Soal Transportasi, Kusut dari Hulu ke Hilir

Mengatasi kebobrokan angkutan umum hampir seperti menguraikan benang kusut karena pelanggaran aturan dilakukan bersama-sama dan bersifat laten. Satu-satunya jalan keluar adalah menghentikan praktik ”main mata” oknum instansi berwenang dengan pengelola angkutan dan dealer mobil untuk angkutan.

Demikian pendapat yang disarikan dari Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Azas Tigor Nainggolan, Kepala Laboratorium Transportasi Universitas Indonesia Ellen SW Tangkudung, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo, pemerhati transportasi Rudy Thehamihardja, dan dosen Kajian Perkotaan Pascasarjana Universitas Indonesia, Hendricus Andy S.

”Yang terjadi di lapangan sudah terlalu parah. Namun, sekarang adalah momentum untuk menjadikan apa yang telah maupun sedang terjadi sebagai cermin untuk melangkah maju menuju perbaikan menyeluruh,” kata Azas, Selasa (20/9).

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Phnom Penh, Kamboja, kemarin, mengatakan, kualitas Jakarta sebagai ibu kota negara semakin ditinggalkan oleh kota-kota lain di Asia Tenggara. Kota seperti Singapura, Bangkok (Thailand), bahkan Phnom Penh sudah dapat dijadikan rujukan atau bahan pelajaran untuk menata dan mengembangkan Jakarta.

”Tidak perlu belajar dari San Francisco (Amerika Serikat) atau Eropa Barat,” kata Kalla.

Saat ini, lanjut Kalla, sistem transportasi publik di Jakarta telah tertinggal dari Bangkok dan Kuala Lumpur, Malaysia. Sekitar lima tahun lagi, Jakarta mungkin juga akan disalip oleh Phnom Penh.

Kacau di hulu

Kondisi angkutan umum di Jakarta memang sangat kacau. Sebut saja Poltak, pemilik metromini, dengan gamblang mengisahkan mudahnya mengoperasikan mobil angkutan umum baru di trayek yang telah dipenuhi armada angkutan.

”Kalau punya modal Rp 120 juta, tinggal dekati saja organisasi angkutan yang ada. Nanti organisasi itu yang mengatur pembelian ke dealer tertentu. Paling cepat satu minggu, kita sudah punya mikrolet baru dan sudah bisa beroperasi,” kata Poltak.

Didi, pemilik mikrolet dengan trayek antara Pasar Minggu, Cilandak, dan Lebak Bulus, mengatakan, bisnis ini tetap dianggap menguntungkan oleh banyak pihak.

Menurut Didi yang tinggal di kawasan Pasar Jumat, dia terdaftar sebagai anggota salah satu organisasi angkutan umum. Berbekal surat rekomendasi organisasinya, dealer bisa membantu dia mendapatkan izin trayek atas armada barunya. ”Ya kalau harga mobil baru Rp 90 juta-Rp 100 juta, hitung sendiri biaya untuk izin-izinnya itu,” ujarnya.

Azas meyakini jumlah angkutan umum yang ada di Jakarta melebihi kebutuhan riilnya. Sesuai data Dinas Perhubungan DKI Jakarta, bus antarkota antarprovinsi 3.164 unit, bus antar- jemput 96 unit, bus kota 22.018 unit (bus besar 2.881 unit, bus sedang 4.944 unit, dan bus kecil 14.193 unit), angkutan kota (mikrolet 6.763 unit, KWK 6.243 unit, dan APB 1.186 unit), taksi 24.324 unit, angkutan lingkungan 14.424 unit (termasuk 2.232 unit bajaj BBG dan 160 unit kancil), serta bus transjakarta 524 unit.

Dinas perhubungan lemah

Aip Syarifuddin, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan DPP Organda, mengatakan, pengawasan dinas perhubungan sangat lemah terhadap angkutan umum. Ada beberapa pengusaha menambahkan mobil secara diam-diam di trayek yang mereka miliki. Akibatnya, angkutan umum terlalu banyak di jalan dan mereka berebut penumpang.

Kenakalan ini karena tarif dikendalikan pemerintah. Tarif ditetapkan, tetapi harga suku cadang, bahan bakar, dan biaya hidup berdasarkan harga pasar. Akibatnya, agar bisa bertahan, banyak pengusaha yang mengambil jalan keluar sendiri.

Praktik seperti ini diakui oleh Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono. Menurut Pristono, sudah lama DKI tidak mengeluarkan izin trayek, yang ada izin peremajaan.

”Jadi, operator hanya boleh mengganti mobilnya jika sudah rusak. Dia tidak boleh menambah mobil lain yang tidak terdaftar di trayek yang sama,” ujarnya.

Untuk mengurus izin peremajaan, pemilik kendaraan bisa mengurus izinnya sendiri, tanpa melalui dealer tertentu. ”Mereka boleh beli di mana saja, lalu mengurus izinnya,” katanya.

Ke depan, ujar Pristono, pihaknya akan mengubah sistem kepemilikan kendaraan umum dari sistem individu menjadi kolektif untuk mempermudah penyediaan, sumber daya, pengawasan, dan perawatan sarana, serta perbaikan manajemen.

Di Depok, pemilik angkot menolak aturan tentang pembatasan usia ekonomis angkot. Hal ini dikatakan Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Perhubungan Depok Anton TM, Selasa. Akibatnya, aturan pembatasan yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan di Kota Depok tidak bisa dilaksanakan.

M Hasim, Wakil Sekretaris Organda Depok, mengakui pembatasan usia kendaraan sulit dilakukan. Hal ini terkait dengan kondisi perekonomian pengusaha angkutan yang tidak semuanya mapan sehingga mereka tak bisa meremajakan kendaraan. Banyak pengusaha yang mengandalkan kendaraan berusia lebih dari 10 tahun untuk menafkahi keluarga mereka.

Sepanjang Januari hingga pekan ketiga September ini, Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Royke Lumowa mengatakan, pihaknya sudah menilang 167.419 pengemudi angkot yang melanggar peraturan, rambu lalu lintas, dan marka jalan. Hampir separuh dari jumlah pelanggar itu, sebanyak 80.241 orang, ternyata tidak berhak mengemudikan angkot karena tak memiliki SIM A Umum.

Sumber : Kompas