Menyoal Keandalan Bandara

990 views

Optimalisasi kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bertumpu pada infrastruktur, secara empiris kini mulai teruji keandalannya. Salah satu produk infrastruktur dimaksud adalah bandar udara (bandara). Kini di pelosok-pelosok Indonesia bermunculan bandara baru, bukan hanya bandara perintis, juga bandara yang berskala nasional bahkan internasional. Bandara sebagai teras depan Indonesia pun tampak kian ciamik dan cantik, kapasitasnya pun kian diperluas, mampu menampung jutaan penumpang.

Hal ini relevan dengan target kunjungan turis yang mencapai 20 juta orang per tahun. Dari sisi pelayananpun, bandara Indonesia banyak mendapatkan pengakuan dan penghargaan internasional, khususnya bandara yang dikelola oleh PT Angkasa Pura I (AP I) dan PT Angkasa Pura II (AP II).

Kedua BUMN yang bergerak di sektor kebandarudaraan ini tampak kian agresif membangun bandaranya, dan efeknya, agresif pula dalam menerima penghargaan internasional, baik dari Skytrax maupun Airport Council International (ACI). Terbukti, baru-baru ini ACI mengumumkan 7 (tujuh) bandara di Indonesia telah meraih penghargaan untuk kategori airport service quality, yakni 6 (enam) bandara di kelola PT AP II dan 1 bandara dikelola PT AP I.

Keenam bandara PT AP II, yaitu Bandara Sultan Thaha (Jambi), Depati Amir (Pangkal Pinang), Sultan Mahmud Badaruddin II (Palembang), Sultan Syarif Kasim II di Pekanbaru, Silangit (Siborongborong), dan Raja Ali Haji Fiisabilillah di Tanjung Pinang.

Adapun satu bandara di PT AP I adalah Bandara Sepinggan di Balikpapan. Bandara Sepinggan bukan hanya mengantongi penghargaan dari ACI saja, tapi menerima empat kategori penghargaan dari lembaga lain. Bahkan Kongres ACI 2019 akan di selenggarakan di Denpasar dan penyelenggaranya adalah PT AP I.

Mantul, mantap betul! Namun, fenomena ini harus kita cermati, di tengah melesunya penerbangan nasional akibat kian mahalnya tiket pesawat dan kebijakan bagasi berbayar. Ini ibarat pukulan palu godam bagi semua sektor, terutama konsumen yang jadi malas terbang, malas bepergian dengan pesawat.

Banyak kon sumen yang bermigrasi ke moda transportasi lain. Untuk di Jawa, banyak migrasi ke angkutan kereta api, yang tampak makin andal juga dari sisi pelayanan. Atau migrasi ke bus umum dan kendaraan pribadi, seiring dengan rampungnya tol Trans Jawa.

Hal ini sudah terbukti, saat liburan Nataru kemarin, penumpang pesawat di Jawa justru turun sebesar 15%. Salah satu sektor yang terimbas langsung atas melesunya penumpang pesawat, siapa lagi kalau bukan sektor kebandarudaraan. Sebagai contoh penumpang pesawat di bandara AP II dalam tiga bulan terakhir, turun sebesar 3,3 juta orang! Fenomena serupa juga terjadi di bandara AP I. Padahal, salah satu pendapatan bandara adalah dari penumpang, baik dari sektor PSC (passenger service charge ) alias airport tax maupun pendapatan dari sektor non aero.

Melesunya penumpang sama dan sebangun dengan melesunya pendapatan bagi bandara. Tegasnya, hal ini akan berimbas pada kualitas servis dan keandalan bandara secara keseluruhan. Melesunya bandara adalah tengara kuat menurunnya keandalan bandara bagi konsumen dan stakeholder lain nya.

Itulah prediksi yang kasatmata dan berbasis rasionalitas. Fenomena ini mulai terasa manakala manajemen PT AP II menerapkan jurus barunya, yakni cost leadership. Cost leadership, itulah jurus baru (“CEO Note”) Muhammad Awaluddin, Direktur Utama PT Angkasa Pura II (PT AP II), kepada jajaran manajemennya.

Dari sisi terminologi, indah nian kalimat itu, tapi dari sisi operasional, cost leadership itu bisa memicu “vertigo” jajaran manajemennya. Bagaimana tidak vertigo jika cost leadership itu berbuntut pada pemangkasan berbagai program yang sudah direncanakan, bahkan sudah kadung berjalan. Sebab, terjemahan bebas cost leadership adalah pengetatan ikat pinggang (tight money policy). Jurus baru itu diterapkan bukan secara ujug-ujug, tetapi dengan asbabun nuzul yang jelas, yakni anjloknya jumlah penumpang pesawat. Anjloknya jumlah penumpang pesawat nyaris tanpa antisipasi oleh pengelola bandara.

Parahnya, menurut prediksi INACA (Indonesia Air Craft Association) fenomena ini akan berlangsung hingga dua tahun kedepan. Alamak. Terjun bebasnya penumpang pesawat merupakan antiklimaks, bukan saja bagi industri penerbangan nasional, juga bagi infrastruktur kebandarudaraan, khususnya yang dikelola oleh PT AP I dan PT AP II.

Bagi kedua BUMN ini, lesunya industri penerbangan nasional adalah jebakan batman. PT AP I dan PT AP II, kini tengah gencar merevitalisasi bandaranya agar lebih cantik, andal, dan mampu menampung kapasitas besar. Strategi ini bukan tidak salah, bahkan memang harus dilakukan, guna merespons agresifnya pertumbuhan penumpang pesawat hingga dua digit (10%).

Lihatlah Bandara PT AP II, yang sukses membangun terminal tiga Soekarno-Hatta nan megah dan kini tengah merampungkan pembangunan run way tiga. Plus tengah merancang pembangunan terminal keempat. Saat ini jumlah penumpang Bandara Soetta mencapai 65 juta orang (2018) dan ditargetkan 100 juta orang pada 2025.

Pada hal kedua BUMN ini untuk merevitalisasi bandara memerlukan dana investasi yang amat besar (baca: utang). Bagaimana mereka harus mengembalikan utangnya jika revenue makin limbung? Ironisnya, anjloknya penumpang di bandara bukan semata faktor turunnya penumpang pesawat. Namun, justru dipicu oleh kebijakan infrastruktur kebandarudaraan pemerintah. Sebagai contoh Bandara Sepinggan di Balikpapan, penumpangnya anjlok sampai 3.000 lebih karena sejumlah penerbangan dipindahkan ke Bandara Pranoto di Samarinda.

Setidaknya kini ada tujuh jadwal penerbangan dari beberapa maskapai udara yang dipindah ke Bandara Samarinda. Akibatnya, pelanggan Bandara Sepinggan yang semula mencapai 10.200-an orang per hari, kini tinggal 7.000 orang per hari (anjlok 22.5%). Saat ini Bandara Sepinggan terlihat lengang, para tenantpun mengeluh keras, karena omzetnya turun drastis.

Kondisi ini sangat memberatkan Bandara Sepinggan. Dengan fasilitas yang dimilikinya, kini justru Bandara Sepinggan malah berpotensi turun pelayanannya akibat revenue turun. Sementara Bandara Pranoto di Samarinda kondisinya masih jauh dari andal. Sungguh aneh regulator malah mengoperasikan bandara dan melanggar regulasi, khususnya UU tentang penerbangan. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memang memerlukan infrastruktur bandara yang andal, apalagi untuk remote area .

Saat ini secara ke seluruhan terdapat lebih dari 300 bandara di seluruh Indo nesia, baik bandara perintis maupun bandara komersial. Namun, kebijakan pemerintah seharusnya terintegrasi dan terarah, bukan saling kanibal. Keberadaan Bandara Pranoto di Samarinda jelas kanibalistik terhadap Bandara Sepinggan, Balikpapan.

Kecuali pemerintah bisa menciptakan rute dan jadwal penerbangan baru ke Bandara Pranoto. Bukan asal comot jadwal penerbangan yang sudah eksis terlebih dahulu. Kebijakan semacam itu hanya akan mengakibatkan pihak bandara dan maskapai dirugikan.

Namun, kita berharap fenomena tersebut tidak mengakibatkan financial bleeding bagi korporasi. Jajaran manajemen dituntut bekerja ekstrakeras, cerdas, dan kreatif untuk menggali pendapatan di sektor lain, sembari menunggu rebound sektor menerbangkan nasional.

Kita berharap menurunnya pendapatan bandara tidak mengakibatkan tergerusnya keandalan bandara dan level of service yang sudah eksis dengan baik. Oleh karenanya, fenomena ini harus di sokong oleh regulator dengan kebijakan yang lebih berpihak dan rasional, bukan kebijakan yang berbasis politis jangka pendek.

Kasus melesunya Bandara Sepinggan di Balikpapan akibat tergerus Bandara Pranoto, harus menjadi catatan keras untuk regulator, baik pemerintah (Kemenhub), Pemprov Kaltim, maupun Pemkot Samarinda. Janganlah mengedepankan kebijakan yang saling menginjak dan kanibalistik. Utamakanlah kebijakan yang visioner, komprehensif, dan jangka panjang; bukan sebaliknya.

Artikel ini pertama kali dimuat di KORANSINDO; edisi 23-03-2019

TULUS ABADI
KETUA YLKI


Source: YLKI

Tags: