MA Denda Bridgestone Dkk Rp 30 M karena Terbukti Kartel Harga Ban

ilustrasi

Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi produsen ban Bridgestone dkk. Alhasil, Bridgestone dkk harus membayar sejumlah denda karena terbukti melakukan kartel harga yang merugikan konsumen.

Kasus bermula saat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus adanya praktik kartel harga sesama produsen ban. Kartel itu menyebabkan harga ban menjadi lebih mahal dari seharusnya untuk jenis ban mobil penumpang dengan ring 13, ring 14, ring 15, dan ring 16.

KPPU kemudian mengadili enam produsen ban, yaitu:

1. PT Bridgestone Tire Indonesia.
2. PT Sumi Rubber Indonesia.
3. PT Gajah Tunggal Tbk.
4. PT Goodyear Indonesia Tbk.
5. PT Elang Perdana Tyre Industry.
6. PT Industri Karet Deli.

Pada Januari 2015, KPPU menyatakan keenam perusahaan dinyatakan bersalah karena terbukti melakukan kartel. Masing-masing perusahaan didenda Rp 25 miliar atas praktik kartel harga itu.

Bridgestone dkk tidak terima dan mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Pada 8 Juli 2015, PN Jakpus menguatkan vonis KPPU tetapi untuk denda diturunkan menjadi Rp 5 miliar per perusahaan. Sehingga keenam perusahaan itu harus membayar Rp 30 miliar ke negara.

Keenam perusahaan itu tidak terima dan mengajukan kasasi.

“Menolak permohonan kasasi pemohon,” ujar ketua majelis sebagaimana dilansir website MA yang dikutip detikcom, Jumat (10/3/2017). Duduk sebagai ketua majelis hakim agung Syamsul Maarif dengan anggota hakim agung Abdurrahman dan hakim agung I Gusti Agung Sumanatha.

MA menyatakan sesuai fakta persidangan, terbukti bahwa struktur pasar industri ban adalah konsentrasi dan dalam struktur pasar demikian, Bridgestone dkk melalui Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) bersepakat untuk tidak melakukan banting harga, memberlakukan ketentuan baru mengenai warranti claim, menahan diri dan secara terus menerus mengontrol distribusi ban masing-masing perusahaan, agar pasar tetap terpelihara.

Hal di atas melanggar Pasal 5 dan Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

“Bahwa dalam praktek didunia bisnis kesepakatan mengenai harga, produksi, wilayah (cartel), maupun kesepakatan anti persaingan sehat persaingan lainnya sering dilakukan secara tidak terang (tacit), sehingga dalam hukum usaha bukti-bukti yang ersifat tidak langsung (indirect circumstantial evidence), diterima sebagai bukti sah sepanjang bukti-bukti tersebut adalah bukti yang cukup dan logis, serta tidak ada bukti lain yang lebih kuat yang dapat melemahkan bukti bukti yang bersifat tidak langsung tersebut, standar mana telah terpenuhi dalam perkara a quo sehingga putusan Termohon Keberatan/Termohon Kasasi yang dikuatkan oleh Judex Facti (PN Jakpus/KPPU) sudah benar, sehingga layak untuk dipertahankan,” putus majelis pada 14 Juni 2016.