Oleh : Dr. Firman T Endipradja
PUTUSAN terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2/PUU-XIX/2021 sempat membuat beberapa kalangan, terutama yang tengah menghadapi dan terdampak pandemi kaget, betapa tidak karena dianggap bahwa Putusan MK itu menetapkan penarikan barang leasing tidak lagi harus melalui pengadilan dan pengadilan hanya sebagai alternatif.
Dengan kata lain, pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri hanya alternatif dan bukan kewajiban. Dengan demikian kebijakan mengenai relaksasi kredit pun dianggap tidak lagi berlaku.
Untuk mengetahui isi dan substansi dari Putusan MK tersebut, bisa dilihat/dicermati halaman 83 paragraf 3.14.3 dengan jelas dikatakan bahwa :
“Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memahami secara utuh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dalam kaitannya dengan kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia. Adanya ketentuan tidak bolehnya pelaksanaan eksekusi dilakukan sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri pada dasarnya telah memberikan keseimbangan posisi hukum antara debitur dan kreditur serta menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi. Adapun pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri sesungguhnya hanyalah sebagai sebuah alternatif yang dapat dilakukan dalam hal tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur baik berkaitan dengan wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur. Sedangkan terhadap debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia, maka eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan oleh kreditur atau bahkan debitur itu sendiri;
Bahwa selain itu, jika dicermati petitum permohonan Pemohon, yaitu petitum angka 2 yang pada pokoknya meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai kembali ke Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 sebelum diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang menurut Pemohon justru dengan adanya Putusan Mahkamah, eksekusi melalui pengadilan telah menyulitkan Pemohon selaku kolektor atau perusahaan pembiayaan, aparat penegak hukum, dan konsumen terhadap pelaksanaan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia. Menurut Mahkamah, Pemohon tidak memahami substansi Putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya karena penafsiran norma dalam frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam norma Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap” sudah tepat dan memberikan sebuah bentuk perlindungan hukum baik kepastian hukum maupun keadilan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian fidusia;
Bahwa di samping pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, penting bagi Mahkamah menegaskan perihal dalil-dalil yang dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan dalam perkara a quo antara lain proses eksekusi lama, biaya eksekusi lebih besar dibanding pendapatan barang fidusia, dan berpotensi hilangnya objek jaminan di tangan debitur, sesungguhnya lebih kepada persoalan-persoalan konkret. Hal tersebut dapat saja terjadi dalam hubungan hukum antarprivat yang sifatnya sangat spesifik dan kompleks. Dalam batas penalaran yang wajar, hal-hal tersebut tidak dapat diakomodir dengan selalu menyelaraskan norma dari undang-undang yang bersangkutan. Terlebih lagi, terhadap norma yang memang tidak terdapat persoalan konstitusionalitasnya. Apalagi norma yang dimohonkan Pemohon telah dipertimbangkan dan diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. Oleh karena itu, belum terdapat alasan hukum dan kondisi yang secara fundamental berbeda bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya terhadap isu pokok yang berkaitan dengan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia.
Isi/penjelasan Putusan MK di atas, yang merupakan permohonan dari seorang pegawai perusahaan pembiayaan dengan jabatan kolektor internal, dimana permohonan uji materi tersebut merupakan buntut dari putusan MK nomor 18/PUU-XVII/2-2019, telah sejalan dan memperkuat Putusan MK ini yang diputuskan dalam sidang pengucapan putusan di MK, 6 Januari 2019, yang memutuskan bahwa penarikan barang leasing tidak boleh dilakukan sepihak melainkan harus melalui pengadilan.
Di samping itu, putusan ini sejalan pula dengan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mewajibkan kepada debt collector atau penagih utang perusahaan pembiayaan untuk mengikuti sejumlah ketentuan dalam proses penagihan kepada konsumen, seperti membawa dokumen2 yaitu kartu identitas, sertifikat profesi dari lembaga resmi, surat tugas dari perusahaan pembiayaan, dan bukti jaminan fidusia.
Selain itu perusahaan pembiayaan wajib mengirim surat peringatan terlebih dahulu kepada konsumen terkait kondisi kolektabilitas yang sudah macet. Debt collector dilarang menggunakan ancaman, kekerasan atau tindakan yang bersifat mempermalukan. Penagihan juga mestinya dilakukan dengan menghindari tekanan-tekanan bersifat fisik atau verbal.
Ketentuan lain, penagih harus memperlihatkan Perjanjian antara perusahaan debt collector dengan Lbg Pembiayaan dan dalam eksekusinya harus didampingi petugas kepolisian sesuai Perkap Nomor 8 Tahun 2011 ttg Eksekusi kendaraan/unit jaminan fidusia.
Seiring dengan kebijakan OJK di atas, ironisnya masih cukup banyak Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang belum menyesuaikan Perjanjian/Klausula Baku yang dibuatnya, dengan POJK No. 1 Tahun 2013, SE OJK No.13 Tahun 2014 dan Pasal 18 UU No.8/1999 ttg Perlindungan Konsumen (UUPK). Pasal 62 ayat (1) UUPK menyebutkan Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak dua miliar rupiah.
Selama ini banyak kasus penarikan langsung barang leasing melalui pihak ketiga seperti debt collector atau penagih utang. Cara penarikannya pun seringkali dilakukan sewenang-wenang. Misalnya, debt collector melakukan langsung kepada konsumen di mana pun, kapan pun, seperti banyak kasus yang terjadi selama ini.
Dalam putusan ini, MK menyatakan selama ini tidak ada tata cara pelaksanaan eksekusi atau penarikan barang leasing jika konsumen melewati tenggat pembayaran. Akibatnya muncul paksaan atau kekerasan dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pembayaran tersebut atau biasa disebut debt collector.
Sementara, jika merujuk ketentuan eksekusi yang diatur Pasal 196 HIR atau Pasal 208 Rbg menyebutkan, eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh kreditur–atau dalam istilah hukum disebut sebagai penerima fidusia atau penerima hak, melainkan harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri.
Ketentuan MK ini diputuskan sudah tepat, yakni demi memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan antara pihak leasing dengan konsumen serta menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi. Oleh karena itu, segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi itu harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. (*)
*) Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI/Dosen Hukum Perlindungan Konsumen & Kebijakan Publik Pascasarjana Universitas Pasundan.