Setelah menanti lebih dari lima tahun, akhirnya pembangunan moda raya terpadu (MRT) Jakarta mencapai titik finis. Bukan hanya Presiden Joko Widodo dan Gubernur Jakarta Anies Baswedan yang bisa menepuk dada atas rampungnya pembangunan MRT itu. Warga Jakarta pun patut bangga karenanya. Saya pun, bersama tim YLKI, telah melakukan trial trip MRT untuk menjajal kenyamanan dan keandalannya pada pekan lalu.
MRT, juga LRT, akan menjadi penyempurna Jakarta sebagai kota modern, sejajar dengan kota besar lain di dunia, seperti New York, Tokyo, dan London. Salah satu ciri kota besar dunia adalah adanya angkutan massal cepat sebagai basis utama dalam bertransportasi.
Sejatinya Jakarta tidak miskin-miskin amat dengan angkutan massal. Toh, kita sudah lama mempunyai KRL alias Commuter Line yang secara operasional tak berbeda dengan MRT. Hanya, karena masih banyaknya lintasan sebidang, kinerja KRL menjadi kurang andal. Selain itu, Jakarta, sejak 2004, punya angkutan massal berbasis jalan raya, yakni bus rapid transit system, atau yang populer dengan Transjakarta, yang kini sudah memiliki 13 koridor, plus rute non-koridor, serta konon merupakan koridor terpanjang di dunia. Keren, kan?
MRT Jakarta, baik dari sisi teknis maupun sistem operasional, jelas mempunyai banyak kelebihan dibanding KRL atau Transjakarta. Namun apakah itu bisa menjamin keberlangsungan operasional MRT Jakarta? Ingat, membangun MRT jauh lebih gampang daripada menjaga keberlangsungannya. Tidak sedikit MRT di dunia yang akhirnya gulung tikar, baik karena merugi maupun gagal mengatasi kemacetan. Tentu kita semua tidak menginginkan hal itu terjadi pada MRT Jakarta, atau LRT, yang kini tiga koridornya “mengepung” Kota Jakarta.
Setidaknya ada tiga hal krusial agar MRT Jakarta tidak terseok-seok dan akhirnya menjadi besi tua. Pertama, manajemen MRT Jakarta jangan mengandalkan pendapatan dari tiket saja untuk menopang biaya operasional. Besaran tiket tidak akan pernah mampu menutup keseluruhan biaya operasional, juga biaya investasinya.
Gubernur Anies mengusulkan tiket MRT sebesar Rp 10 ribu dan LRT Rp 6.000. Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI belum bersepakat ihwal ini. Mungkin karena harga tiket berimplikasi terhadap subsidi yang harus ditanggung Pemerintah Provinsi DKI. Jika tarifnya Rp 10 ribu, subsidinya lebih dari 60 persen, yakni Rp 21.659 per penumpang. Dengan asumsi 60 ribu penumpang per hari, total subsidi untuk MRT per tahun sebesar Rp 572 miliar. Bila tarif LRT Rp 6.000, subsidinya Rp 31.659 atau sekitar Rp 327 miliar per tahun.
Tarif usulan Gubernur Anies, dari sisi kemampuan membayar konsumen, sudah cukup adil, apalagi jika penumpang MRT berasal dari pengguna kendaraan pribadi roda empat. Itu pun, seperti kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, belum mampu menutup biaya investasi operator, yang mencapai lebih dari Rp 16 triliun. Belum lagi untuk menutup biaya operasional, pemeliharaan, dan lain-lain.
Jika dibandingkan dengan kota-kota besar dunia, tarif MRT usulan Gubernur Anies masih relatif lebih murah. Pada 2007, tarif MRT di Tokyo untuk yang termurah mencapai Rp 16.900 dan termahal Rp 33.800. Itu tarif 12 tahun yang lalu. Pada tahun yang sama, tarif MRT termurah di Kota London mencapai Rp 28.350 dan tarif pada jam sibuk mencapai Rp 130 ribu.
Mengingat faktor daya beli, jika tarif MRT Jakarta di atas Rp 10 ribu, sangat mungkin akan sepi penumpang. Ingat kasus LRT Palembang dan kereta ekspres Bandar Udara Soekarno-Hatta yang hingga kini masih mati suri. Jalan satu-satunya, manajemen MRT Jakarta harus mengeksplorasi pendapatan dari non-tiket, seperti sewa lahan, promosi, dan sisi komersial lain.
Kedua, konektivitas antarmoda dan penguatan fungsi transportasi pengumpan adalah hal yang tak kalah krusialnya. MRT dan LRT Jakarta tak mungkin eksis tanpa ditopang konektivitas transportasi, dan bahkan pengumpan yang andal. Itulah yang menyebabkan mati surinya LRT Palembang dan kereta bandara. Fenomena serupa akan terjadi bila MRT Jakarta tidak didukung konektivitas dan transportasi pengumpan yang andal.
Memang ini bukan tugas manajemen MRT Jakarta, melainkan pemerintah DKI dan bahkan pemerintah pusat, khususnya Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ). Rekayasa manajemen lalu lintas di sepanjang koridor MRT menjadi urgen. Hal ini bisa dilakukan minimal dengan, pertama-tama, menata ulang rute angkutan umum agar terintegrasi dengan stasiun MRT. Kemudian, pengendalian penggunaan kendaraan bermotor pribadi di sepanjang koridor MRT Jakarta. Pengendalian bisa berupa larangan total, sistem ganjil-genap, dan jalan berbayar.
Ironisnya, instrumen pengendalian lalu lintas ini nyaris belum disentuh oleh pemerintah Jakarta, kecuali untuk koridor Sudirman-Thamrin dengan ganjil-genapnya.
Yang tak boleh dilupakan adalah manajemen MRT melakukan diseminasi product knowledge tentang MRT kepada konsumen. Bagaimanapun, MRT adalah instrumen untuk transformasi budaya bertransportasi berbasis teknologi dan sistem baru. Sebagai contoh, saat Kota Bogota, Kolombia, akan meluncurkan sistem angkutan massal berbasis jalan raya dengan Transmillenio, mereka melakukan edukasi sampai ke level taman kanak-kanak. Harapannya, dengan edukasi itu anak-anak akan meneruskan kepada orang tuanya. Rekayasa sosial ini menjadi sangat penting, bukan saja untuk “sosialisasi” MRT, melainkan juga mencegah vandalisme pada infrastruktur dan fasilitas MRT.
Artikel ini pertama kali diunggah di TEMPO.CO; Selasa 26 Maret 2019
TULUS ABADI KETUA YLKI
Source: YLKI