Ada istilah menarik disampaikan Prof Susi Dwi Hardijanti sebelum membacakan pernyataan sikap para Profesor, Dekan dan Akademisi dari 67 Kampus soal Omnibus Law, Rabu (7/10/2020).
Menjawab pertanyaan moderator Haikal, apakah UU Omnibus Law ini konstitusional atau inkonstitusional? Menurut Prof Susi, itu menjadi ranah Mahkamah Konstitusi, ketika UU ini diuji secara formil mau pun materiil. “Karena UU ini, punya masalah. Baik dari aspek formil dan aspek substansi,” jelasnya.
Susi kemudian menjelaskan catatannya. Yang pertama, “Kalau kita bicara negara hukum yang demokratis, maka, kita akan mengenal apa yang disebut sebagai due process of law. Ini menyangkut dua hal, yaitu subtantif process of law dan prosedural process of law. Semua bidang. Termasuk bidang pembentukan undang-undang,” tegasnya sambil menekankan, bahwa, UU Cipta Kerja ini punya masalah yang sangat serius di dua hal tersebut.
Kedua, berkaitan dengan politik hukum dan politik perundangan-undangan. Dengan menggunakan methode omnibus, maka, kita tidak mengetahui lagi politik hukum apa yang sebetulnya, dan politik perundang-undangan apa yang sebetulnya sedang dibentuk oleh UU tersebut.
“Dengan menggunakan methode omnibus, tadi disebutkan ada 79 UU yang dilakukan perubahan. Bahkan, ada juga yang mungkin dilakukan dengan cara pencabutan. Kita tidak mengetahui. Padahal 79 UU tersebut memiliki politik hukum tersendiri,” urainya.
Nah, tegasnya, ketika itu ada yang dicabut atau ditambahkan melalui methode omnibus, bagaimana secara sistem kita melihat. Apakah pembentukan UU Cipta Kerja dengan menggunakan methode Omnibus ini akan memperkuat sistem perundang-udangan atau justru akan memperlemah sistem perundang-undangan kita.
“Janganlah kemudian kita menyamakan, sistem perundangan-undangan Indonesia dengan negara-negara maju. Saya sering kali memberikan contoh, bahwa, methode omnibus (memang) digunakan di mana-mana Tetapi, saya juga pernah membaca sebuah tulisan populer yang mengkritisi penggunaan methode omnibus, misalnya di Kanada,” lanjutnya.
Dikatakan, ujar Prof Susi, bahwa, methode omnibus itu sekan-akan menggunakan jubah yang dimiliki oleh Herry Potter . Kalau kita pernah melihat film Herry Potter, dia itu punya jubah. Jubah ajaib yang berwarna hitam. Mengapa omnibus diibaratkan sebagai jubah Herry Potter? Karena orang yang didalam jubah itu bisa melihat keluar, tetapi orang yang di luar tidak bisa melihat ke dalam.
“Oleh karena itu, persoalan di sini salah satunya adalah soal transparansi. Kita tidak pernah mengetahui motif apa? Padahal, motif pembentukan peraturan perundang-undangan itu merupakan salah satu asas,” tegasnya lagi.
Ketiga, terkait fungsi peraturan perundang-undangan. Secara terori peraturan perundang-undangan itu memiliki fungsi secara internal maupun eksternal. Fungsi internal itu adalah terhadap sub-sistem UU lainnya. Sedangkan eksternal adalah fungsi sosial.
“Pertanyaan kita kepada pembentuk UU Cipta Kerja, fungsi perundang-undangan manakah yang akan diemban oleh UU Cipta Kerja ini? Apakah lebih pada fungsi insentif, kemudahan? Karena perizinan itu diberikan dengan cepat misalkan, dengan tidak bertele-tele? Pertanyaan berikutnya, untuk siapa? Apakah buat rakyat, atau untuk siapa?,” tanyanya.
Sebagai penutup, Prof Susi mengutip pendapat Presiden Obama. Obama mengatakan: A good compromise, a good piece of legislation, is like a good sentence or a good piece of music. Everybody can recognize it. They say “Huh. It works. It makes sense”. (Sebuah kompromi yang baik, sebuah undang-undang yang baik, itu seperti sebuah kalimat yang baik atau juga sebuah musik yang baik. Semua orang akan mengakuinya. Akhirnya mereka akan mengatakan ini adalah UU yang kita inginkan.”
“Karena apa? Karena UU ini akan bekerja dengan baik dan UU ini dapat diterima oleh nalar-nalar yang baik dari semua orang yang akan terkena dampaknya,” jelasnya.
Sementara Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jatim, Drs Muhammad Said Sutomo juga menyoal substansi UU Cipta Kerja. Menurut Said, UU ini sangat tidak layak diterapkan di Republik Indonesia, sebuah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. “Itu cocoknya di negara komunis,” tegasnya.
Ia sepakat dengan para cendekia kampus yang, menyoal motif dibentuknya UU Omnibus Law. Kalau diibaratkan Omnibus itu sebagai jubah Harry Potter, maka, pembutan UU itu inginnya bersembunyi. Penguasa bisa leluasa melihat rakyat, tetapi, rakyat tidak bisa melihat penguasa. Pemerintah Ingin Jadi Harry Potter. “Ini berbahaya,” tegasnya.
Sumber : Duta