Mempertimbangkan Tarif Rumah Sakit

No comment 1045 views

109692largeDalam waktu dekat lima rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur berencana akan menaikkan tarif kelas III hingga 70 persen. Alasannya, sudah 10 tahun tarif tidak naik dan mengurangi ketergantungan RS pada pemerintah daerah serta menutup biaya operasional (Kompas Jatim, 3 Maret 2010).

Rencana ini menimbulkan keresahan masyarakat karena dinilai terlalu tinggi dan waktunya tidak tepat pada saat Jamkesda dan Jamkesmas belum tertata dengan baik. Masyarakat miskin belum semuanya dapat tercakup dalam kedua sistem jaminan ini karena berbagai kelemahan dalam pelaksanaan di lapangan.

Dalam hal perawatan kesehatan secara umum, konsumen kesehatan adalah masyarakat yang captive, yaitu konsumen yang terpaksa, mau tidak mau harus mendapatkan perawatan dan tidak ada pilihan lain karena sakit. Kita semua yakin tak seorang pun yang ingin sakit sehingga perawatan kesehatan menjadi satu kebutuhan. Dengan demikian, posisi tawar antara penyedia jasa perawatan kesehatan dan konsumen belum seimbang.

Konsumen (pasien) sering tidak mengerti tentang berbagai penyakit dan pengobatan yang harus dijalani. Keawaman akan berbagai fasilitas layanan kesehatan membuat masyarakat cenderung menggantungkan harapannya pada institusi dan tenaga kesehatan. Dalam hal ini rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya dianggap sebagai “dewa penolong” sehingga harapan pasien atau keluarga pasien sangat berlebihan.

Lima RS provinsi yaitu RSUD Dr Sudono Madiun, RSUD Dr Saiful Anwar Malang, Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya, RS Haji Surabaya, dan RSU Dr Soetomo Surabaya adalah rumah sakit yang menjadi rujukan masyarakat manakala rumah sakit di daerah kabupaten atau institusi kesehatan di bawah tidak dapat melayani karena alasan keterbatasan fasilitas kesehatan. Dengan demikian, terutama masyarakat miskin dan menengah sangat berharap pada fasilitas ini. Berbagai alasan harus dipertimbangkan dalam penetapan tarif rumah sakit provinsi ini.

Pertama, jika kenaikan tarif dikenakan pada kelas III, sebenarnya harus dipetakan siapa saja yang menggunakan fasilitas ini. Penulis yakin pasien kelas III adalah pasien miskin dan pasien kelas menengah yang mendekati garis kemiskinan. Pasien miskin masih banyak yang tidak dicakup oleh Jamkesmas dan Jamkesda. Sementara itu, pasien kelas menengah tetapi yang mendekati garis kemiskinan, justru akan semakin terjepit karena penghasilannya yang semakin terkuras untuk biaya kesehatan, misalnya pekerja sektor informal dan buruh.

Kedua, bagaimana sebenarnya kemampuan membayar masyarakat kelas III ini terhadap fasilitas RS (ability to pay) dan kemauan membayar yang disesuaikan dengan fasilitas yang diperoleh (willingness to pay). Maknanya berapa masyarakat mampu dan mau membayar biaya rumah sakit sesuai dengan standar pelayanan yang diperoleh. Kemampuan dan kemauan ini berhubungan dengan komponen biaya perawatan. Semua komponen inilah yang harus cermat diperhitungkan dalam penetapan tarif.

Ketiga, komitmen pemerintah daerah. Hal ini menyangkut seberapa besar peran pemerintah sebagai regulator, termasuk di dalamnya fungsi pengawasan dan berapa besar alokasi APBD untuk RS provinsi ini. Bagaimana infrastruktur pendukung dan fungsi pengawasan karena merupakan aset daerah yang notebene sebagian besar biaya yang digunakan adalah uang rakyat? Pilihan menjadikan RS Provinsi sebagai sumber pendapatan daerah atau misi sosial daerah.

Keempat, tanggung jawab moral dan sosial RS, yaitu kejujuran dan niat baik RS untuk secara terbuka menghitung berapa biaya operasional yang diperlukan. Menerapkan standar pelayanan minimal dan menghindari praktik-praktik inefisiensi dalam pengelolaan manajemen. Perhitungan besaran biaya pasien harus berdasarkan perhitungan yang tepat. Peran untuk merespons lebih cepat keluhan masyarakat terhadap pelayanan yang dijalankan juga salah satu bentuk tanggung jawab sosial. Dengan demikian, masyarakat yang ingin memberikan masukan, kritik, dan saran tidak dinilai sebagai bentuk pencemaran nama baik dan dikriminilisasikan.

RS provinsi juga merupakan rujukan bagi peserta askes sosial, yaitu askes bagi PNS, anggota TNI/ Polri, dan karyawan swasta. Kenaikan tarif RS provinsi untuk kelas III secara langsung akan membebani pasien peserta askes golongan rendah (golongan II ke bawah) karena jatah rawat inap adalah kelas III.

Alasan kenaikan tarif RS provinsi untuk menghindari membeludaknya pasien langsung atau tanpa rujukan (Kompas Jatim, 25 Februari 2010) dinilai juga kurang rasional. Pasien sakit adalah pasien yang terpaksa, yang logikanya akan mencari fasilitas kesehatan yang dinilai paling lengkap dan jarak yang terdekat. Oleh karena itu, jika ingin mengurangi subsidi pasien kelas III di RS provinsi, pemerintah provinsi harus meningkatkan peran dan fasilitas pendukung baik puskesmas maupun RS kabupaten serta memudahkan akses masyarakat untuk memperolehnya.

Semua ini tidak terlepas dari partisipasi masyarakat pengguna yang secara patut dan bertanggung jawab dalam menggunakan fasilitas ini. Demikian juga dengan janji pemerintahan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa), yaitu APBD untuk rakyat serta akan memberikan kemudahan masyarakat dalam memperoleh akses kesehatan secara menyeluruh. Pembangunan kesehatan sejatinya memang bukan hanya dengan memberi obat murah dan pelayanan kesehatan gratis, tetapi mengajak masyarakat untuk tidak jatuh sakit.

retno
Retno Widiastuti Bergiat di Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Jawa Timur (YLPK)
Sumber : Kompas