Di era reformasi ini semua akses terbuka, tak hanya akses komunikasi dan informasi. Tapi akses korupsi pun terbuka bagi siapa saja yang memiliki peluang dan kesempatan. Terutama bagi para pemegang jabatan publik.
Telah banyak orang yang mempromosikan profilenya di berbagai media massa dengan pekik anti korupsi. Tapi kemudian ternyata terbukti masuk dalam deretan orang-orang yang antri korupsi dan akhirnya masuk bui. Contohnya Engelina Sondakh yang telah menjalaninya dan Andi Mallaranggeng, mantan Menpora sedang menunggu panggilan berikutnya.
Apakah sistem tata kelola kenegaraan negeri Pancasila ini yang salah? Sehingga sekalipun ‘malaikat’ pemegang kekuasaan di negeri Pancasila ini akan segera berubah menjadi setan?? Apakah sebaliknya? Karena manusianya telah berubah jadi setan?? Sehingga sebaik apa pun sistem tatakelola negeri Pancasila ini yang dibangun tidak akan punya arti apa-apa.
Siapa sangka, bekas Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Rudi Rubiandini, seorang professor, guru besar, dosen teladan ITB ternyata menjadi bagian orang yang antri korupsi. Gaji Kepala SKK Migas Rp 220 juta sebulan, dan gaji sebagai Komisaris Bank Mandiri senilai Rp 75 juta, belum terhitung gaji guru besar dan lainnya. Tapi masih saja kurang sehingga masih mencari suapan.
Bahkam siapa kira, seorang yang bertitel KH yang hafal al-Quran di era Pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri tersandung praktik korupsi dan masuk bui. Kurang apa? Ia juga seorang guru besar dan menjadi menteri. Kecerdasan rasio atau otak telah terbukti lumpuh seketika ketika berhadapan dengan kekuatan kehendak atau hasrat struktur budaya yang sesat.
Karenanya, pandangan hidup bangsa, yaitu Pancasila yang oleh Presiden Soekarno disebut welltanschauung kini dalam kehidupan empirik telah berubah yang oleh David Hume (1711-1776) disebut sebagai voluntarisme. Pandangan yang melihat bahwa rasio dan kecerdasan harus tunduk pada kehendak. Rasio adalah budak hasrat. Etika voluntarisme mengajarkan, kehendak atau hasrat menciptakan nilai. Nilai tercipta dari kehendak atau hasrat. Perilaku hidup ini telah menjadi struktur sosial dan struktur budaya kita.
Tata nilai dan tata kelola kenegaraan Pancasila telah direduksi oleh kehendak dan hasrat para pemegang kekuasaan di kalangan eksekutif, legeslatif dan yudikatif. Implementasi kekuasaan hanya mengejawantah dari sistem nilai yang dibangun dari kehendak atau hasrat kekuasaan mereka. Bahkan kehendak atau hasrat itu kemudian dilegitimasi sebagai suara kehendak Tuhan.
Rasio dari kecerdasan kolektif sekalipun tidak mampu melawan kehendak atau hasrat individual yang telah terstruktur seperti itu. Moral baik dan buruk dalam struktur sosial dan struktur budaya Pancasila sekarang ini hanya dianggap sebagai ekpresi sentimen yang berkembang karena pada akhirnya siapa pun orangnya harus bekerja sama dan bersenyawa ke dalam struktur sosial dan struktur budaya itu ketika orang itu ingin memenuhi kebutuhan alamiahnya.
Sebagai negeri yang ber-welltanschauung Pancasila seharusnya lahir individu-individu berintegritas profetik. Dari individu-individu yang berintegritas profetik itu akan melahirkan struktur sosial dan struktur budaya profetik yang ber-Ketuhanan Yang Meha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, berpegang pada Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dalam upaya mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi rasio dan kecerdasan seperti itu tidak punya arti apa-apa karena kini terbenam dan bersenyawa dalam struktur sosial dan struktur budaya yang disebut anomie.
