Harpelnas dan Menyorot Performa Indihome

635 views

“Hari Pelanggan Nasional” (Harpelnas), itulah kredo setiap tanggal 4 September.  Harpelnas lahir pada 2003, pada era Presiden Megawati Soekarno Putri. Pada konteks perlindungan konsumen spirit Harpelnas sangat sejalan dengan substansi UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Kali ini saya akan menyorot Harpelnas dalam konteks telekomunikasi, khususnya masalah Indihome, produk dari PT Telkom, yang makin banyak digandrungi konsumen, di tengah maraknya penggunaan internet oleh masyarakat. Internet, sepertinya menjadi komoditas yang lebih penting bagi masyarakat Indonesia, dibanding semmbilan kebutuhan pokok sekalipun.

Merujuk pada hasil survei AC Nielsen beberapa tahun silam, bahwa masyarakat Indonesia lebih memilih mengurangi kualitas belanja dapurnya daripada mengurangi belanja telekomunikasinya. Fenomena ini bisa kita maknai secara positif, dan juga negatif. Yang pasti fenomena ini menjadi santapan empuk operator telekomunikasi, tak terkecuali PT Telkom, dengan Indihome-nya.

Kini tak kurang dari 132 jutaan pengguna internet aktif di Indonesia, dengan penetrasi pasar sekitar 51 persen. Dari 132 jutaan itu, lebih dari 92 jutaan berbasis internet nirkabel (mobile internet), dan sisanya berbasis kabel fiber optik (broadband). Dan ceruk pasar inilah yang menjadi bidikan Indihome, selaku produk unggulan Telkom, yang kini pelanggannya mencapai 4,5 jutaan. Telkom menargetkan 5,2 juta pelanggan pada 2020.

Relevan dengan momen “Hari Pelanggan Nasional” (Harpelnas) tersebut, kita patut menyorot performa Indihome,  sebagai produk Telkom (BUMN) yang sangat strategis menjadi “Jembatan Nusantara” untuk sektor telekomunikasi, manakala operator telekomunikasi lain hanya berkecimpung di perkotaan. Lalu apa saja tantangan-tantangannya?

Aspek infrastruktur

Keandalan infrastruktur telekomunikasi menjadi prasyarat utama untuk meningkatkan keseluruhan performa pelayanan pada konsumen. Tanpa infrastruktur yang handal, mustahil akan memberikan pelayanan terbaiknya pada pelanggannya. Dalam hal ini PT Telkom terlihat sangat progresif, terbukti guna mewujudkan kualitas koneksi dan kecepatan internetnya, secara dominan telah berbasis fiber optik.

Dalam skala nasional reratanya mencapai 75-85 persen jaringan kabelnya telah ditopang dengan fiber optik. Dan ditargetkan sebelum 2020 akan tercover 100 persen menggunakan fiber optik. Sisanya, untuk menuju 2020 itu masih mengunakan kabel tembaga (copper).

Tentu saja, kualitas kabel tembaga sangat jauh dibanding fiber optik. Tidak heran jika pengguna telepon apalagi internet akan banyak mengeluh jika akses kabel distribusinya masih menggunakan tembaga.

Sebelum memasang Indihome, sebaiknya konsumen mencari tahu/diberi tahu apakah jaringan kabel di rumahnya sudah menggunakan fiber optik atau masih berbasis kabel tembaga. Sebab faktanya jika masih berbasis tembaga maka gangguan demi gangguan tidak bisa dihindari.

Aspek geografis

Ini tantangan yang tak kalah beratnya, bahkan sangat berat. Namun fakta bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 13.000 ribu gugusan pulau, menjadi tantangan yang maha berat untuk mewujudkan infrastruktur telekomunikasi yang handal.

Sebagai contoh, guna mengoneksikan jaringan kabel antar Pulau, maka harus dibangun jaringan kabel laut, yang saat ini panjang jaringan kabel laut yang dibangun PT Telkom telah mencapai 100.000 km! Atau setara dengan 2,5 kali lingkar bumi! Tingkat kesulitan untuk menyambung jaringan kabel laut ini bukan saja saat membangun saja, tetapi setelah kabel terbangun pun tidak sepi dari kendala, bahkan ancaman.

Mulai ancaman alam, seperti gempa bumi, batu karang atau bahkan gunung api di bawah laut. Juga ancaman dari lalu lintas kapal, terutama saat kapal melempar jangkarnya (anchor) ke laut. Nah yang paling tragis adalah manakala jaringan kabel laut itu mengalami gangguan karena ulah oknum manusia (pencurian kabel).

