Promo Gombal

No comment 1507 views

Regulasi telekomunikasi tidak pernah menyentuh pada pokok persoalan ketersediaan infrastruktur dan keandalan pelayanan operator telekomunikasi. BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) pun selama ini lebih banyak meregulasi tentang tarif dibanding meregulasi dua hal tersebut. Akibatnya konsumen yang jadi korbannya.

Regulasi telekomunikasi yang sangat terbuka bagi masuknya operator pendatang yang tidak diimbangi dengan persyaratan ketat tentang standar kuantitas ketersediaan infrastrukturnya telah memunculkan operator “bonek”, bondo nekat. Promo tarif percakapan dan SMS yang ekstrim ternyata hanya janji gombal.

Banyak konsumen telepon seluler kecewa. Contohnya, promo tarif percakapan atau SMS Rp. 0,- maupun Rp. 0,1/detik ternyata banyak konsumen tidak mempercayainya. Terbukti, hasil interview acak dari 100 konsumen, sebanyak 89 konsumen menyatakan promosi itu bohong, 6 konsumen menyatakan ragu dan sisanya menyatakan tidak tahu.

Hal ini dikarenakan regulasi telekomunikasi belum mengatur persyaratan minimal BTS yang harus terbangun di setiap propvinsi maupun di daerah kabupaten/kota bagi operator pendatang baru yang mengajukan ijin operasional. Ironisnya, jika pernah ada operator telekomunikasi hanya bermodal selembar kertas surat ijin operasional tapi tanpa kesiapan infrastrukturnya.

Karenanya, belakangan muncul wacana pembangunan dan pemanfaatan BTS bersama antara lintas operator telekomunikasi. Dari sisi opertor sangat positif. Namun dari sisi konsumen belum tentu. Karena masih memberikan peluang besar bagi operator telekomunikasi pendatang baru “bonek” itu. Pada gilirannya selembar kertas ijin operasional industri telekomunikasi menjadi semacam produk barang komoditi.

Karenanya, regulasi telekomunikasi perlu mengatur syarat minimal tentang ketersediaan jumlah BTS yang telah dibangun. Syarat ini penting bagi perlindungan konsumen. Karena dengan persyaratan itu konsumen bisa mengkur seberapa besar jumlah operator yang telah diajak berkolaborasi dalam pemanfaatan BTS-nya? Perlindungan konsumen dari hulu semacam ini sangat penting untuk mendorong kesediaan konsumen membeli kartu perdananya. Dan kemudian menjadi pelanggan setianya.

Secara finansial dan teknik pembangunan BTS bagi operator seluler tidak ada masalah. Namun dari sisi sosial pembangunan BTS baru telah mengundang banyak masalah. Masalah ijin pembangunan yang terbentur dengan otonomi daerah, masalah penduduk di sekitarnya dan masalah pengutan liar lainnya. Namun jika jika dibandingkan dengan membangun jaringan kabel di bawah tanah masalahnya masih lebih kecil.

Barangkali masalah-masalah itu yang mendasari ide kebijakan pemerintah untuk penggabungan pemanfaatan BTS bagi operator seluler hingga dapat menekan penurunan tarif yang berlaku sekarang. Karena disadari, tarif kompetitif bukan hanya karena suplai banyak tapi kenyataan membuktikan dominasi pasar dan kartel meski banyak operator telah menciptakan tarif seluler tidak kompetitif.

Publik telah lama menyadari bahwa tarif telepon seluler kita terlalu mahal. Baru ketahuan hitung-hitungannya ketika KPPU membeberkan indikasi dominasi pasar dan praktik kartel penetapan tarif telepon seluler. Namun pemberlakukan kebijakan pemanfaatan BTS bersama hendaknya tidak menciptakan dominasi otoritas baru yang akan menciptakan dominasi infrastruktur sehingga terlahir kartel baru yang pada gilirannya membebani konsumen juga.

M. Said Sutomo

Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK)

Jawa Timur