Emaile Durkheim, sosiolog Prancis (1858-1917), mendefinisikan anomie sebagai ciri untuk periode dalam kehidupan individu di mana norma-norma sosial mulai dirasakan mengendur dan hilangnya kemampuan? otoritas mengikatnya secara moral sehingga menghasilkan bangkitnya hasrat dan keinginan tanpa batas tapi begitu kecilnya realitas itu sanggup memberikan ruang memenuhi, sehingga mendorong meningkatnya jumlah orang mengalami frustrasi. Anomie ini telah mencirikan kondisi struktur sosial dan budaya masyarakat kita meski secara fundamental dapat dibedakan dengan kondisi alienasi, tapi keduanya hadir cukup permanen di dalam masyarakat modern kita ini yang sudah banyak terfragmentasi.
Anomie kolektif ini membuat mandul kekuatan kreatifitas rasio untuk membangun struktur budaya profetik agar hidup kita tak terasa dalam kondisi anomie. Struktur sosial dan struktur budaya profetik ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, demi Persatuan Indonesia, atas dasar Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang harus kita bangun selama ini terasa sia-sia.
Nilai universal Pancasila terfragmentasi pada batasan persepsi individual, bahkan keyakinan dan kepercayaan pada sila pertama terfragmentasi hanya di tempat-tempat tertentu dan dalam waktu sangat terbatas. Di luar batas-batas itu perilaku kehidupan individual maupun komunal berubah menjadi anomie.
Untuk menggambarkan kondisi masyarakat kita sekarang ini mungkin lebih mendekati dengan konsep anomie yang dikemukakan oleh Robert K Merton, (1910-2003) berbeda dengan Emile Durkheim yang lebih menelaah gejala anomie dalam hubungan antar individu dengan struktur sosial. Robert K Merton lebih melihat kaitan antara anomie dengan struktur sosial dan struktur budaya.
Anomie tumbuh karena rusaknya sistem nilai budaya, ini terutama terjadi ketika seorang individu dengan kapasitasnya yang ditentukan oleh struktur sosial tiba-tiba kehilangan kemampuan mengendalikan tindakannya dengan norma-norma dan tujuan budaya. Dengan kata lain, anomie terjadi bila struktur budaya tidak berjalan seiring dan didukung oleh struktur sosial yang berlaku.
Pada dasarnya struktur budaya yang hidup bersifat umum seperti nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan di sisi lain warga masyarakat cerminan pola prilakunya ditentukan oleh struktur sosialnya sehingga andaikata ia seorang pejabat negara maka seyogyanya memberi tauladan bagi warganya, bila di seorang penegak hukum maka ia adalah penjaga gerbang keadilan, dan kalau ia guru atau dosen maka ia adalah pengawal nilai-nilai moralitas.
Anomie itu telah terjadi, warga masyarakat mengakui bahwa hukum itu ada tapi hukum tidak memberikan rasa keadilan seperti yang didambakan. Warga masyarakat memahami bahwa proses hukum tidak bisa menjanjikan kepastian hukum. Hukum hanya ada dalam kitab undang-undang. Bahkan kitab suci hanya indah dalam lantunan. Sehingga para pencari keadilan dan kebenaran mencari penyelesaian dengan caranya sendiri-sendiri sesuai dengan kamus dan kepentingan, kehendak atau hasrat masing-masing.
Ketika benturan terjadi antara kehendak atau hasrat yang berseberangan menguat dan lepas dari kendali struktur sosial dan struktur budaya universal, maka muncul pertanyaan: dari mana kita harus memulai membangun struktur sosial dan struktur budaya profetik untuk melawan struktur sosial dan struktur anomie itu? Kita hanya mampu mengajak orang-perorang dengan meminjam pekik bait syair lagu almarhum Gombloh: Rawe-rawe rantas, malang-malang tuntas membangun individu-individu berintegritas profetik!
Oleh: M. Said Sutomo
Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK)
Jawa Timur