Tiket Mahal, Itu Pemerasan

No comment 701 views
ilustrasi

ilustrasi

Harga tiket angkutan umum selama arus mudik dan arus balik Lebaran dituding sebagai bentuk pemerasan massal yang dilegalkan pemerintah. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia melihat ada indikasi mengeruk keuntungan tanpa ada peningkatan pelayanan.

”Harga tiket, khususnya tiket kereta api kelas eksekutif, melambung hampir tiga kali lipat, tapi tidak disertai penyediaan fasilitas memadai. Di kelas bisnis dan ekonomi, lonjakan jumlah penumpang tidak dapat dilayani dengan baik. Penumpang asal dijejalkan dalam gerbong tanpa mempertimbangkan aspek keselamatan dan kenyamanan,” kata Tulus Abadi, pengurus harian YLKI, Senin (28/9).

Imam Sobari (32), pegawai pada salah satu bank swasta di Jakarta, mengatakan, untuk pulang ke kampung halamannya di Purwokerto, ia terpaksa membeli tiket KA Taksaka jurusan Yogyakarta seharga Rp 350.000. Bahkan, untuk kembali dari Purwokerto menuju Jakarta, Imam membeli tiket dari calo.

Sementara itu, Winarni, pemudik asal Solo, membeli tiket KA Argolawu Lebaran I seharga Rp 435.000 di loket resmi. Padahal, di luar musim mudik, harga resmi Rp 180.000 per orang.

Pelayanan PT Kereta Api (Persero), lanjut Tulus, pantas dianggap buruk. Untuk bisa mendapatkan tempat duduk di kelas eksekutif, terutama pada keberangkatan H-3 hingga H-5, calon penumpang harus antre berjam- jam, bahkan menginap di stasiun demi merebut antrean pertama di loket pembelian tiket.

Ketika akhirnya bisa berada di atas kereta, beberapa penumpang mendapatkan tempat duduk yang rusak sandarannya, kaca jendela retak, meja kecil dan meja makan yang kotor. Fasilitas kamar kecil tak kalah jorok. Kerak melekat di WC dan tidak ada petugas yang rutin mengganti ketika tisu habis terpakai.

”Kamar kecilnya memang tak pernah bersih. Setiap kali mau pakai, saya terpaksa harus menyemprot sendiri seluruh dinding kamar kecil biar baunya sedikit berkurang. Tisu juga harus selalu sedia sendiri,” kata Winarni (38), yang ditemui dalam KA Argolawu Lebaran I dari Solo ke Jakarta, Sabtu pekan lalu.

Winarni dan lebih dari 400 penumpang lain juga ditelantarkan di Stasiun Solo Balapan. Waktu keberangkatan, yang seharusnya pukul 21.45, molor hingga pukul 23.00. Kereta baru sampai di Stasiun Gambir pukul 11.00, Minggu (27/9), atau terlambat lebih dari empat jam.

Selama lebih kurang 12 jam perjalanan tidak ada penjelasan mengenai keterlambatan jadwal.

”Biasanya ada minuman dan makanan kecil gratisan, bahkan terkadang penumpang KA eksekutif ini diberi makan cuma- cuma. Sekarang, air kemasan pun tidak dikasih. Hanya diberi mi, tetapi tidak diberi air panas. Bagaimana cara kita makannya?” kata Andri, penumpang di gerbong lima kereta Argolawu.

Seorang petugas KA bagian restorasi (pelayanan makanan), Wawan, mengatakan, makanan dan minuman gratis memang diberikan kepada penumpang hanya saat PT KA menggelar promosi. Masa promosi tergantung kebijakan PT KA. Di musim banyak penumpang, seperti Lebaran, biasanya memang tidak ada promosi.

Di sisi lain, Direktur Komersial PT KA Sulistyo Wimbo Hardjito, akhir Agustus lalu, menyatakan, menghadapi arus mudik 2009, pihaknya meningkatkan pelayanan dengan menambah jumlah kereta dalam setiap rangkaian KA, dari tujuh kereta menjadi rata- rata sembilan kereta. Ada juga 15 rangkaian kereta tambahan khusus angkutan Lebaran untuk menampung lonjakan pemudik yang mencapai 3 juta orang atau naik 5 persen dari tahun sebelumnya.

Tidak standar

Tulus Abadi mengatakan, upaya peningkatan pelayanan yang diungkapkan direksi PT KA tidak signifikan. ”PT KA itu milik pemerintah, tetapi saat menetapkan tarif menjadi pemain tunggal yang berujung pada monopoli. Sudah seharusnya Departemen Perhubungan menetapkan pagu tarif yang rasional, jangan asal ikut mekanisme pasar,” kata Tulus.

Terkait dengan pelayanan KA, terutama di kelas bisnis dan ekonomi, Tulus menegaskan, PT KA wajib menempatkan aspek keselamatan dan kenyamanan di atas segalanya. Kalau memang kekurangan armada, sebisa mungkin ada penambahan sesuai permintaan. Kalau tidak mungkin memenuhi permintaan, wajib dipatuhi aturan batas kelebihan penumpang yang hanya 20 hingga 30 persen kapasitas setiap rangkaian KA.

Sumber : Kompas