Nasib Konsumen dalam Kasus Kepailitan

No comment 2014 views

Kemudahan mempailitkan perusahaan telah menggerus kepentingan konsumen. Perlu sinkronisasi dengan UU Perlindungan Konsumen.

Berhati-hatilah berutang jika tak ingin perusahaan Anda dimohonkan pailit. Sebab, pailit telah menjadi salah satu upaya hukum yang sering dipakai untuk memaksa pembayaran utang. Data dari Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat menunjukkan lebih dari seratus permohonan pailit sejak awal Januari 2012.

Memang, tidak semua permohonan itu dikabulkan. Tetapi hasilnya sulit diprediksi. Total nilai aset yang berkali-kali lipat dari jumlah utang bukan jaminan bagi perusahaan untuk lolos. Sepanjang ada utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, dan ada kreditor lain, perusahaan Anda bisa dipailitkan. Tak peduli apakah perusahaan Anda bersinggungan dengan jutaan konsumen, atau hanya perusahaan jasa. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) memungkinkan perusahaan dipailitkan sepanjang memenuhi syarat utang dan kreditur.

Tengok saja apa yang pernah dialami PT Telekomunikasi Selular Tbk (Telkomsel). Punya aset senilai Rp52,723 triliun tak membuat perusahaan ini lolos dari pailit di Pengadilan Niaga lantaran punya utang sekitar Rp5,3 miliar. Utang itu berawal dari purchasing order (PO) voucher isi ulang pulsa. Hubungan bisnis keduanya tak berlanjut. PT Prima Jaya Informatika (PJI) menuding Telkomsel tak membayar utang, dan memohonkan pailit perusahaan plat merah itu.

Kepailitan Telkomsel akhirnya dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada 21 November tahun lalu. Majelis kasasi menyebut pembuktian utang Telkomsel, seperti amanat Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan, tidaklah sederhana. Tetapi kasus ini menimbulkan pertanyaan bagaimana nasib jutaan konsumen Telkomsel.

Nasib konsumen kembali menjadi teka-teki ketika memasuki tahun 2013, Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat kembali mempailitkan PT Metro Batavia, perusahaan pengelola maskapai penerbangan Batavia Air. Majelis mengabulkan permohonan perusahaan asal Amerika Serikat, International Lease Finance Corporation (ILFC), karena debitor tak mampu membayar sewa pesawat, biaya cadangan mesin, dan bunga. Total utangnya mencapai AS$4,6 juta.

Di persidangan, Batavia mengakui utang tersebut. Merujuk Pasal 164 HIR, pengakuan adalah bukti sempurna. Itu pula sebabnya, majelis tak ragu mengetok palu pailit terhadap Batavia Air.

Nasib Konsumen

Kasus Telkomsel dan Batavia adalah dua contoh kepailitan yang bersinggungan dengan kepentingan ribuan, bahkan jutaan konsumen. Calon penumpang pesawat Batavia Air yang sudah membeli tiket hanya bisa gigit jari karena pengurusan perusahaan beralih ke kurator begitu majelis hakim mengetok palu pailit. Mau refund tiket, kantor-kantor Batavia Air justru sudah tutup. Karyawan perusahaan juga tak bisa berbuat banyak. Pelanggan Telkomsel tak kalah bingungnya, membayangkan implikasi hukum terhadap konsumen jika perusahaan benar-benar bankrut.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menyatakan posisi konsumen nyaris tak menguntungkan dalam kasus kepailitan. Nasib konsumen nyaris tak diperhatikan meskipun jumlahnya banyak. Bukan hanya nasib layanan segera yang harus mereka terima, tetapi juga dalam pembagian budel pailit. ?Konsumen selalu mendapat ?sampah?,? ujarnya, Jumat (01/2).

Sinyalemen Sudaryatmo diamini Alba Sukmahadi. Kurator PT Metro Batavia ini, di sela rapat kreditor pertama 15 Februari lalu, mengatakan penumpang Batavia Air diposisikan sebagai kreditor konkuren, bahkan menjadi bagian terakhir dari pembagian budel pailit.

David ML Tobing punya pendapat berbeda. Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) ADAMSCO ini mengatakan konsumen dalam hal ini penumpang Batavia Air tidak dapat disamakan dengan kreditor. Apalagi ditempatkan pada posisi terakhir yang kemungkinan besar tidak mendapatkan apapun.

Menurutnya, penumpang tidak memiliki tagihan berupa uang, melainkan tagihan jasa. Kontraprestasi atas uang yang dibayar konsumen adalah jasa. Pelaku usaha harus memberikan jasa tersebut, semisal mengalihkan jadwal penerbangan ke maskapai lain. Jika tidak, konsumen berhak mendapatkan ganti rugi dari pelaku usaha, sesuai UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Ke depan, sinkronisasi regulasi kepailitan dan konsumen perlu dilakukan. Dalam konteks ini, David berharap hakim-hakim pengawas di Pengadilan Niaga memiliki terobosan yang dapat melindungi kedudukan konsumen.

Kurator juga punya peran. Misalnya, mendahulukan penggantian atau pengalihan tiket penumpang dan agen perjalanan yang telah memberikan uang jaminan ke perusahaan maskapai. Merujuk pada UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, kata David, konsumen juga mendapatkan asuransi senilai Rp300 ribu akibat penerbangan yang tertunda lebih dari tiga jam. Kurator dan hakim pengawas kasus Batavia Air perlu memahami regulasi di bidang penerbangan tersebut

Ancaman Kebankrutan

UU Kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditor dari debitor yang nakal. Kreditor diberi jalan cepat untuk menyelesaikan utang yang tidak dibayar. Tetapi debitor juga dilindungi melalui mekanisme PKPU.

