Pertentangan antara pasar modern dan pasar tradisional belum juga berakhir. Banyak kalangan menilai pemerintah tidak melakukan langkah tegas untuk melindungi keberadaan pasar tradisional yang semakin terjepit.
Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jatim, Said Utomo mengatakan, untuk melindungi pasar tradisional sebaiknya dilakukan batasan penjualan produk.
“Misalnya saja ritel modern jangan menjual barang dengan volume kecil. Ritel modern seharusnya khusus menjual barang-barang seperti gula dan lain-lain dalam kemasan di atas 10 kilo gram saja,” ujarnya, Jumat (20/07).
Dengan adanya pembatasan tersebut, untuk pembelian dalam jumlah kecil misalnya di bawah 5kg bisa dilakukan di pasar-pasar atau toko tradisional.
Tidak hanya kebutuhan pokok seperti gula, beras dan telur saja. Said mengatakan untuk sabun, pasta gigi dan lain-lain yang dijual di supermarket juga dikemas dalam sistem paket.
“Dengan demikian, pasar dan toko tradisional tetap akan bergairah,” ujarnya. Perlindungan tersebut diharapkan bisa melindungi pengusaha kecil.
Sebelumnya aturan perlindungan untuk ritel tradisional sudah dilakukan dengan mengatur zonasi serta trading term barang yang dijual. Bahkan masalah jam buka ritel modern di area juga diusulkan dibatasi sehingga tidak bertabrakan dengan jam buka ritel tradisional.
Di sisi lain, ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Jatim, Abraham Ibnu mengusulkan agar istilah pasar tradisional diubah menjadi pasar segar. Hal ini diharapkan bisa memberikan efek psikologis berbeda kepada pedagang maupun konsumen.
“Seperti di Bumi Serpong Damai (BSD) Jakarta, pasar tradisional disebut dengan istilah pasar segar,” ujarnya. Sebutan pasar segar sekaligus sebagai penanda bahwa barang yang dijual di pasar tersebut merupakan makanan segar. Misalnya saja sayur, buah, daging serta ikan.
Sumber : Centroone