Empat bulan lalu, sebagai contoh, jaringan kabel laut di Papua putus. Dan dampaknya kualitas komunikasi internet di Papua endut-endutan, karena hanya mengandalkan back up dari sistem satelit. Dan kita patut berbangga, beberapa minggu lalu PT Telkom telah meluncurkan kembali satelit Merah Putih dari Cape Canaveral, California, Amerika Serikat.

Satelit ini juga dalam rangka mewujudkan infrastruktur yang handal, dan terintegrasi. Selain juga untuk mengatasi/memback up betapa sulitnya sisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Oleh karenanya, hampir semua operator telekomunikasi malas membangun jaringan infrastrukturnya di daerah isolated area, seperti area tertluar, tertinggal dan terdepan Indonesia.

Daerah dan area tersebut dianggap tak bernilai ekonomi, di satu sisi, dan di sisi lain cost production-nya sangat tinggi. Tetapi uniknya, PT Telkom dan Telkomsel  mencoba membangun Indonesia dari pinggiran Indonesia. Sementara operator lain lebih asyik menambang uang di area perkotaan, di Pulau Jawa, dan kota-kota besar di Indonesia.

Aspek perilaku konsumen

Perilaku Indonesia tampak mengalami “anomali”. Misalnya, beberapa konsumen masih kekeuh ingin jaringan kabelnya tetap menggunakan tembaga, bukan fiber optik. Hanya karena kalau berbasis fiber optik jika aliran listrik mati, maka telepon di rumahnya mati.

Benar ini hal yang terjadi, manakala listrik mati, telepon/internet di rumah konsumen mati. Walau faktanya telepon rumah (fix phone) nyaris tak ada gunanya lagi.

Ada tapi tidak berfungsi. Sebab mayoritas konsumen sudah menggunakan telepon seluler, yang kini jumlahnya mencapai 372 juta unit. Atau 142 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dengan kata lain, setiap orang di Indonesia, memiliki lebih dari satu handphone.  Jadi telepon rumah faktanya hanya sebagai pajangan saja.

Aspek Kompetisi

Dan tantangan lain adalah aspek kompetisi, persaingan. Idealnya kompetisi akan berdampak positif pada konsumen. Karena dengan kompetisi konsumen akan mendapatkan suatu pilihan produk jasa telekomunikasi yang bervariasi, punya pilihan banyak, dan bisa mendapatkan tarif/harga telekomunikasi yang lebih efisien, murah. Namun hal itu dengan syarat, kompetisinya berjalan sehat dan transparan.

Plus badan regulatornya punya gigi. Ada dugaan kuat kompetisi di sektor telekomunikasi sudah sangat tidak sehat, sangat liar. Perang tarif antar operator tak bisa dihindarkan.

Masing-masing operator berlomba menawarkan tarif atau paket internet yang (seolah-olah) murah. Padahal yang ditawarkan adalah jebakan batman belaka. Ironisnya, BRTI (Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia) tampak cemen, tidak tegas dalam hal ini. Persaingan antar telekomunikasi yang saling kanibalistik dibiarkan begitu saja.

Kesimpulan, saran

Pada akhirnya, merujuk sebuah survei (2017), lebih dari 90 persen pelanggan Indihome tidak akan berpindah ke lain hati. Alias tidak akan berpindah ke operator telekomunikasi lain.

Fenomena ini jelas amat positif bagi eksistensi Indihome. Namun demikian, managemen Indihome tak boleh menepuk dada terlebih dahulu. Tugas pelaku usaha bukan hanya memuaskan konsumennya, dari sisi pelayanan. Benar, berbagai upaya after sales service terus ditingkatkan, seperti penyelesaian gangguan yang semula 19,5 jam; kini menjadi 10,6 jam.

Dan targetnya akan selesai dalam tiga jam. Tentu hal ini harus kita apresiasi. Namun, lebih dari itu, dalam konteks Harpelnas dan UU Perlindungan Konsumen, maka pekerjaan rumah PT Telkom adalah bagaimana managemen Indihome konsisten  untuk melakukan edukasi dan pemberdayaan konsumen, terutama menyangkut product knowledge. 

Ini sangat mendesak agar konsumen sebagai pengguna Indihome lebih memahami hak dan kewajibannya. Bahkan manakala pelanggan Indihome mengetahui product knowledge dan proses bisnisnya, mereka akan menjadi konsumen dan pelanggan loyalis dan nasionalis.

Tanpa ada pemahaman yang komprehensif perihal product knowledge dan atau proses bisnis, bukan mustahil keberadaan konsumen Indihome lambat laun akan tergerus digilas oleh liarnya persaingan di sektor telekomunikasi. ***

Tulisan ini pertama kali diterbitkan di kompasiana 03 September 2018, 21:00

TULUS ABADI
KETUA YLKI


Source: YLKI

Tags: