Mudik Bersepeda Motor, Terpaksa dan Disalahkan

sepedamotor-mudikSungguh tidak bijak menyalahkan pemudik bersepeda motor karena tingginya angka kecelakaan dan besarnya korban.
Pemudik bersepeda motor dinilai telah mengabaikan aturan dan tidak disiplin dalam berlalu lintas. Bahkan, toleransi yang diberikan petugas disesali petugas sendiri sehingga timbul pemikiran mudik bersepeda motor dilarang atau tidak diperbolehkan.

Penuh risiko

Mudik bersepeda motor sebenarnya sama dengan berkendaraan seperti biasa. Perbedaannya, jarak tempuh lebih jauh, waktu perjalanan lebih lama, dan tujuan yang sama, yaitu luar kota. Ini semua memengaruhi perilaku perjalanan para pengemudi dan berpengaruh terhadap risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas.

Risiko kecelakaan selalu ditakuti dan dikhawatirkan semua orang. Persoalannya, bagaimanakah melakukan manajemen risiko terhadap risiko kecelakaan yang ada. Jika manajemen risikonya baik, kejadian kecelakaan akan dapat ditekan sekecil mungkin. Sebaliknya, jika manajemen risiko kurang baik, jumlah kecelakaan lalu lintas dimungkinkan akan tinggi pula.

Jadi, jika jumlah kecelakaan lalu lintas yang memakan korban pada masa angkutan Lebaran tahun ini cukup tinggi—dan motor dinilai sebagai biang keladinya—pemerintah harus mengevaluasi dan menilai manajemen risiko yang telah dilakukan. Bisa jadi, hingga kini, pemerintah tidak serius melakukan manajemen risiko kecelakaan lalu lintas, terutama pada masa angkutan Lebaran.

Mudik menggunakan sepeda motor jelas merupakan kegiatan penuh risiko sehingga siapa pun jika diminta memilih tentu akan menggunakan cara lain yang lebih aman. Sepeda motor dipilih karena beberapa keuntungan, antara lain biaya perjalanan ke tujuan lebih murah. Biaya transportasi/mobilitas di tempat tujuan juga lebih murah dengan motor sehingga masalah utamanya adalah tidak tersedianya fasilitas angkutan umum yang efisien (lebih efisien menurut pengguna motor) dari kota ke daerah tujuan. Selain itu, sistem angkutan umum di perkotaan dan pedesaan yang buruk.

Daya beli masyarakat

Gagasan melarang menggunakan sepeda motor untuk mudik tentu sulit diterima, bahkan bisa dianggap merampas hak masyarakat. Alasannya, hingga kini tak ada satu aturan pun yang melarang menggunakan sepeda motor di jalan umum atau aturan jarak maksimal boleh menggunakan sepeda motor.

Sebagai gambaran, jumlah pemudik ke Jawa Tengah tanggal 14-22 September 2009 mencapai 2,9 juta. Dari jumlah itu, pengguna sepeda motor 31,20 persen, mobil 34,87 persen, bus 23,77 persen, kereta api 8,25 persen, pesawat terbang 1,39 persen, dan kapal laut 0,52 persen.

Jika dibuat rata-rata, per hari ada 322.000 pemudik. Sedangkan kapasitas angkutan umum, bus dan kereta api, sebenarnya mencukupi. Namun, masalahnya bukan pada kapasitas, tetapi kemampuan daya beli masyarakat. Umumnya mereka tidak mampu membeli harga tiket sehingga terpaksa memilih menggunakan sepeda motor agar tetap bisa pulang ke kampung halaman.

Di daerah asal, para pemudik tentu akan melakukan perjalanan atau mobilitas yang sifatnya lokal, baik dari terminal turun ke lokasi tempat tujuan, mengunjungi saudara dan handai tolan, maupun mengunjungi obyek wisata. Hal ini juga akan menjadi salah satu pertimbangan bagi pemudik, apakah di daerah tujuan tersedia angkutan umum yang dapat diandalkan atau tidak.

Kenyataannya, jika kita lihat ke sejumlah daerah, pelayanan angkutan umum amat buruk selain tarif yang mahal, jadwal tidak pasti, waktu perjalanan yang lama, dan sangat tidak nyaman. Hal ini juga memicu tingginya penggunaan sepeda motor untuk mudik ke kampung halaman.

Solusi

Lalu, solusi apa yang bisa dilakukan guna mengurangi penggunaan sepeda motor untuk mudik sekaligus mengurangi risiko kecelakaan lalu lintas?

Diharapkan pemerintah membuat sebuah perencanaan penanganan arus mudik dan arus balik Lebaran dengan mengedepankan pembangunan kapasitas angkutan penumpang umum massal dengan tarif terjangkau oleh daya beli masyarakat.

Amat diharapkan, pemerintah bisa menambah kapasitas angkutan kereta api penumpang kelas ekonomi hingga minimal tiga kali lipat dari yang ada kini. Untuk bisa murah memang diperlukan subsidi, terutama pada hari raya. Ini untuk menambah daya tarik sehingga mengurangi penggunaan sepeda motor untuk mudik.

Untuk mengurangi penumpukan penumpang pada hari-hari menjelang hari H, dapat dilakukan pemberian subsidi tarif lebih besar pada H-7. Dan subsidi mengecil hingga hari H.

Ke depan, beberapa hal itu perlu menjadi perhatian serius pemerintah karena mudik Lebaran merupakan perhelatan besar yang sifatnya tahunan dan jumlah pemudik meningkat dari tahun ke tahun.

Endro Wicaksa Pemerhati Transportasi; Tinggal di Semarang

Opini dimuat di Harian Kompas edisi  Selasa 29 September 2009