Kebingungan tentang perbedaan kartu BPJS dengan kartu sakti yang diluncurkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak hanya dialami masyarakat umum. Seorang Husna Zahir,.yang merupakan ketua harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), mengaku merasakan hal itu.
“Saya sendiri juga bingung apa beda kartu sakti dengan kartu BPJS itu?” kata Husna Zahir saat menjadi pembicara diskusi di press room DPD, kompleks Parlemen, Jakarta, (14/11).
Menurut Husna, kebingungan masyarakat terhadap sebuah kebijakan pemerintah merupakan ciri khas dari perilaku rezim yang memimpin Indonesia. Bahkan, dia menyindir perilaku mengeluarkan kebijakan yang membingungkan sudah menjadi identitas Indonesia
Mestinya, lanjut dia, sebuah kebijakan, seperti kartu sakti, didahului sosialisasi yang terencana dan terukur sesuai dengan tingkat kecerdasan rakyat Indonesia. “Tapi, karena pendekatan kartu sakti ini lebih bersifat proyek politik, pilihannya harus jalan dulu. Penyelesaian masalah bisa belakangan,” kata Husna.
Faktanya, hingga hari ini, pemerintah belum bisa menjelaskan landasan hukum dari kartu sakti itu. “Cantolan konstitusinya belum jelas. Jadinya dibalik-balik, jalan dulu baru dicarikan atau dibuatkan cantolan hukumnya,” ungkap dia.
Ketua Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional Sulastomo menyarankan agar program Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang diluncurkan Presiden Jokowi diintegrasikan dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Alasannya, orang miskin bisa tertolong atas dasar gotong royong.
Menolong orang sakit berdasar asas gotong royong merupakan filosofi dari nilai-nilai Pancasila. “Yang mampu bantu yang kurang mampu. Itu prinsipnya. Harus ada semangat berkorban. Jadi, bukan kasihan,” tegas mantan direktur PT (Persero) Askes itu.
Menyikapi masih banyaknya komplain dari pengguna kartu BPJS atau dari pihak rumah sakit, Sulastomo menilai hal itu lebih disebabkan karena kurangnya penguasaan atas aturan yang tersedia. Namun, ia meyakini lambat laun keluhan itu akan berkurang.
“Tapi, secara bertahap berbagai keluhan masyarakat dan rumah sakit soal BPJS mulai berkurang. Ini risiko mengurus orang banyak. Pasti tidak akan terpenuhi keinginannya masing-masing karena keterbatasan-keterbatasan sebagai manusia. Tapi perbaikan terus dilakukan,” pungkas Sulastomo.
sumber : jawapos