Komisioner BPKN: Kinerja BPSK se-Indonesia menurun

Palu (ANTARA) – Kinerja Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di seluruh Indonesia mengalami penurunan setelah sejumlah kewenangan BPSK dialihkan ke pemerintah provinsi yang sebelumnya berada di kabupaten/kota.

“Pelaksanaan BPSK yang semula di kabupaten/kota dan setelah beralih ke provinsi akhirnya banyak yang tidak berjalan,” kata Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI Muh Said Sutomo, Rabu, pada diskusi virtual bertajuk “BPSK Apa Kabar” Rabu.

Diskusi yang dilaksanakan Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) Sulawesi Tengah (Sulteng) tersebut menghadirkan pembicara Direktur Kelembagaan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan (Kemendag) diwakili Kasubdit Fasilitasi Kelembagaan M Syahran Bahkti. Pembicara lainnya Ketua YLK Sulteng Salman Hadiyanto.

Said mengatakan sejak kewenangan BPSK beralih ke provinsi, pelayanan konsumen mulai terganggu tidak seperti saat BPSK masih berada dalam kewenangan pemerintah kabupaten/kota.

Said mengatakan berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Kepmenperindag 350 tahun 2001 bahwa setiap kabupaten/kota harus membentuk BPSK.

Tetapi dalam undang-undang pemerintahan daerah proses rekrutmen, pembiayaan, pengawasan, dan usulan pengesahan anggota BPSK kabupaten/kota ke Kementerian Perdagangan (Kemendag) dilakukan pemerintah provinsi.

“Perubahan kewenangan ini berdampak pada pelayanan konsumen, banyak BPSK tidak aktif,” katanya.

Perubahan kewenangan itu, kata Said, salah satunya berdampak pada pembiayaan sehingga honor berkurang.

Dia mencontohkan salah satu BPSK di daerah yang sebelumnya honor anggotanya berkisar Rp3,5 juta per bulan, namun setelah menjadi kewenangan provinsi menjadi Rp1,5 juta.

Said mengatakan BPSK di daerah perlu mendorong pembentukan peraturan daerah tentang perlindungan konsumen sehingga memudahkan BPSK dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Dia mengatakan tiga pilar yang menjadi kekuatan BPSK perlu diperkuat agar saling menopang yakni konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah.

Sementara itu Kasubdit Fasilitasi Kelembagaan Kemendag M Syahran Bahkti mengakui biaya menjadi kendala dalam penyelenggaraan BPSK.

Dia mengatakan anggaran dari pemerintah provinsi untuk BPSK dialokasikan untuk operasional, honorarium, dan anggota sekretariat.

“Masih banyak honor anggota BPSK di bawah upah minimum provinsi, sementara tugasnya berat,” katanya.

Dia mengatakan Kemendag sudah pernah mengusulkan anggaran APBN melalui dana dekonsentrasi, namun belum diakomodasi Bappenas.

Sejak pembentukan BPSK di Indonesia 2005 hingga kini telah terbentuk 171 BPSK kabupaten/kota se-Indonesia.

Sumber : Antara Sulteng

Tags: