Perubahan iklim secara tidak langsung berdampak pada kondisi ketidaksetaraan gender yang umumnya merugikan perempuan dan anak. Di bidang lingkungan hidup, perubahan iklim yang dapat menyebabkan terjadinya krisis air bersih, pangan, dan ancaman kesehatan, berdampak lebih besar terhadap perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini karena perempuan menjadi pemeran utama dalam aktivitas rumah tangga serta kegiatan lain yang acapkali bersinggungan langsung dengan alam, yang mengakibatkan perempuan lebih rentan. Peran perempuan sebagai penyedia pangan, membuatnya akan bekerja lebih keras dan mencari segala solusi untuk menyediakan pangan di rumah.
Sedangkan peran perempuan dalam menyediakan energi untuk keperluan rumah tangga, acapkali tidak dibarengi dengan akses teknologi yang memadai sehingga menjadi beban bagi perempuan. Aktivitas perempuan dalam mendukung kelangsungan hidup keluarga bergantung pada ketersediaan sumber daya alam. Ini nampak dari tingginya konsumsi energi rumah tangga (BPS 2015) yang mencapai 29.97%, atau kedua setelah industri. Tiga tertinggi konsumsi energi adalah minyak tanah, LPG, dan listrik. Jumlah listrik yang dijual paling tinggi ada di sektor rumah tangga 88. 742 Gigawatt. Bandingkan dengan industri yang ada di sekitar 65.000 GW. Dan konsumsi energi rumah tangga, sebagian besar dilakukan oleh perempuan.
Di sisi lain, perempuan sejatinya sosok agen perubahan yang hebat bagi keluarga atau komunitasnya. Perempuan memiliki potensi dan pengalaman dalam mengelola sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Kondisi ini menempatkan perempuan sebagai pihak yang sejatinya memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu dalam pengelolaan energi dan antisipasi perubahan iklim. Perempuan mampu mengemban tugas sebagai leadership dalam komunitasnya, khususnya ketika mendapat informasi dan pengetahuan yang cukup memadai.
Pengakuan perempuan sebagai aktor penting dalam kontribusi pembangunan dan agen perubahan bahkan tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019. Arah kebijakan dan strategi pengarusutamaan gender dalam lima tahun ke depan seperti yang tertuang dalam RPJMN memuat tiga poin utama. Pada poin pertama menyebutkan, meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan di berbagai bidang pembangunan, tak terkecuali peran perempuan dalam energi terbarukan.
Peran penting perempuan dalam pembangunan, khusunya di bidang energi terbarukan, linier dengan arah kebijakan dan strategi RPJMN dalam poin Kedaulatan Energi, utamanya peningkatan akses masyarakat terhadap energi, peningkatan efisiensi dan bauran energi nasional. Dalam RPJMN beberapa poin rencananya sebagai berikut; pertama, meningkatnya layanan akses ketenagalistrikan. Rasio elektrifikasi di Indonesia saat ini terbilang rendah dibanding negara tetangga seperti Singapura atau Malaysia. Dalam RPJMN menargetkan peningkatan jangkauan layanan ketenaga listrikan mencapai 96,61%, rasio elektrifikasi desa berlistrik 100% melalui pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), pembangkit diesel (PLTD) dan gas bumi, termasuk instalasi listrik untuk nelayan dan masyarakat tidak mampu. Juga terlaksananya percepatan pembangunan tambahan pembangkit listrik baru sebesar 35,9 GW, peningkatan kapasitas terpasang pembangkit listrik EBT yaitu Panas Bumi, PLTA dan PLTMH sebesar 7,5 GW.
RPJMN juga menargetkan peningkatan konsumsi listrik per kapita menjadi 1.200 kWh, tercapainya tarif dasar listrik sesuai nilai keekonomiannya yang berkeadilan pada tahun 2017. Penurunan persentase susut jaringan tenaga listrik menjadi 8,18%, penurunan pangsa energi primer BBM untuk Pembangkit Tenaga Listrik menjadi 2,04 %. Pengkajian dan penerapan tarif dan subsidi listrik secara lebih optimal dan tepat sasaran untuk pemakaian listrik dibawah 60 kWh/bulan bagi golongan pelanggan 450 VA dan 900 VA. Dan Pelaksanaan pilot project pembangkit listrik tenaga arus laut dengan kapasitas 1 MW, berikut kajian, penyusunan roadmap, kelembagaan, dan sosialisasinya. Serta pelaksanaan pilot project reaktor daya PLTN dengan kapasitas sekitar 10 MW, beserta penyusunan roadmap, kelembagaan dan sosialisasinya.
Kedua; meningkatnya layanan akses minyak dan gas bumi untuk rumah tangga, nelayan, komersial dan transportasi. Poin ini meliputi peningkatan pemanfaatan gas bumi untuk rumah tangga 1,1 Juta SR (Sambungan Rumah), pembangunan SPBG 118 unit untuk transportasi. Meningkatnya jaringan pipa gas menjadi 18.322 km, tersedianya gas untuk 600.000 nelayan. Dan meningkatnya kapasitas infrastruktur gas bumi sebanyak 7 pengolahan regasifikasi terapung (floating storage regasification unit/FSRU) serta penambahan 1 unit kilang minyak bumi.
Peran Perempuan
Sebagai pemeran utama dalam kelangsungan hidup keluarga, perempuan memiliki peranan sangat penting dalam membantu mewujudkan sumber energi yang terbarukan. Namun permasalahan yang kerapkali muncul adalah kurangnya informasi, edukasi dan pendampingan untuk perempuan. Padahal sebagai konsumen dalam energi terbarukan, perempuan dapat berpartisipasi dalam perencanaan di tingkat desa. Bisa dimulai dengan memastikan partisipasi aktif perempuan dalam Musrenbangdes. Hal ini terkait hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan, hak memilih sesuai nilai tukar, hak atas informasi yang benar, hak didengar pendapatnya, hak mendapat pendidikan dan pembinaan, hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
Perempuan juga dapat berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan energi terbarukan yang ramah bagi perempuan, hal ini terkait dengan hak konsumen untuk memilih sesuai nilai tukar. Perempuan berpartisipasi aktif dalam pemantauan penggunaan dan pengelolaan energi terbarukan. Dan Perempuan mampu mendokumentasikan, mendiskusikan, serta menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran energi sesuai dengan pengaduan, sesuai dengan hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Kemampuan tersebut harus diikuti prasyarat yang memastikan peran perempuan dalam energi terbarukan; yaitu pertama; adanya pengarusutamaan gender di bidang energi, dalam kebijakan ESDM juga budaya masyarakat bahwa energi bukan hanya urusan laki-laki, tak hanya bersifat maskulin tetapi juga menjadi urusan yang feminin. Kedua; mencari teknologi-teknologi energi terbarukan yang ramah perempuan, bahkan dapat disediakan oleh perempuan dengan mudah.
Indry Oktaviani
Source: YLKI