Ontran-Ontran Pembangunan Jalan Tol Tengah Kota Surabaya

tol-tengah-surabayaOntran-ontran (kisruh kekuasaan) pembangunan jalan tol tengah Kota Surabaya antara penguasa Pemprov Jatim dan penguasa Pemkot Surabaya bak sengketa antara Negara RI dengan Malaysia dalam memperebutkan pulau Ambalat. Kengototan masing-masing penguasa itu sudah tak lagi mencerminkan untuk kepentingan publik sebagai acuannya tapi lebih bernuansa politis.

Jika ontran-ontran tentang pembangunan jalan tol ini terus berlarut-larut dan tak ada titik temunya maka publik penikmat akhir hasil pembangunan jalan akan menuai kerugiannya. Tarik ulur ini adalah salah satu contoh kasat mata bahwa kepentingan publik dapat direduksi menjadi kepentingan politik tampa mengurangi isu kepentingan publiknya.

Pamer sengketa kekuasaan antara Pemerintah Pusat, Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya  seperti yang dipertontonkan selama ini sangat tak menguntungkan bagi publik. Karena tak ada sistem nilai yang wajib dipertahankan oleh masing-masing penguasa secara heroik seperti  pekik: “Merdeka atau Mati”. Karenanya ontran-ontran antara kedua penguasa itu diharapkan ada titik temunya yang semuanya bermuara kepada kepentingan publik.

Kegagalan Pemerintah

Kegagalan pemerintah – baik Pemerintah Pusat, Pemprov, Kota/Kabupaten – dalam menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) adalah tampa melakukan sinergi secara komprehensif. Pelaksanaannya pun seringkali terjadi distorsi dan tak konsisten. Akibatnya sistem pembangunan infrasruktur jalan di Negara kita ini seperti bait nyanyian:  …sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia…Celakanya, di banyak kasus ketika Pemerintah Pusat membangun jalan yang melintasi Pemprov, Kota dan Kabupaten seolah-olah pembangunan jalan itu dianggap “menjarah” wilayah kekuasaannya. Begitu juga sebaliknya.

Karenanya, koneksitas pembangunan jalan antar provinsi yang seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat masih tak terhubung dengan baik. Begitu juga koneksitas jalan antar kota dalam provinsi yang menjadi tanggungjawab Pemprov ternyata masih banyak yang amburadul. Lebih parah lagi, koneksitas antar terminal, antar pasar, antar plasa, antar perumahanan dan antar pangkalan Angkot dalam kota atau dalam kabupaten juga tak terhubung secara sistemik. Akibatnya beban ekonomi konsumen semakin tinggi karena harus pindah berkali-kali dari moda angkutan umum.

Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, telah merencanakan akan membangun jaringan jalan lingkar meliputi: Lingkar barat meliputi, Jl Wiyung, Jl Banyuurip, tol Surabaya-Mojokerto (Sumo), Jl Kalianak. Lingkar timur lewat tepi laut. Lingkar utara lewat tol jembatan Suramadu. Dan lingkar selatan meliputi, luar barat, tol yang sudah ada, Jl. A Yani. Selain itu menurutnya, masyarakat akan bebas dari beban biaya jalan tol. Jalan tol tengah Kota Surabaya menurutnya dengan tegas dikatakan tak mungkin dibangun baik secara teori maupun teknis. Jalan tol hanya akan memindahkan kemacetan, bukan menyelesaikan kemacetan. Titik-titik keluar tol akan menjadi titik kemacetan baru. (Kompas Jatim, 24/11/2010).

Karenanya, manakala Gubernur Jatim Soekarwo mengatakan bahwa pembangunan jalan tol tengah Kota Surabaya yang  melintasi di sejumlah jalan nasional, yakni mulai dari jalan bundaran Waru – Jl A Yani – Jl Wonokromo – Jl Diponegoro – Jl Arjuno – Jl Dupak – Pelabuhan Tanjung Perak dinilai sangat urgen guna mengatasi kemacetan di Surabaya, namun bagi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dengan adanya rencananya membangun jalan lingkar maka kemacetan Kota Surabaya diyakini akan teratasi. Bahkan pada tahun 2013 Pemkot menyiapkan transportasi massal, tujuannya agar pemilik angkutan pribadi pindah memilih naik moda angkutan umum. Ketidaksinkronan kebijakan antara RTRW provinsi dan Pemkot Surabaya ini nasib jalan tol tengah Kota Surabaya menjadi tak jelas.

Bangun Semuanya

Bagaimana publik menilainya? Adanya pembangunan jalan lingkar seperti yang direncanakan Pemkot Surabaya sangat baik dan diimpikan publik. Pembangunan tol di tengah Kota Surabaya guna memecahkan kemacetan dalam kota juga sangat bagus dan diinginkan publik. Yang tak diimpikan dan tak diinginkan publik adalah jika kedua-duanya tak jadi dibangun. Kemacetan makin tak terbendung. Prosentase antara pertumbuhan pembangunan jalan dengan volume pertumbuhan kendaraan di jalan semakin timpang. Adanya pembangunan jalan lingkar yang digagas Pemkot dan pembangunan jalan tol tengah Kota Surabaya yang diusulkan Pemprov bersama Pemerintah Pusat paling tidak memberikan keseimbangan antara kebutuhan pembangunan jalan dengan volume pertumbuhan kendaraan di Kota Surabaya.

Keberadaan jalan lingkar dan jalan tol tengah Kota Surabaya nantinya akan menjadi pilihan publik pengguna jalan. Jika mengingingkan bebas dari beban biaya jalan tol maka pilihannya adalah melewati jalan lingkar sesuai rute terdekat ke tempat tujuan. Namun bagi pengguna jalan jika menuju ke tempat tujuannya butuh akses jalan tol tengah Kota Surabaya maka konsekwensi logisnya wajib menanggung beban biaya tambahan yaitu membayar jasa jalan tol. Keberadaan akses jalan, baik jalan lingkar maupun jalan tol tengah kota, keduanya akan menguntungkan publik bukan hanya menguntungkan orang-perorang atau golongan tertentu.

Oleh karenanya ontran-ontran antara Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya jangan sampai menjadi bukti susahnya kita membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ontran-ontran ini sebenarnya merupakan tarik ulur yang lebih bersifat ekonomis yang biasanya mudah dicapai kompromi. saidsutomoLain halnya jika yang melatarbelakangi terjadinya ontran-ontran tersebut lebih disebabkan oleh nilai-nilai yang lebih mendalam yang wajib dipertaruhkan oleh masing-masing penguasa seperti perjuangan heroik Arek-Arek Surobyo dalam mempertahankan nilai-nilai Kemerdekaan ketika dalam pertempuran melawan penjajah Belanda pada 10 Nopember 1945 Tempo Doeloe.

Oleh: M. Said Sutomo

Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur

Surabaya, 24 Nopember 2010