Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad belum lama ini telah melepaskan ‘tembakan peringatan’ (salvo) bagi para koruptor kakap di Jatim dengan mengatakan: “Koruptor Kakap Ada di Jatim”. Tak seperti aparat penegak hukum pada umumnya, tak mau mengumbar informasi penyelidikan dan penyidikannya, tapi Abraham Samad telah berani tampil beda.
Aparat penegak hukum selama ini merahasiakan proses penyidikannya. Apalagi ketika masih dalam proses penyelidikan. Alasan klasiknya adalah kuatir para koruptor yang dibidik akan menghilangkan barang buktinya atau melarikan diri. Alasan itu sekarang dilindungi oleh Undang-Undang No. 14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik sebagai Informasi Publik yang dikecualikan.
Namun, pengalaman selama ini menunjukkan sebaliknya. Justru proses pengusutan, penyelidikan dan penyidikan suatu perkara Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) oleh aparat penegak hukum yang tak terekpose ke publik kebanyakan hasilnya mengecewakan masyarakat. Sedangkan perkara yang terekspose ke publik umumnya memuaskan masyarakat karena publik ikut mengawal proses penyelidikan dan penyidikannya sampai dengan putusan inkracht.
Abraham Samad rupanya menggunakan teori anti-tesis proses hukum yang selama ini menjadi pakem para ahli dan aparat penegak hukum pada umumnya. Ekspose dulu ke pulik agar publik ‘melek’ dan membantu KPK untuk memperkuat penyelidikan dan penyidikannya lebih lanjut. Karena Abraham Samad meyakini bahwa publik muak terhadap praktik korupsi para pejabat publik di negeri kita. Bahkan meyakini, publik akan membantu dengan senang hati guna membongkar benteng pertahanan para koruptor kakap di Provinsi Jatim.
Koruptor Rugikan Publik.
Praktik korupsi mengakibatkan mutu pelayanan publik di pemerintahan jelek. Infrastruktur publik yang dibangun dengan anggaran maksimal, ternyata mutunya minimal. Begitu juga ketika pengadaan barang/jasa di pemerintahan dilakukan dengan mengeruk anggaran maksimal tapi volume dan mutu barang/jasanya minimalis. Pada gilirannya masyarakat pengguna akhir infrastruktur dan fasilitas publik dirugikan. Karena masyarakat harus menanggung kerugian publik akibat korupsi dengan cara membayar berbagai jenis pajak daerah mulai dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Penerangan Jalan (PPJ), Pajak Parkir dan lain-lain.
Maka, Abraham Samad melepaskan ‘tembakan peringatan’ terhadap para koruptor kakap di Provinsi Jatim. Abraham Samad rupanya tak peduli, apakah para koruptor kakap itu akan melarikan diri atau tiarap. Tapi ia rupanya berharap ada pihak yang bersedia bekerjasama dengan menafkahkan dirinya menjadi Pelapor Tindak Pidana Korupsi (Whistle Blower) atau menjadi Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi di Jatim, mengingat praktik korupsinya dikatakan sangat canggih dan rapi.
Provinsi Jatim selama ini ibarat permukaan meja yang tampak bersih padahal di mata KPK berdebu. Untuk menguji penampakan bersihnya itu, KPK menggebrak permukaan mejanya. Hanya dengan cara mengebrak meja seperti itu maka publik sadar bahwa ada kotoran debu berterbangan yang selama ini bercokol di permukaan meja. Mungkin dengan analog cara pemberantasan korupsi seperti itu KPK akan lebih mudah melakukan pembersihan para koruptor kakap di Jatim. Kita tinggal menunggu episode pemberantasan korupsinya di Jatim.
Antri dan Anti Korupsi.
Membongkar korupsi uang APBD di Provinsi/Kota/Kabupaten lebih sulit daripada mengungkap korupsi uang APBN. Karena praktik korupsi kakap di di daerah itu pada umumnya dibangun atas dasar budaya ‘kerja sama’ antara eksekutif, legislatif, yudikatif dan para pelaku usaha. Apalagi budaya ‘kerja sama’ itu dibangun dari awal untuk saling mendukung menghilangkan jejak korupsinya.
Kesulitan lain adalah, antara pimpinan daerah yang tergabung dalam forum Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) telah terjalin komunikasi aktif dengan menggunakan fasilitas uang APBD. Dana operasionalnya itu sebenarnya sarat dengan pemberian gratifikasi dan korupsi. Tapi selama ini lepas dari perhatian publik. Cukup melegakan publik Jatim bahwa Gubernur Jatim, Soekarwo telah membuka diri untuk membantu KPK. Soekarwo yang akrab dipanggil Pakde Karwo itu dengan tegas mengatakan akan bantu siapkan data. (Jawa Pos, 14/12/2013).
Dari budaya ‘kerjasama’ korupsi maka melahirkan ‘budaya antri’ korupsi bukan anti korupsi. Pakde Karwo dalam suatu kesempatan acara nonton bersama film ‘Anti Korupsi’ produksi Indonesian Corruption Watch (ICW) di Gedung Grahadi awal tahun 2012 pernah sambat bahwa untuk mengubah perilaku di birokrasi pemerintahan dari ‘budaya antri’ korupsi menjadi anti korupsi ternyata sangat sulit. Padahal cuma mengilangkan huruf “r”-nya saja dari ‘antri’ menjadi “anti”.
Ungkapan ini menunjukkan bahwa Pakde Karwo sangat menyadari betapa sulitnya memberantas ‘budaya antri’ korupsi di dalam birokrasi. Oleh karenanya, ‘tembakan peringatan’ KPK perlu disambut positif oleh Pakde Karwo untuk ‘membasmi’ orang-orang sudah pernah ‘antri’, sedang ‘antri’ atau yang masih berniat ‘antri’ korupsi di Provinsi Jawa Timur.
Mungkinkah Pakde Karwo menjadi Whistle Blower-nya agar slogan APBD untuk rakyat tidak hanya jadi jargon politik, tapi benar-benar terukur dan dapat dinikmati oleh rakyat Jatim??? Hal itu sangat mungkin, bahkan perlu dilakukan oleh Pakde Karwo. Jika tidak, maka ‘tembakan peringatan’ Abraham Samad akan selamanya menjadi stigma bagi Pemimpin Provinsi Jatim dan bagi para pemimpin daerah Kota/Kabupaten di Jatim. Pada gilirannya publik punya penilaian bahwa ‘tembakan peringatan’ Abraham Samad itu diibaratkan seperti ‘tembakan peringatan’ polisi yang mengenai sasaran di salah satu kaki penjahat yang ingin melarikan diri. Nah, tinggal pilih: antri atau anti korupsi!
Oleh: M. Said Sutomo
Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur