Undang-Undang Migas melegitimasi adanya kompetisi di sektor minyak dan gas, baik dari sisi hulu dan atau hilir. Hadirnya SPBU swasta, di luar SPBU Pertamina, adalah keniscayaan atas legitimasi UU Migas tersebut. Di Jakarta dan sekitarnya sudah banyak SPBU swasta asing sebagai wujud kompetisi tersebut.
Benar bahwa semakin banyak SPBU akan memudahkan akses bagi konsumen untuk membeli BBM, bahkan dengan harga dan kualitas yang kompetitif. Namun, hadirnya SPBU “VIVO” yang beberapa hari lalu diresmikan Menteri ESDM, ada beberapa anomali yang layak disorot, jika dikaitkan dengan kebijakan pemerintah itu sendiri.
Anomali pertama, karena SPBU VIVO menjual produk BBM dengan oktan (RON) rendah yakni RON 88, sama dengan RON premiumPertamina. Padahal roadmap-nya adalah pengurangan konsumsi dan distribusi RON 88 tersebut. RON 88 adalah RON yang paling rendah, tidak memenuhi standar Euro 2. Padahal saat ini standar dunia sudah dilevel Euro 4. Lihat dan bandingkan dengan Malaysia, yang menjual BBM dengan RON paling rendah 95. Lha ini pemerintah malah mendukung SPBU baru yang menjual RON 88. Ini namanya tidak konsisten dan langkah mundur. Seharusnya Menteri ESDM malu, negara lain bejibaku untuk lolos Euro3 dan Euro 4, sementara Indonesia belum lolos dengan Euro 2, karena masih melanggengkan BBM dengan RON 88?
Anomali kedua, SPBU VIVO menjual harga BBM RON 88 dibawah harga pasar. Rencananya akan dijual Rp 6.100 per liter. Bisa saja ini hanya teknik marketing untuk menggaet konsumen dimasa promosi. Kalau masa promosinya lewat, pasti akan menjual dengan harga normal atau bahkan lebih mahal.
Anomali ketiga, SPBU VIVO menjual BBM RON 88, tapi kemudian di booster menjadi RON 89. Klaim ini harus diuji dulu dilaboratorium independen untuk membuktikan kebenarannya. Namun sekalipun mengantongi RON 89, tetap jauh dari standar Euro 2.
Anomali keempat, harusnya SPBU VIVO didorong untuk beroperasi di daerah remote, seiring dengan program pemerintah yang getol dengan kebijakan satu harga untuk BBM. Di daerah tersebut masyarakat jauh lebih membutuhkan karena masih minimnya infrastruktur SPBU.
Dan anomali kelima, kenapa Menteri ESDM dan jajarannya menyambut gegap gempita beroperasinya SPBU VIVO, dan dengan perizinannya pun konon sangat mudah. Ada apa?
Pada akhirnya, dioperasikannya SPBU VIVO yang menjual BBM dengan kualitas rendah, adalah tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah itu sendiri, yang akhir-akhir ini getol mengusung kebijakan energi bersih, bahkan energi baru dan terbarukan. Dan target Indonesia untuk mengurangi produksi karbon hingga 26 persen pada 2030, adalah mimpi di siang bolong. Bagaimana mau mengurangi produksi karbon jika penggunaan bahan bakar kualitas rendah yang sangat mencemari lingkungan masih sangat dominan? *
Demikian. Terima kasih
Wassalam,
Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI
Source: YLKI