Menimbang Untung-Rugi Maskapai Asing Melayani Rute Penerbangan Domestik

Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah Jawa Timur Dr. Imron Mawardi dan Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia Jawa Timur Said Sutomo dalam talkshow Ranah Publik (1/7).

Rencana pemerintah mengundang maskapai asing melayani rute domestik membuat pro kontra di masyarakat.

Di satu pihak masyarakat membutuhkan transportasi udara yang terjangkau dan di pihak lain ini akan memunculkan tekanan terhadap perusahaan penerbangan dalam negeri yang hingga saat ini belum terlalu kuat di pasar penerbangan di negaranya sendiri.

Harga tiket pesawat yang melambung tinggi ditanggapi Presiden RI Joko Widodo dengan wacana mengikutsertakan maskapai asing melayani rute domestik di Indonesia bersama dengan perusahaan penerbangan dalam negeri lainnya. Jika pelaku usaha di bisnis penerbangan rute domestik bertambah, diharapkan harga tiket pesawat dapat semakin ditekan.

Sementara itu, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mengaku menelan kerugian sebesar US$12 juta atau setara Rp168 miliar pada awal April 2019.

Minimnya Penerbangan Perintis

Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia Jawa Timur Said Sutomo dalam talkshow Ranah Publik (1/7) di Suara Muslim Surabaya 93.8 FM menjelaskan terdapat kekeliruan pemahaman dari maskapai terhadap tarif kebijakan yang diatur pemerintah. Regulasi itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Tata Cara dan Formulasi Perhitungan Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.

“Dengan aturan itu, misalnya, tiket penerbangan domestik kelas ekonomi dari kota A ke kota B yang dibanderol seharga Rp1 juta per penumpang, maka tarif batas bawah yang semula hanya sebesar Rp300 ribu per penumpang nantinya akan naik menjadi Rp350 ribu per penumpang,” jelasnya.

Said menjelaskan, lantaran tarif batas bawah ditentukan oleh batas atas, maka pemerintah mengatur sejumlah hal terkait perhitungan tarif. Misalnya, pengenaan tarif batas atas bisa dilakukan sampai 100 persen untuk maskapai dengan pelayanan standar maksimum.

“Namun dalam kenyataannya, maskapai menerapkan tarif tidak berdasarkan jarak lagi. Mestinya tarif batas atas dan bawah ada jarak per kilometer, tapi itu sudah tidak berlaku lagi. Sehingga saat ada orang dari Surabaya ke Medan, transitnya ke luar negeri dulu, jika sudah transit ke luar negeri kan sudah bukan domestik lagi,” jelasnya.

Permasalahan muncul ketika beban transit yang dilakukan maskapai menjadi beban konsumen. Meskipun pesawat sudah memberi keterangan akan melakukan transit. Tetapi menurut Said, hal itu melanggar peraturan, karena yang diatur adalah tarif jarak antar tempat tujuan dari tempat keberangkatan bukan malah jarak kelilingnya yang dibebankan.

“Maskapai beralasan jarak antar tempat tujuan dari tempat keberangkatan tidak ada pesawat lain. Nah ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah untuk mengatur kewajiban penerbangan perintis,” tuturnya.

Selain memperbanyak penerbangan perintis, menurut Said, maskapai yang ada di Indonesia harusnya tidak murni bersifat bisnis semua, karena dalam aturan tertulis pemerintah menolelir 70 persen load factor dalam semua transportasi. Artinya jika lebih dari itu maka maskapai sudah mendapatkan keuntungan. Sehingga harusnya ada sisi sosial dari harga tiket yang mereka bikin.

“Maka ini perlu diaudit secara ketat berbasis pendapatan konsumen bukan justru berbasis pengeluaran investasi,” pungkasnya.

Maskapai Asing Sebagai Penyelamat?

Sementara itu, Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah Jawa Timur Dr. Imron Mawardi dalam talkshow Ranah Publik (1/7) di Suara Muslim Surabaya 93.8 FM mengatakan, Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai banyak bandara dan rute penerbangan domestik, harusnya pemerintah hadir dalam arti khusus berkaitan dengan rute yang tidak menarik bagi swasta. Sedangkan untuk rute yang sudah umum itu barulah menjadi murni bisnis.

“Jadi pemerintah wajib hadir kalau rute daerah timur atau perintis karena rute ini tidak menarik bagi maskapai asing,” paparnya.

Ada banyak pertanyaan mahalnya tiket saat ini, menurut Imron, salah satunya, rupiah terdepresiasi, sehingga biaya leasing pesawat dan avtur menjadi mahal. Dalam kondisi seperti ini, lanjutnya, seharusnya pemerintah memberikan insentif dalam bentuk perpajakan atau investasi karena hal itu bisa menumbuhkan industri pesawat dalam negeri.

“Indonesia bukan hal baru bagi maspakai asing, dulu ada Air Asia x, Tiger Air (Mandala) dan pada akhirnya gulung tikar. Karena persoalan ini tidak sesederhana jika asing masuk maka akan otomatis menurunkan tiket pesawat,” jelasnya.

Menurut Imron, maskapai Garuda pun tidak memiliki laba yang besar padahal jika melihat market sharenya mencapai 46 persen di Indonesia dengan tarif yang tinggi. Sebenarnya faktor apa yang menjadi penyebab? Jika faktor persaingan tentu tidak, karena hanya ada dua maskapai besar yang menguasai Indonesia, tetapi mereka sendiri justru tidak berkinerja semakin baik.

“Bahkan saat ini Garuda dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran penyajian atas laporan keuangan perusahaan 2018. Jadi Bursa Efek mengeluarkan hukuman yang dikenakan bagi manajemen dan para direksi. Yang perlu dicermati, apakah mahalnya tarif berkaitan dengan ketidakberesan manajemen?” Tandasnya.

Imron mempertanyakan, apakah saat maskapai asing masuk mereka bisa membuat harga yang kompetitif. Bagi konsumen yang terpenting harga yang murah, tetapi menjadi percuma jika mengundang maskapai asing kalau kemudian mereka tidak mampu menurunkan harga juga.

“Memang banyak kekhawatiran saat asing masuk Indonesia, bahkan ada yang disangkutpautkan masalah kedaulatan. Padahal maskapai asing sudah pernah masuk sebelumnya. Untuk menjawab kekhawatiran itu pun sudah diatur dalam UU bahwa penguasaan maskapai domestik harus sebesar 51 persen dalam negeri,” pungkasnya.

Sumber : Suara Muslim