Produsen dan Pengedar Vaksin Palsu, Bisakah Didor?

ilustrasi vaksin palsu

ilustrasi vaksin palsu

Hampir sepekan ini, publik dikejutkan beredarnya vaksin palsu di lingkungan istitusi kesehatan. Padahal tiap tahun pemerintah berkampanye dengan tema Ayo Jadi Konsumen Cerdas. Konsumen cerdas yang dimaksud agar konsumen dalam memilih produk barang dan/atau jasa lebih selektif, menggali informasi tentang jaminan kualitasnya, dan mendahulukan kebutuhan (need) daripada keinginginan (want). Karena keinginan seringkali mengesampingkan kecerdasan konsumen.

Ada tiga stakeholders di dalam sistem pelindungan konsumen. Pertama, pemerintah sebagai regulator. Kedua, pelaku usaha (perusahaan, korporasi, BUMN/BUMD, koperasi, importer, pedagang, distributor dan lain-lain) sebagai operator. Dan ketiga, konsumen. Pemerintah adalah pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kota/kabupaten beserta dinas terkait dan institusi terkait lainnya seperti Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Namun apa yang terjadi di lapangan? Terbongkarnya vaksin palsu justru beredar di lingkungan institusi pemerintahan yang memiliki fungsi pelaksanaan sistem perlindungan konsumen di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) yang berada di bawah pengawasan Kementerian Kesehatan RI. (Kemenkes RI). Kasus ini mengingatkan kita pada pepatah Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak.

Betapa tidak, menjelang bulan Ramadan, pemerintah melalui dinas kesehatan beserta BPOM sidak ke lapangan menguji mamin (makanan-minuman) takjilan di pasar-pasar tradisional yang diduga mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan konsumen. Sidak Dinas Kesehatan dan BPOM itu seolah-oleh menegaskan pada publik bahwa peredaran dan perdagangan obat-obatan RSUD dan Puskesmas steril dari barang-barang palsu yang membahayakan bagi kesehatan konsumen.

BPOM yang berada dibawah kewenangan Kemenkes tidak menggangap perlu mengawasi obata-obatan di lingkungan Kemenkes RI. Bahkan pengadaan peralatan kesehatan dan pengujian standardisasinya bebas dari pengawasan. Jangan heran manakala ada pasien / konsumen mengecek tensi darah umpamanya, seringkali mendapatkan hasil yang tidak sama antara RSUD yang satu dengan RSUD lainnya dan antara Puskesmas yang satu dengan Puskesmas lainnya. Akibatnya, masyarakat konsumen / pasien yang dirugikan.

Oleh karenanya, Komisi IX DPR RI menyoroti kinerja Kemenkes RI di bawah kepemimpinan Nila F Moeloek. Sorotan ini makin tajam setelah peredaran vaksin palsu diungkap oleh Bareskrim Mabes Polri bukan hasil temuan dari PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil).

Menurut Dede, BPOM memang tidak diberi kewenangan oleh Kemenkes RI untuk mengawasi obat-obatan yang masuk ke RSUD dan Puskesmas. Akibatnya fungsi preventif dalam pengawasan obat-obatan di RSUD dan Puskesmas tidak berjalan. BPOM selama ini hanya dikonsentrasikan melakukan pengawasan barang yang beredar di pasaran komersial, bukan di institusi publik kesehatan.

Peredaran vaksin palsu, meskipun tidak mempunyai dampak negatif karena berupa oplosan dari vaksin bermerek tapi dapat menyebabkan terjadinya endemis kejadian luar biasa. Anak-anak tidak akan mendapatkan kekebalan tubuhnya karena vaksin yang disuntikan palsu. Karena tidak terjadi kekebalan tubuh, maka anak mudah sakit bahkan rentan meninggal dunia. Harusnya kita sudah bebas polio, karena vaksinnya palsu, polionya jadi banyak.

Harusnya masyarakat kita bebas campak, karena vaksinnya palsu jadinya banyak campak di mana-mana. Sistem perlindungan konsumen yang diselenggarakan seharusnya sebagai usaha bersama dari tiga stakeholders di atas berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional. Selama ini, lima asas sistem perlindungan konsumen tidak pernah mendapatkan atensi dari pemerintah sehingga tidak mendorong pelaku usaha agar menjadi regulasi internalnya dalam proses produksi.

Padahal lima asas itu bukan hanya untuk kepentingan konsumen tapi juga untuk kepentingan pemerintah dalam melindungi rakyatnya sendiri sebagai konsumen dan untuk kepentingan pelaku usaha dalam menjaga hubungan baik dengan konsumennya.

Apa saja lima asas sistem perlindungan konsumen terutama di sector kesehatan yang belum pernah terwujud itu?

Pertama, asas manfaat bahwa segala upaya dalam 
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

Kedua, asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku 
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

Ketiga, asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

Keempat, asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau

Kelima, asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Untuk menjamin kepastian hukum, maka manakala Presiden RI Joko Widodo pernah mengatakan: kalau bisa produsen dan pengedar narkoba didor.. Maka tidak berlebihan jika kita sebagai orang tua anak-nak kita berharap, para pemalsu dan pengedar vaksin palsu juga didor. Karena dampak negatif ketiadaan kekebalan tubuh pada anak-anak akibat suntikan vaksin palsu lebih kejam dibanding dampak negatif narkoba yang dikonsumsi dengan sengaja.

Ketua YLPK Jatim M Said Sutomo

Ketua YLPK Jatim M Said Sutomo

Beredarnya vaksin palsu di institusi kesehatan pemerintah, membutkikan bahwa program pemerintah dalam mencerdaskan konsumen nasional telah gagal total, karena pemerintah sendiri di Kemenkes RI selaku konsumen obat vaksin ternyata tidak begitu cerdas dalam membedakan antara vaksin palsu dengan vaksin asli. Celakanya, Kemenkes RI yang selalu menghimbau rakyat agar hidup sehat, ternyata Kemenkes RI sendiri yang melanggarnya dengan membuka lebar institusinya menjadi pangsa pasar vaksin palsu.

Apakah karena harga vaksin palsu yang cuma sekitar Rp. 250 – Rp. 300 ribu per botol, jauh lebih murah dibanding vaksin asli jenis tertentu yang harganya mencapai sekitar Rp. 800 – 900 ribu per botol, sehingga selisih harga tersebut mampu menghilangkan tingkat kecerdasan orang-orang di lingkungan Kemenkes RI?

 

Oleh: Muhammad Said Sutomo

Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur