Sehatkah Jajan di Kantin Sekolah?

616 views

Studi Observasi Kantin Sekolah di Surakarta dan Depok

Sekolah merupakan rumah kedua bagi anak baik yang sekolah regular maupun system full day (sehari penuh). Di sekolah regular, anak-anak akan berada di sekolah hampir 5-6 jam, sedangkan system full day bisa menghabiskan waktu hingga 8 jam. Dalam rentang waktu tersebut anak sekolah sudah tentu membutuhkan makanan dan minuman yang mendukung tumbuh kembang optimal. Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan memiliki tanggung jawab dalam menyediakan makanan yang dikelola dalam kantin atau catering sekolah.

begitu pentingnya peran kantin bagi asupan gizi anak-anak sekolah maka  kantin sekolah harus menyediakan makanan yang sehat, aman dan bermutu. Ini sejalan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 942/MENKES/SK/VII/2003 tentang Pedoman Pesyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan, dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1429/MENKES/SK/XII/2006 tentang Pedoman penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Sekolah.

Studi observasi ini merupakan studi permulaan, dengan tujuan utama mengetahui pengelolaan kantin sekolah dalam upaya mendukung kecukupan gizi pada anak, kajian kebijakan internal dan peran para pihak. Kegiatan ini dilakukan di Kota Surakarta dan Kota Depok dengan repsonden 24 sekolah yang terdiri dari 12 SD dan 12 SMP di masing-masing kota. Pemilihan 2 (dua) lokasi ini dikarenakan adanya upaya mendukung kebijakan kota cerdas pangan, serta banyak parapihak yang peduli dalam upaya mewujudkan kebijakan ini.

Studi observasi dilakukan dengan metode wawancara dengan narasumber anak sekolah SD dan SMP, penanggung jawab kantin dan penjaga kantin. Hasil yang diharapkan dari observasi ini adalah memetakan komponen kantin yang meliputi makanan, pemasok, fisik bangunan, managemen kantin dan penyuluhan serta pemantauan dalam mewujudkan kantin sehat bagi anak sekolah.  Observasi dilakukan mulai bulan Oktober sampai dengan Desember tahun 2018.

Berikut ini temuan penting studi observasi tersebut :

  1. Makanan yang disediakan oleh Kantin di Surakarta pada umumnya berasal dari pengelolanya/ mengolah sendiri. Ini lebih banyak ditemukan pada sekolah SMP 83,33 % dan di SD 33,33%. Sisanya dipasok dari berbagai suplier baik ditingkat SD dan SMP.  Sistem transaksi kantin dengan suplier terbagi menjadi 2; yaitu beli tunai (membeli langsung) atau supplier nitip jual di kantin sekolah. dalam sistem beli tunai, pihak kantin menanggung kelebihan panganan jajanan jika tidak habis terjual, sedang sistem jual nitip, kelebihan panganan jajajan yang tidak habis terjual menjadi tanggungjawab suplier.

    Bagi pengelola kantin, mengolah makanan sendiri membutuhkan pengetahuan tentang makanan sehat dan selera anak sekolah terhadap makanan. Mereka juga telah mendapatkan dukungan peningkatan kapasitas dari berbagai pihak dalam mengelola dan mengolah makanan. Hasil observasi di tingkat SD 100% sudah pernah mendapatkan peningkatan kapasitas, dan  tingkat SMP 83,33%. Para pihak ini terdiri dari Dinas Kesehatan termasuk Puskesmas, BPOM, sekolah (yayasan dan pondok pesantren) serta pihak luar yang peduli.

  2. Observasi di Depok ditemukan bahwa makanan yang dijual di kantin dihasilkan dengan mengolah sendiri lebih banyak ditemui di tingkat SD (olah sendiri 16,67%, olah sendiri dan mendapatkan dari suplier 66,67%) dibandingkan SMP ( Olah sendiri 33,33%, olah sendiri dan suplier 16,67%). Pasokan dari suplier di tingkat SD dan SMP juga tinggi. Peningkatan kapasitas baik lewat penyuluhan tentang makanan sehat juga didapatkan bagi pengelola kantin SD 33.33% dan di tingkat SMP 50%.
  3. Untuk sekolah yang tidak ada pemasok makanan dari luar ditemukan di SD di Depok dimana 50% sekolah makanan diolah oleh sekolah sendiri. Sekolah yang lain menerima pemasok baik dari industri rumahan atau pabrik (industri besar). Bagi sekolah yang menerima pemasok sudah seharusnya ada pengawasan dan kontrol terhadap pemasok dalam penyediaan kualitas makannnya. Sedangkan sekolah yang sudah melakukan kontrol dan pengawasan seperti di Kota Surakarta untuk  SD  dan SMP 33,33%, sedangkan di tingkat Depok untuk SD 16,67% dan tingkat SMP 33,33% yang artinya tingkat kontrol pada pemasok masih rendah. Karena itu penting dikembangkan mekanisme kontrol pada pemasok sehingga akan menjamin PJAS (panganan jajajan anak sekolah) di tingkat sekolah aman dan sehat, kualitas makanan yang dikonsumsi oleh anak-anak.
  4. Hasil interview pada anak sekolah ditemukan kasus gejala keracunan; di Kota Surakarta (SD 16,67% dan SMP 16,67%) sedangkan Depok (22,22% untuk SD dan SMP 0). Kasus lain yang diutarakan siswa adalah menemukan makanan kadaluwarsa di kantin meski jumlahnya tidak signifikan. Di Kota Surakarta anak SD mengaku menemukan makanan kadaluarsa sebesar 5,56%, sedang siswa SMP sebanyak 16,67%. Angka lebih kecil dilaporkan dari kota Depok, siswa SD mengaku menemukan  makanan kadaluarsa sebanyak 0 % dan SMP 5,56%. Adapun respon anak ketika mendapati kasus hanya diam dan tidak melaporkan ke sekolah.

    Padahal, pengakuan pihak sekolah telah mengembangkan akses poin pengaduan dan saran.  Di kota Surakarta pihak sekolah setingkat SD telah memiiliki media untuk saran dan komplain secara khusus sebesar 33,33%. Berbeda dengan sekolah setingkat SMP, dari hasil observasi dan wawancara sekolah obyek penelitian, mengaku  belum memiliki akses pengaduan secara khusus (0%).  Sedangkan di Depok setengah dari sekolah SD obyek observasi  (50%) telah mengembangkan media untuk pengadaun maupun saran, dan di tingkat SMP sebesar 33,33%. Media yang disediakan dan dikembangkan selain masih minim juga tidak tertulis dan tidak tersosialisasikan dengan baik.

  5. Untuk sekolah yang memiliki pelayanan katering dalam observasi ini lebih banyak ditemukan di Kota Surakarta tingkat SD 50% dan SMP 33,33% ,sedangkan di Depok untuk SD 16,67% dan SMP 33,33% yang dikelola oleh sekolah/yayasan sudah memiliki prosedur dalam pemilihan menu dan sudah memiliki. Semua sekolah yang memiliki katering dikelola oleh sekolah,dan hanya 1 kantin yang dikelola oleh orang tua wali murid dengan menu mengikuti keinginan anak. Prosedur yang sudah dikembangkan dan dijalankan tidak tertulis, sehingga penting untuk mengembangkan menjadi tertulis sehingga akan berkelanjutan meskipun ada perubahan penanggung jawab kantin.
  6. Observasi terhadap Fisik bangunan kantin yang mengacu pada kebijakan pengelolaan kantin yang meliputi lantai berubin, dinding rata, langit tidak bocor, ventilasi 20% dari luas lantai, jarak dari WC dan tempat pembuangan sampah sementara lebih dari 20 meter rata rata sudah terpenuhi diatas 83,33% di semua SD dan SMP di 2 kota ini. Prasyarat ini tentunya perlu di komunikasikan ke sekolah untuk perbaikan bertahap bagi sekolah yang belum memenuh

Untuk mendapatkan hasil penelitian secara lengkap; dapat menghubungi YLKI

Bidang Penelitian YLKI


Source: YLKI

Tags: