Dalam beberapa pekan terakhir, di sejumlah media cetak nasional dapat dijumpai iklan besar-besaran penjualan apartemen yang berlokasi di bilangan Cikarang – Bekasi. Malahan di beberapa pusat perbelanjaan yang satu grup dengan pengembang, dengan mudah Anda akan menjumpai counter penjualan apartemen tersebut. Janji akan menjadikan wilayah tersebut menjadi kota modern dengan segala fasilitasnya serta dilengkapi kemudahan akses jalan tol, dan akses kereta membuat banyak konsumen terpikat untuk memiliki.
Tidak ada yang salah dengan hal itu, namun dari perspektif perlindungan konsumen produk properti, fenomena ini menarik untuk dicermati setidaknya dari tiga aspek yaitu iklan/promosi produk properti, aspek legal/perijinan produk properti dan skema pembayaran produk properti.
Pre-project selling.
Fenomena pre-project selling, pemasaran produk properti sebelum dibangun (sistem indent), dalam pemasaran produk properti sudah marak dalam dua dekade terakir ini, seiring dengan pertumbuhan industri properti di Indonesia. Alasan pengembang melakukan praktik pre-project selling adalah test the water. Mengetahui respon pasar atas produk properti yang akan dibangun.
Dalam kenyataannya, praktik pre-project selling berpotensi menempatkan konsumen dalam situasi penuh risiko, ketika pengembang hanya bermodalkan brosur dan maket mengumpulkan dana masyarakat dengan janji akan membangun produk properti.
Untuk itu perlu ada pra-syarat minimal pengembang boleh melakukan praktik pre-project selling, antara lain sudah memiliki lahan dan memenuhi dokumen legal/perijinan yang dibutuhkan dalam pembangunan produk properti.
Iklan /promosi.
Salah satu hak dasar konsumen adalah hak untuk memperoleh informasi. Ada beragam sumber informasi bagi konsumen ketika akan membeli produk properti, seperti iklan, promosi dan pameran properti. Informasi standar dalam iklan/promosi pada umumnya menyangkut lokasi, harga, type rumah, status tanah, fasilitas lingkungan dan skema pembayaran.
Di luar informasi di atas, hal yang jarang diperhatikan calon konsumen adalah aspek legal/perijinan yang sudah dimiliki pengembang dari produk properti yang ditawarkan. Dari regulasi yang ada, pengaturan tentang iklan/promosi produk properti masih sangat minim. Padahal di sejumlah negara, dengan alasan untuk perlindungan konsumen, iklan/promosi produk properti diatur dan diawasi secara ketat.
Sebagai contoh di negara tetangga Malaysia, iklan produk properti selain harus mencantumkan nomor lesen (licency) pengembang dan nomor permit iklan dan jualan, juga harus mencantumkan jangka waktu berlakunya lesen dan permit tersebut, nomor rujukan dari Majlis Perbandaran (Departemen Perumahan), tanggal siap huni: dua tahun sejak tanggal perjanjian, status hak milik tanah, serta bebanan tanah (jika ada).
Dari sebagian iklan /promosi produk properti yang ada di Indonesia, informasi dasar tentang legalitas/perijinan yang sudah dikuasai pengembang justru tidak ada, padahal ini penting bagi konsumen.
Apa saja dokumen legal /perijinan yang sudah dimiliki pengembang ketika memasarkan produk properti yang wajib diketahui calon konsumen? Setidaknya ada empat infomasi tentang dokumen hukum/perijinan pengembang. Pertama, Nomor sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional. Ini untuk memastikan bahwa pengembang secara fisik dan legal sudah menguasai lokasi tanah yang akan dibangun perumahan. Kedua, Surat Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah (SIPPT) dari Pemerintah Kota/Kabupaten setempat. Dokumen ini untuk memastikan, bahwa lokasi akan dibangunnya perumahan peruntukannya sudah sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang.
Ketiga, Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemerintah Kota/Kabupaten setempat. Secara historis, Pemda DKI Jakarta pernah memberikan dispensasi kepada pengembang boleh memasarkan produk properti ketika IMB dalam proses, tetapi kebijakan ini berbuah malapetaka ketika IMB yang disetujui Pemda DKI berbeda dengan usulan pengembang. Seperti kasus Kalibata City, pengembang mengajukan permohonan membangun apartemen 25 lantai, oleh Pemda DKI, dengan alasan keselamatan penerbangan, hanya disetujui 20 lantai. Bagaimana dengan nasib konsumen yang sudah memesan lantai 21- s/d 25? Sampai akhirnya Pemda DKI menghentikan dispensasi kepada pengembang untuk menjual produk properti yang IMB-nya masih dalam proses.
Keempat, nomor keanggotaan pengembang dalam asosiasi perusahaan properti (REI). Dalam hal ada sengkete dengan pengembang, konsumen dapat meminta bantuan organisasi pengembang untuk melakukan mediasi.
Skema pembayaran
Dalam hal pembayaran, tindakan konsumen membayar lunas produk properti yang masih berupa gambar/maket adalah sangat berisiko. Secara umum, model skema pembayaran produk properti berhubungan dengan kondisi produk properti yang menjadi objek transaksi.
Pertama, tunai keras dalam bentuk konsumen membayar lunas harga jual unit produk properti dengan cara dicicil dalam jangka waktu 6 s/d 12 bulan. Skema ini cocok untuk produk properti dalam kondisi ready stock.
Kedua, melakukan pembayaran uang muka (down payment) sebesar 20 persen dari harga jual, sisanya dicicil, baik oleh konsumen langsung maupun fasilitas pinjaman dari bank (Kredit Pemilikan Ruman/Apartemen) untuk kondisi produk properti yang masih indent.
Praktik pemasaran produk properti di Australia, seperti iklan produk properti The Grandstand Claremont on The Park di Perth Australia (Kompas, 8/5/15), menggunakan skema konsumen cukup membayar uang muka sebesar 10 persen sebagai tanda jadi, sisa dibayarkan saat serah terima unit / bangunan jadi.
Untuk melindungi kepentingan konsumen dalam transaksi produk properti secara indent, sejumlah negara juga menerapkan skema pembayaran dalam bentuk adanya rekening penampung (ascrow account). Dana yang sudah dibayarkan konsumen akan diterima pengembang apabila unit produk properti yang dijanjikan sudah diserahterimakan. Dengan demikian, pembayaran yang dilakukan konsumen ketika unit belum jadi dibukukan sebagai piutang dan baru menjadi revenue ketika sudah terjadi serah terima unit produk properti.
Sudaryatmo
Source: YLKI