadi Presiden Keempat yaitu Gus Dur ternyata meleset seratus delapan puluh derajat. Gus Dur adalah Presiden yang berani mengambil resiko meskipun jabatan Presidennya harus dipertaruhkan demi rakyat. Presiden Gus Dur punya keyakinan bahwa bukan jenderal yang menjadi atasannya, sekalipun berbintang lima. Atasan Gus Dur adalah Tuhan dan rakyat Indonesia. Tentunya bukan persepsi “rakyat tidak jelas” seperti dituduhkan oleh Menpolhukam, Laksamana (Purn.) Tedjo Edy Purdjianto.

Janji “Pepesan Kosong”.

Visi Prabowo versus visi Jokowi yang disampaikan dalam Debat Capres 2014, pada hakekatnya sama-sama ingin membangun bangsa dan negara ke arah lebih baik dan maju dalam berkeadilan dan berkesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Keduanya sama-sama berjanji ingin memperkuat KPK dalam memberantas korupsi di setiap institusi publik dan di segala lini birokrasinya. Dua Capres yang pada gilirannya melahirkan kubu di DPRRI yaitu kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sebenarnya jika berjalan normal akan menjadi sinergi yang ideal dalam proses dialektika politik: tesa, anti tesa dan sintesa.

Proses dialektika itu bisa berjalan di atas perbedaan bahwa Prabowo lebih mengedepankan konsepsi daripada implementasi. Sedangkan Jokowi sebaliknya, lebih mengedepankan implementasi daripada konsepsi. Konsepsi hanya manis dan indah di atas kertas manakala tidak diimplementasikan. Begitu juga implementasi kebijakan akan kehilangan makna filosofis, yuridis dan sosiologisnya manakala berjalan tampa didasari konsepsi yang matang. Contohnya kebijakan menaikkan harga BBM dan kemudian menurunkannya dua kali tampa dilandasi konsepsi yang komprehensif.

Publik masih belum lupa, bahwa Jokowi berjanji akan mengimplementasikan konsepsi pembangunan bangsa dan negara yang selama ini belum terealisasi secara utuh agar dapat dirasakan oleh seluruh rakyat. Janji inilah yang mendorong munculnya gerakan swadaya masyarakat secara massif mendukung Salam 2 Jari Jokowi. Karena dinilai lebih realistis bagi kebutuhan rakyat. Sehingga anak-anak sekolah pun rela menyumbangkan uang jajannya untuk kampanye biaya Capres Jokowi.

Lantas apakah berhenti sampai di situ? Apakah Jokowi telah melupakan gerakan swadaya rakyat itu? Rakyat tentunya tidak ingin mengungkit-ungkit partisipasinya yang telah diberikan secara ikhlas. Karena partisipasi rakyat itu bukan tranksaksi layaknya transaksi politik. Rakyat hanya ingin kesungguhan Jokowi jadi Presiden dalam memimpin bangsa dan negara yang bersih dari para koruptor. Publik tidak butuh konsepsi yang muluk-muluk. Karena konsepsi yang muluk-muluk itu telah penuh tersimpan di rak-rak almari universitas negeri maupun swasta. Bahkan banyak dokumen konsepsi-konsepsi yang baik belum diimplementasikan terburu lapuk dimakan usia.
SAID SUTOMO
Publik yang kecele terhadap janji-janji Jokowi yang katanya akan patuh pada konstitusi dan kehendak rakyat ternyata tidak terbukti. Masih mending, jika kecele membeli dan memilih barang/jasa yang dikira baik, aman dan nyaman untuk dikonsumsi ternyata sebaliknya. Pembeli / konsumen masih punya hak mengembalikannya kepada produsen atau penjualnya. Tapi kalau kecele karena janji-janji revolusi mental, patuh pada konstitusi dan kehendak rakyat ternyata hanya berupa “pepesan kosong”, rakyat harus menunggu lima tahun lagi. Mana tahan!?!

Oleh: M. Said Sutomo

Ketua Yayayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur