Oleh : Muhammad Said Sutomo
Saat ini ketersediaan obat maupun vaksin Covid-19 sedang ditungu-tunggu oleh publik, bukan hanya oleh publik nasional tapi juga oleh publik dunia. Sudah hampir tujuh bulan waktu berjalan pandemi Covid-19 ini (Maret – Septembr 2020) menghantui publik dunia tanpa diketahui kapan waktunya berakhir. Ia telah memakan banyak korban nyawa manusia, bahkan terus bertambah tanpa bisa dicegah karena obat dan vaksin Covid-19 belum tersedia di tengah-tengah masyarakat baik produk impor maupun produk dalam negeri.
Angin surga berita penemuan obat dan vaksin Covid-19 telah beredar di media sosial maupun komersial. Pada sekitar 12 Juni 2020 Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menyatakan bahwa para periset telah menemukan lima kombinasi obat yang dinilai efektif melawan virus Corona. Bahkan pernyataan itu diperkuat Ketua Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Universitas Airlangga (Unair), Dr. dr. Purwati, Sp.PD, K-PTI FINASIM., mengatakan bahwa kombinasi regimen obat itu mempunyai potensi dan efektivitas cukup bagus untuk menghambat virus masuk dalam sel target dan untuk menghambat atau menurunkan perkembangbiakan dari virus itu di sel. (detikhealth).
Namun Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito pada 18/8/2020 dalam konferensi pers virtual menyatakan bahwa hasil inspeksi BPOM menemukan bahwa proses uji klinis obat Covid-19 yang dikembangkan oleh Unair bersama TNI AD dan Badan Intelejen Negara (BIN) belum valid. Menurutnya ada banyak hal yang masih harus diperbaiki agar obat tersebut dinyatakan valid dan mendapat izin edar. Nah disilah fungsi BPOM sangat penting dalam melakukan pengawasan produk obat dan makanan pada tahapan pra-pasar. Sedangkan pengawasan produk obat dan makanan di pasar bisa diserahkan kepada masyarakat konsumen bersama Kementerian Perdagangan dan Dinas teknis tekait.
Uji Klinis Pra-Pasar.
Semua produk barang dan/atau jasa, apalagi produk obat dan makanan yang siap dikonsumsi oleh konsumen harus dipastikan bahwa saat pra-pasar sebelum mendapatkan izin edar produk obat dan makanan tersebut mempunyai nilai manfaat bukan membawa malapetakan bagi konsumen yang mengkonsumsinya. Karenanya di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak hanya mengatur kewajiban barang dan/atau jasa yang dipasarkan wajib mengandung asas manfaat tapi juga berasaskan keadilan, keseimbangan, kemanan dan keselamatan konsumen, serta berkepastian hukum.
Atas dasar kehati-hatian itu dalam pasal 8 ayat (1) huruf a UUPK mengatur larangan bagi pelaku usaha, baik itu perusahaan, korporasi, koperasi, BUMN, importir, pedagang, distributor dan lain-lain, dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangn. Manakala aturan itu dilanggar, maka diancam dengan sanksi ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) seperti diatur di Pasal 62 ayat (1) UUPK. Apalagi jika dampak negatifnya bersifat massif. Tentu harapan kita bahwa obat atau vaksin Covid-19 yang sedang dalam penelitian itu nantinya tidak berdampak negatif bagi konsumenya.
Makanya, segala SOP (Standar Operation Prosedur) dalam proses izin edar obat maupu makanan di BPOM, apalagi obat Covid-19 dalam pengawasan pra-pasar diharapkan tidak ada satu titik maupun koma dalam rangkaian persayarakatan atau ketentunan yang dilangkai untuk mencapai hasil maksimal dari sisi asas manfaat. Jika ada satu titi ataupun koma dalam prosedur dilangkahi maka produk obat itu dapat dikualifikasikan melanggar UUPK. Karena cacat prosedur yang hasilnya tentu tidak maksimal dan berdampak negatif bagi konsumen. Hal ini tentu tidak kita inginkan bersama.
Waspada Obat atau Vaksin Covid-19 Impor
Tanpa tensdensi negatif apapun terhadap produk obat atau vaksid-19 impor dari negara manapun bahwa rakyat Indonesia merupakan potensi pasar terbesar di Asean yang wajib dilindungi dari produk obat dan makanan yang membahayakan. Karenanya, manakala ada obat atau vaksin Covid-19 dari produk dalam negeri maupun impor adalah sebagai ruang hak normatif masyarakat konsumen untuk memilih. Nantinya tidak boleh ada monopoli pasar dari salah satu produk obat atau vaksin Covid-19 di pasar Indonesia.
KOMPAS.com – pernah mereleas beritanya bahwa PT Bio Farma (Persero) dipastikan menerima bulk atau konsentrat Ready to Fill (RTF) vaksin Covid-19 dari Sinovac sebanyak 50 juta dosis pada November 2020 sampai dengan Maret 2021 mendatang. Kepastian itu ditandai dengan penandatanganan Prelimenary Agreement of Purchase and Supply of Bulk Production of Covid-19 Vaccine, yang dilaksanakan pada 20 Agustus 2020 di Hainan, Tiongkok. Menteri BUMN Erick Thohir yang sekaligus Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN), menyampaikan bahwa dalam perjanjian itu Bio Farma tidak hanya sekedar mengolah dan mendistribusikan saja, tetapi juga ada unsur transfer teknologi.
Dalam kunjungan itu Erick Thohir menyatakan ingin memastikan transformasi dari industri kesehatan kita, di mana Bio Farma kerja sama dengan Sinovac adalah sebuah kerja sama yang win-win, bahwa menyepakati dengan Sinovac dalam hal transfer knowledge, transfer teknologi, ini yang perlu digarisbawahi,” ujar Erick dalam keterangan dilansir dari Antara, Sabtu (22/8/2020).
Selain rencana pengadaan bahan baku vaksin impor Sinovac adalah vaksin Sinopharm, yang pengadaaannya dalam bentuk jadi (bukan bahan baku bulk, melalui perusahaan G42 UAE, berkomitmen untuk menyediakan vaksin 10 juta dosis pada Desember 2020 dan 50 juta dosis Q1 tahun 2021, bahkan Cown Prince MBZ akan memberikan hibah sebesar 500 ribu dosis vaksin Sinopharm sebelum akhir 2020 yang direncanakan bekerjasama dengan Kimia Farma dan terakhir adalah pengadaan vaksin Cansino Biologics dan lainnya.
Apa pun jenis dan nama vaksin impor itu manakala akan di pasarkan di Indonesia, wajib memenuhi persyaratan normatif yang diatur dalam pasal 8 ayat (1) selain wajib memenuhi standar pada huruf a UUPK yang tersebut di atas, juga wajib menjauhi larangan-larangan antara lain yang disebutkan pada pasal dan ayat yang sama pada huruf d, e, f, g dan h,: bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
– tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
– tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
– tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
– tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
– tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
Berdasarkan larangan-larangan normatif di atas yang wajib ditaati oleh para pelaku usaha termasuk BUMN menjadikan warning bagi regulator dalam hal ini pemerintah maupun lembaga independen BPOM agar benar-benar mengawasi pra-pasar atau pra-edar obat atau vaksin Covid-19 baik yang diproduksi dalam negeri maupun impor. Karena manakala sudah beredar ternyata ada dampak negatif bagi konsumen yang mengkonsumsinya, sehingga menimbulkan kerugian material dan immaterial maka seorang konsumen, sekelompok konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) semacam YLKI, dan instansi pemerintah dapat melakukan gugatan sebagaimana diatur di pasal 46 UUPK. Memang harus diakui bahwa pengawasan pada tahapan pra-pasar atau pra-edar terhadap obat dan makanan selama ini masih lemah, kalau tidak boleh dikatakan sangat lemah.
Penulis adalah Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur
& Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Periode 2020–2023