Tujuan baik itu tidak seindah praktiknya. Pailit seringkali dipakai tanpa melihat sederhana tidaknya pembuktian utang. Yang dilihat hanya syarat minimal utang dan kreditor yang diatur dalam? Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan. Dampak kepailitan terhadap pihak ketiga, seperti karyawan dan konsumen, seolah dilupakan. Bahkan permohonan pailit bisa mengarah pada praktik persaingan usaha tidak sehat.

Pengajar Hukum Kepailitan Universitas Indonesia Teddy Anggoro berpendapat majelis hakim kasus kepailitan perlu mempertimbangkan UU Perlindungan Konsumen saat menangani dan memutus kepailitan perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan publik. Sebagai perbaikan dari regulasi awal, yakni Perppu No. 1 Tahun 1999, UU Kepailitan dan PKPU dinilai Teddy belum komprehensif dan sempurna, terutama dari sisi perlindungan konsumen. Kasus Batavia dan Telkomsel bisa menjadi perbandingan.

Teddy mengingatkan prinsip costumer sovereignity aliaskedaulatan konsumen. Konsumen memiliki kekuatan dalam sebuah industri khususnya perusahaan yang sifatnya pelayanan publik. Meskipun negara mengakui kedaulatan costumer soveregnity, nasib konsumen tak berdaultan saat menghadapi kepailitan. ?Hukum kepailitan kita ini seolah-olah menderogasi kepentingan konsumen yang sudah diakui negara melalui UU Perlindungan Konsumen,? ujar Teddy ketika dihubungi hukumonline, Sabtu (02/2).

Sebaliknya, praktisi Hukum Kepailitan yang juga kurator, Andrey Sitanggang, berpendapat pailit perusahaan yang menyangkut publik tidak perlu mempertimbangkan UU Perlindungan Konsumen. Sebab, UU Kepailitan dan PKPU adalah sebuah aturan yang bersifat khusus (lex specialis). Apalagi, UU Kepailitan mengenal sistem pembuktian sederhana.

Andrey justru melihat faktor kondisi keuangan perusahaan yang perlu diperhatikan majelis hakim. Tujuannya adalah untuk menghindari niat jahat oknum lain yang ingin merusak perusahaan, katakanlah, karena ada persaingan bisnis.

Peluang persaingan itu, kata M. Nawir Messi, selalu ada. Namun Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ini melihat belum ada tindakan yang mengarah pada persaingan bisnis tak sehat dalam kasus Batavia Air. Sepanjang, pemerintah membuka pemain baru untuk masuk di industri ini, Nawir tidak mengkhawatirkan munculnya praktik monopoli karena pemainnya banyak. ?Jika pemerintah menutup keran pemain baru, mungkin akan muncul proses monopolisasi,? tuturnya kepada hukumonline, Rabu (13/2).

Nawir berpendapat hakim juga perlu mempertimbangkan aspek persaingan usaha dalam putusan. Selain itu, sebelum diputus pailit, ada koordinasi antara pengadilan niaga dengan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan konsumen. Pengadilan seharusnya mewajibkan pemerintah (lembaga terkait) menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan konsumen.

?Revisi aturan?

Melihat mudahnya mempailitkan suatu perusahaan, Sudaryatmo memandang perlu revisi UU Kepailitan. Menurutnya, perlu ada pendekatan berbeda dalam menangani perkara kepailitan terhadap perusahaan yang langsung melayani konsumen. Pendekatan tersebut mencontoh sektor perbankan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (3), (4), dan (5) UU Kepailitan dan PKPU.

Berlandaskan pada pasal-pasal tersebut, Sudaryatmo menilai perlu persetujuan Kementerian Perhubungan atau Kementerian terkait jika hendak mempailitkan suatu perusahaan yang menyangkut konsumen atau hajat hidup orang banyak.

David menambahkan badan usaha baik swasta maupun pemerintah yang menyangkut kepentingan publik harus menjamin keberlangsungan pelayanan publiknya. Maka, jika suatu perusahaan dimohonkan pailit, regulator harus memanggil pelaku usaha dan meminta jaminan agar pelaku usaha dapat mengganti hak para konsumen. ?

Teddy juga sepakat merevisi UU Kepailitan, khususnya yang menyangkut kepentingan publik. Namun ia mengkhawatirkan jika permohonan pailit harus persetujuan menteri seperti usulan Sudaryatmo. Yang harus dipastikan adalah keharusan direksi perusahaan memenuhi kewajiban segera kepada konsumen sebelum kurator mengambil alih pengurusan perseroan.

Andrey Sitanggang belum melihat urgensi revisi UU Kepailitan. Yang mendesak adalah komitmen bersama untuk menafsirkan rumusan UU secara jujur dan objektif. Sebagus apapun suatu aturan, tetap ada ada celah di mata orang yang ingin menyiasatinya. Jadi, tergantung bagaimana kita memandang rumusan peraturan.

?Kalau saya, sebagus apapun undang-undang, kalau tidak memiliki komitmen menafsirkan dengan jujur, tetap ada celah. Namanya juga produk manusia. Sekarang tergantung kita, mau lihat kelemahannya atau tujuan dari pasal-pasal tersebut,? tandasnya. (Sumber Hukum Online, Jum?at. 01 Maret 2013)