Sorotan YLKI: Cukai Plastik Harus Utamakan Pengendalian, Bukan Pendapatan

Kementerian Keuangan berencana mengenakan cukai plastik, yang akan ditimpakan pada pelaku usaha, sebesar Rp. 200,- per lembar atau Rp. 30.000,- per kilogram. Tentu saja rencana ini menimbulkan pro kontra. Kalangan pelaku usaha, bahkan Kementerian Perindustrian, menolaknya.

Namun, jika merujuk pada dampak eksternalitas negatif yang ditimbulkan, baik bagi penggunanya, orang lain dan lingkungan, maka plastik pantas dikenai cukai. Diperkirakan, menurut data Bank Dunia (2018) sekitar 300 juta ton plastik diproduksi setiap tahunnya dan saat ini sekitar 150 juta ton plastik mencemari lautan dunia. Dan tragisnya, Indonesia menjadi negara pencemar kedua terbesar di dunia setelah China. Diperkirakan Indonesia menyumbang 0,48-1,29 juta ton metrik sampah plastik per tahun ke lautan. Oleh karenanya, jika tidak ditanggulangi secara secara menyeluruh, sampah plastik akan mengancam keberlanjutan ekosistem laut yang semakin parah, dan merugikan kita semua.

Namun demikian, cukai bukanlah satu satunya cara untuk menekan dan mengendalikan penggunaan dan konsumsi plastik. Tanpa disinergikan dengan kebijakan lain, alih alih konsumsi plastik tetap dominan, sekalipun telah dikenai cukai yang tinggi pula.

  1. YLKI bisa memahami jika Kemenkeu akan menerapkan cukai pada plastik, tetapi dengan beberapa catatan, yakni Kemenkeu harus menjamin bahwa tujuan utama penerapan cukai plastik bukanlah instrumen untuk menggali pendapatan negara. Jangan jadikan cukai plastik untuk menambal ketidakmampuan/kegagalan pemerintah dalam menggali pendapatan di sektor pajak. Tetapi cukai plastik adalah untuk instrumen pengendalian produksi dan konsumsi plastik, itu tujuan utama. Sedangkan pendapatan cukai hanyalah efek samping, sebagai bentuk “pajak dosa” (disinsentif) pada produsen dan bahkan konsumen.
  2. Penerapan cukai plastik hanyalah masa transisi, ke depan produsen plastik harus mampu (wajib) membuat produk plastik yang benar benar bisa diurai secara cepat oleh lingkungan, apa pun produk plastiknya. Setelah itu tercapai, cukai plastik harus dihentikan;
  3. Dana yang diperoleh dari cukai plastik, sebagian (10 persen) harus dikembalikan untuk upaya promotif dan preventif, misalnya secara edukasi dan pemberdayaan agar masyarakat mempunyai kesadaran untuk mengurangi konsumsi plastik. Konsumen punya tanggung jawab moral untuk mengedepankan pola konsumsi yang berkelanjutan, salah satunya mengurangi konsumsi plastik dan atau menggunakan plastik yang benar benar gampang diurai oleh air, tanah, dan lingkungan secara umum.

YLKI mendorong pemerintah, lintas kementerian dan lembaga, untuk secara serius menanggulangi masalah plastik, dari hulu hingga hilir. Dari hulu seharusnya pemerintah mewajibkan adanya produk plastik yang mengantongi SNI. Dan dari sisi hilir pemerintah harus mengintegrasikan kebijakan pengendalian konsumsi plastik oleh konsumen, termasuk masalah plastik berbayar yang saat ini belum jelas arah dan regulasinya. Pemerintah juga harus memfasilitasi pengolahan sampah plastik untuk didaur ulang menjadi produk lain yang lebih bermanfaat.

YLKI juga mendesak untuk kalangan pelaku usaha/produsen untuk bertanggung jawab pada sampah plastik dari produk yang dijualnya untuk ditarik dan dikelola kembali dan meminimalisir cemaran yang dihasilkan, sebagaimana prinsip Extended Producer Responsibility (EPR) yang dimandatkan oleh UU tentang Lingkungan Hidup dan UU tentang Persampahan. Hal ini belum terlihat sama sekali.

Terakhir, YLKI meminta Kementerian Perindustrian untuk tidak secara telanjang menjadi corong pelaku usaha, dengan menolak wacana cukai plastik, tanpa argumen yang rasional. Jelas peran sektor industri tidak bisa dinegasikan, apalagi dimatikan. Tetapi sektor industri harus kreatif untuk memproduksi plastik yang tidak merusak lingkungan, dan bahkan mempunyai tanggungjawab menyelamatkan lingkungan. Jangan malah makin destruktif terhadap lingkungan.

Demikian catatan terkait wacana penerapan cukai plastik.

Wassalam,

TULUS ABADI
KETUA PENGURUS HARIAN YLKI


Source: YLKI

Tags: