MENYOROT EFEKTIVITAS KEBIJAKAN SATU HARGA BAHAN BAKAR MINYAK

Kesenjangan infrastruktur antara Jawa dengan non Jawa, khususnya Indonesia bagian timur, bak bumi dan langit. Karena itu, upaya Presiden Joko Widodo melakukan percepatan pembangunan infrastruktur di pojok Indonesia bagian timur itu, bisa dìmengerti.

Kapan lagi mereka merasakan terangnya aliran listrik setelah 72 tahun Indonesia merdeka? Faktanya rasio elektrifikasi di Indonesia bagian timur masih rendah. Pun upaya Presiden Joko Widodo mewujudkan kebijakan satu harga untuk bahan bakar minyak, patut diapresiasi. Rasanya sungguh tidak manusiawi, jika di Kabupaten Jaya Wijaya, misalnya, satu liter premium harus dibeli dengan harga Rp 50.000. Dimanakah letak keadilan dan kehadiran negara?

Pemerintah menargetkan 150 titik area yang akan terkena kebijakan satu harga bahan bakar minyak, khususnya di wilayah Papua, Sulawesi dan Maluku. Saat ini sudah terwujud di 26 titik, dari target 50 titik pada 2017. Guna mewujudkan kebijakan satu harga tersebut diperlukan biaya yang tidak sedikit, yang dihandle oleh PT Pertamina. Konon PT Pertamina telah menggelontorkan biaya tambahan sebesar Rp 800 miliar, dari total target biaya sebesar Rp 3 trilyun. Wow! Sebuah angka nominal yang tidak sedikit, bahkan fantastis.

Namun demikian kebijakan satu harga tetap harus kita sorot, bagaimanakah implementasinya, apakah efektif mengendalikan harga bahan bakar minyak ke angka normal?

PT Pertamina diminta membangun agen atau penyalur resmi di daerah yang terkena kebijakan satu harga . Bak operasi pasar sembilan kebutuhan pokok (sembako), mulanya cara ini efektif untuk menurunkan harga bahan bakar minyak di daerah tersebut. Namun, namun dalam hitungan jam pasokan bahan bakar minyak di agen resmi ludes diborong para pengecer. Dan petugas tidak bisa berbuat banyak atas fenomea tersebut. Akibatnya saat di agen resmi stoknya habis karena diborong, tetapi stok bahan bakar minyak di pengecer tidak resmi malah melimpah. Dan, harganya jauh lebih tinggi dibanding dengan harga bahan bakar minyak di agen resmi. Dana puluhan milyar ludes dalam sekejab dan hanya menguntungkan (memperkaya) pihak tertentu saja.

Padahal jika dilihat dari sisi regulasi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas, penjualan minyak dan gas harus mengantongi izin dari pemerintah (Pasal 23). Tanpa izin resmi, pengecer bahan bakar minyak bisa dikategorikan sebagai pengecer ilegal. Namun,  pada tataran empiris bukan perkara gampang untuk melakukan penegakan hukum pada pengecer ilegal itu. Selain mereka sudah menguasai pasar, juga letak geografis yang jauh dan luasnya area. Tentu agen resmi besutan tak akan mampu menjangkau hingga ke area akar rumput. Akibatnya, jika  hanya mengandalkan keberadaan agen resmi, jarak tempuh bagi konsumen ke agen resmi terlalu jauh. Keberadaan penyalur tidak resmi praktis masih dibutuhkan. Pada titik inilah kebijakan satu harga bahan bakar minyak bisa kita katakan belum 100 persen berhasil.

Lantas bagaimanakah skema distribusi yang realistis dan siapakah yang harus bertanggungjawab?

Adalah tidak fair jika pengawasannya dibebankan kepada PT Pertamina. Rantai distribusi PT Pertamina tak mampu mengawasi sampai ke level bawah. Merujuk pada Perpres No. 191 Tahun 2014, tugas pengawasan distribusi bahan bakar minyak adalah kewenangan BPH Migas, yang berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri, dalam hal ini pemerintah daerah. Konkritnya BPH Migas harus bersinergi dengan pemerintah daerah setempat. Pemda punya andil besar untuk menjaga kebijakan satu harga agar berjalan efektif dan fair. Aparat pemda tahu persis, siapa saja pemainnya dan berapa jumlah pengecernya. Kebijakan satu harga bahan bakar minyak memberikan nilai tambah bagi ekonomi daerah. Bahkan secara psikologi politik pimpinan daerah akan mendapatkan nilai plus di mata publik.

Di sisi yang lain, keberadaan para pengecer tetap diakomodir, guna memberikan kemudahan akses bagi konsumen. Para pengecer tidak dilarang, tetapi dirangkul untuk membantu penyaluran bahan bakar minyak. Para pengecer diberikan skema harga yang berbeda dengan harga resmi, tetapi besaran harganya tetap terkontrol. Konteksnya keberadaan mereka “dibina”, bukan “dibinasakan”. Harga eceran tertingginya (HET) tetap under control sehingga tidak mengganggu daya beli masyarakat. Akses masyarakat untuk membeli bahan bakar minyak tetap terjaga, dengan harga rasional dan terjangkau.

Kesimpulan

Untuk mewujudkan kebijakan satu harga bahan bakar minyak di wilayah terluar, terpencil dan terdepan Indonesia, faktanya tak semudah membalikkan telapak tangan. Bukan sekadar PT Pertamina menggelontorkan fulus hingga ratusan milyar guna membentuk agen resmi, kemudian harga bahan bakar minyak turun dengan sendirinya. Banyak onak dan duri, sebab faktanya ada kepentingan ekonomi pihak tertentu yang akan terganggu dan kemudian pasti merasa dirugikan dengan kebijakan satu harga ini. Pendekatan hukum bukanlahlah satu-satunya solusi terbaik. Diperlukan koordinasi dan sinergi yang kuat, baik dari sisi sosiologis bahkan politis guna memangkas pemburu rente dibisnis retail bahan bakar minyak di area terluar, terpencil dan terdepan Indonesia. Adalah hak asasi masyarakat konsumen untuk mendapatkan komoditas energi (bahan bakar minyak) dengan harga yang terjangkau. Dan menjadi tugas/tanggungjawab negara untuk menyediakannya. Janganlah dana ratusan milyar bahkan trilyunan rupiah menguap tak jelas juntrungannya, karena gagal dalam pengawasan di lapangan. ***

 

Tulus Abadi, 
Ketua Pengurus Harian YLKI.
(tulisan serupa pernah dimuat disini, pada 28 Oktober 2017)


Source: YLKI

Tags: