Di akhir Mei 2017, terdapat dua momen penting, pertama puasa Ramadlan, yang diperkirakan akan dimulai pada 27 Mei, dan kedua, adalah HTTS atau Hari Tanpa Tembakau Se Dunia, yang rutin diperingati pada 31 Mei. Relevansi terhadap dua momen ini, YLKI mendesak KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) untuk mengeluarkan larangan iklan rokok di televisi selama bulan Ramadlan. Kenapa dengan iklan rokok?
Saat ini di seluruh dunia, iklan, promosi dan sponsor iklan rokok sudah dilarang total, di semua lini media. Sebagai contoh, di Eropa Barat iklan rokok telah dilarang sejak 1960. Dan di Amerika Serikat iklan rokok telah dilarang sejak 1973. Demikian juga di negara-negara penghasil tembakau/rokok terbesar di dunia, seperti China, India, Brasil, Bangladesh, Jepang; pun iklan/promosi rokok telah dilarang. Terutama setelah negaranya meratifikasi/mengaksesi FCTC. Di Israel pun iklan rokok dilarang. Hanya di Indonesia, iklan/promosi rokok masih menjamur di semua lini media. Saat ini, Indonesia satu-satunya negara di dunia yang masih melegalkan iklan rokok di televisi;
Banyak anak-anak dan remaja yang menonton televisi saat iklan rokok ditayangkan, khususnya pada saat makan sahur. Secara regulasi, memang tidak melanggar, karena iklan rokok boleh ditayangkan mulai jam 21.30-05.00 waktu setempat. Pengaturan itu dengan asumsi agar iklan rokok tidak dilihat oleh anak-anak, karena sudah pada tidur. Namun, karena harus bangun pada saat makan sahur, mereka akhirnya terpapar iklan rokok yang ditayangkan pada jam santap sahur itu. Bahkan produsen rokok segaja membombardir iklan rokok pada saat makan sahur, dengan menjadikan anak-anak sebagai target utama. Ini hal yang tragis!
Industri rokok juga melakukan iklan/promosi terselubung pada jam-jam prime time (misalnya menjelang buka puasa), dengan dalih iklan korporat, bukan iklan produk. Ini jelas bentuk pengelabuhan pada publik. Sebab nama perusahaan rokok di Indonesia sama dengan nama merek produknya.
Mengiklankan iklan rokok dan menjadi sponsor acara keagamaan di televisi juga sebuah tindakan yang tidak etis. Sudah terbukti merokok bukan tindakan positif, bahkan sebagian diharamkan, tetapi malah mensponsori program di bulan suci. YLKI meminta para ustadz–yang menjadi pengasuh acara di televisi saat Ramadlan, untuk menolak jika acara tersebut disponsori rokok, baik secara terang-terangan atau terselubung.
Selain mematuhi regulasi, seharusnya industri rokok juga menjunjung etika dalam berbisnis dan memasarkan produk rokoknya. Bukan hanya mengeruk untung lewat racun adiksi pada rokok yang dipasarkan itu.
Source: YLKI