Launching Bus Kota Surabaya Khusus Perempuan: Hanya Isapan Jempol

   Gembar-gembor melaunching bus kota khusus melayani perempuan di Kota Surabaya telah direlease oleh berbagai macam media lokal mapun nasional. Namun sudah satu bulan lebih sejak bus tersebut dilaunching oleh Walikota Surabaya, Tri Rismaharini di ujung HUT Kota Surabaya ke 917 Tahun 2012 ternyata hanya isapan jempol belaka.

Konon, rencananya pada tiap jalur di Kota Surabaya akan disediakan 4 unit bus DAMRI ber-AC khusus melayani perempuan. Tapi, bus kota khusus perempuan itu sampai saat ini belum beroperasi. Jangan-jangan rencana itu kandas seperti nasib bus sekolah yang pernah ditolak oleh para operator Angkot di Kota Surabaya sehingga Walikota dibuat tidak berdaya.

Padahal keberadaan bus kota khusus melayani perempuan itu sangat penting untuk mengubah perilaku masyarakat khususnya kaum hawa agar lebih menyukai angkutan umum daripada menggunakan kendaraan pribadinya. Juga diharapkan mampu membangun citra angkutan umum yang terpuruk. Tapi apalacur, para kaum perempuan sudah terlanjur GR (Gede Rumongso) ternyata busnya belum terealisasi seperti yang digembar-gemborkan.

 

Angkutan Umum Kota Surabaya

Ketersediaan angkutan umum di Kota Surabaya menurut data dari Dinas Perhubungan Kota Surabaya dalam tahun 2010, moda jenis Taksi 4.756 unit, Mikrolet 4.573 unit, Angguna 289 unit, dan bus kota 228 unit. Pada tahun 2011 setelah adanya pelaksanaan Peraturan Walikota Surabaya Nomor 26 Tahun 2009 tentang Pembatasan Umur Kendaraan, Taksi mengalami kenaikan 0.4 persen menjadi 4.774 unit, Mikrolet turun 9,4 persen menjadi 4.139, Angguna turun 66,1 persen menjadi 101 unit dan Bus Kota juga turun 26,7 persen menjadi 167 unit. Namun pasca Peraturan Walikota Surabaya Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pencabutan Pembatasan Umur Kendaraan maka terjadi lonjakan jumlah Mikrolet naik 19,5 persen menjadi 4.949 unit, Angguna naik 245,5 persen menjadi 349 unit, Bus Kota naik 58,8 persen menjadi 282 unit, sedangkan taksi turun 5,4 persen menjadi 4.514 unit.

Itulah potret ketersediaan angkutan umum di Kota Surabaya yang keberadaannya semakin tak disukai masyarakat. Selain kondisinya lebih banyak yang bobrok, lama ngetem, pengab dan rawan kejahatan. Padahal sarana angkutan umum menjadi salah satu kebutuhan dasar hidup mansuia selain sandang, pangan dan papan. Maka, bus kota yang katanya akan beroperasi khusus melayani perempuan itu sangat diharapkan bagi kaumnya.

Apalagi, prototipe konsumen perempuan adalah prototipe konsumen provokatif dan promotif. Provokatif dalam artian, kaum perempuan akan selalu melakukan provokasi kepada setiap orang yang ditemuinya manakala mandapati pelayanan bus yang buruk tak tepat waktu, tarifnya tak menentu, dan pelayanannya takbermutu. Sebaliknya, kaum perempuan akan bersikap promotif manakala mendapatkan pelayanan yang memuaskan.

Karenanya, jika bus kota khusus melayani perempuan ini konsisten dalam memberikan pelayanan yang baik, pada gilirannya mampu mengubah perilaku masyarakatnya yang semula lebih mengutamakan kendaraan pribadi beralih menggunakan angkutan umum, dan akan mengurangi kemacetan di jalan raya. Apalagi kemacetan saat ini telah mulai meluas sampai di gang-gang perumahan karena dipenuhi oleh kendaraan pribadi yang parkir di depan rumah pemiliknya. Melonjaknya kepemilikan kendaraan pribadi ini dikarenakan pelayanan angkutan umum terus memburuk dan aksesibilitasnya disekat-sekat.

Anehnya, para operator di Kota di Surabaya tak menyadarinya bahwa telah terjadi pergeseran perilaku konsumtif konsumen terhadap angkutan umum. Dulu pusat keramaian perpindahan orang dan barang terpusat di terminal bus dan pangkalan Angkot. Tapi sekarang beralih di pusat-pusat perbelanjaan, mal-mal, dan tempat-tempat rekreasi. Sedangkan terminal dan pangkalan Angkot semakin terpisah dari pusat-pusat keramaian kota.

 

Berbiaya Tinggi.        

Sistem pelayanan angkutan umum di Kota Surabaya butuh ada perubahan progresif agar mampu mengubah perilaku masyarakatnya. Karena apa? Karena sistem pelayanan angkutan umum mensekat-sekat rute perjalanan konsumen sehingga menimbulkan beban ekonomi biaya tinggi. Buktinya, konsumen angkutan umum di Kota Surabaya terpaksa harus pindah moda transportasi rata-rata sampai tiga kali untuk sampai di tempat tujuannya. Pergi-pulang (PP) perharinya konsumen butuh pindah antar moda transportasi sebanyak enam kali.

Jika ongkos tarif angkutan umum di Kota Surabaya Rp. 3.000,- perorang berarti butuh biaya Rp. 9.000,- sekali pergi dan PP butuh Rp. 18.000,- perharinya. Jika dalam sebulan dengan hitungan hari kerja 26 hari maka butuh anggaran Rp. 468.000,- perbulan, setara dengan besaran cicilan kredit sepeda motor perbulannya. Maka, beban ekonomi untuk angkutan umum saja di Kota Surabaya sangat membebani pendapatan konsumen perbulannya.

Kenyataan empirik ini yang menyebabkan angkutan umum di Kota Surabaya berbiaya tinggi itu dikarenakan coverage area pelayanannya tak terintegrasi. Contoh, selama ini rute bus Kota Surabaya hanya tersedia rute ke Perak, Jembatan Merah (JMP) melintasi Kupang dan Darmo (jalur Utara-Selatan). Tapi tak tersedia jalur Utara-Barat, Utara-Timur dan Timur-Barat) yaitu jalur dari/ke Terminal Tambak Osowilangun (TOW), Jl. Mayjen Sungkono, Kampus UNESA-Lidah, Pantai Kenjeran, dan dari/ke Terminal Bratang yang terhubung dengan jalur-jalur lain dan terintegrasi dengan pusat-pusat keramaian kota.

Ke depan, progres ketersediaan bus kota khusus melayani wanita itu diharapkan mampu membuka jalur perintis untuk mengisi kekosongan rute angkutan umum yang selama ini belum diperhatikan secara maksimal oleh para pemangku kepentingan di Kota Surabaya. Perum DAMRI, selaku BUMN, diharapkan dapat menjadi perintis untuk mengadakan ketersediaannya dengan pelayanan prima dan dengan tarif yang terjangkau.

Karena logika pasar angkutan umum tak hanya merasa tercukupi oleh suplai dan deman. Namun faktor selera membayar (willingness to pay) dan kemampuan membayar (ability to pay) konsumen sangat penting menjadi perhatian. Jika tarif bus kota khusus melayani perempuan itu akan mematok tarif Rp. 4.000,- maka besaran tarif itu bagi semua lapisan konsumen akan mampu membayarnya. Tapi persoalannya, apakah bus kota yang khusus akan melayani kaum perempuan itu selalu mengundang selera bagi mereka? Sangat tergantung pada mutu pelayanan yang diberikan. Sayangnya, bus kota khusus melayani perempuan itu ternyata belum beroperasi meski sudah dilaunching. Jadi mutu pelayanannya belum bisa diukur!

M. Said Sutomo

Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK)

Jawa Timur