Ternyata, ada kasus serupa di rumah yang yang sama. Seorang dokter Rumah Sakit National Hospital Surabaya, Agustus 2017, dilaporkan ke Polda Jatim atas dugaan pencabulan oleh calon perawat.
Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Frans Barung Mangera, membenarkan laporan itu, bahwa, dugaan pencabulan dilakukan seorang dokter berinisial R kepada calon perawat berinisial OP.
M Said Sutomo – Ketua YLPK (Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen) Jatim, mengaku prihatin dengan lemah perlindungan terhadap konsumen. “Kejadian pelecehan seksual terhadap pasien semcam ini, baik di rumah sakit maupun di ruang praktik pribadi dokter, seringkali terjadi. Tetapi, karena pasien dalam posisi lemah, maka, tidak berani berteriak,” kata M Said Sutomo, kepada duta.co, Minggu (28/1/2018).
Merujuk kasus OP, dugaan pelecehan seksual di Rumah Sakit National Hospital Surabaya ini, posisi calon perawat itu lemah. Di samping tidak ada saksi, juga bekas kejahatan itu sulit dibuktikan. Untungnya, polisi masih mau bekerja keras untuk menelusurinya.
Menurut Kombes Frans Barung Mangera, dugaan pencabulan itu terus diselidiki. “Prosesnya sudah penyidikan, namun belum ada tersangka,” kata Barung, Sabtu (27/1).
Aksi dugaan pencabulan dokter R kepada OP, itu terjadi saat proses tes masuk keperawatan. Korban yang baru saja lulus sekolah perawat melamar ke Rumah Sakit National Hospital Surabaya. Saat tes kesehatan, korban diminta masuk ke ruang pemeriksaan medis.
“Katanya perlu ada pemeriksaan. Pintu ditutup, korden juga ditutup. Setelah itu mau diperiksa pakai alat yang ke telinga (stetoskop). Di suruh buka baju, tiba-tiba dokter itu menggebu-gebu, meremas dan memasukkan tangannya ke alat ke…,” OP kepada media televisi.
Merasa mendapatkan perlakuan yang tidak wajar, korban lalu melapor ke Polda Jatim. Okky Suryatama, kuasa hukum OP, saat dikonfirmasi menambahkan, kliennya sempat bertanya kepada dokter yang memeriksanya, namun si dokter tidak menjawab.
“Klien saya juga sempat berkonsultasi kepada dosennya, sebelum melapor ke polisi,” jelasnya.
Dia berharap, polisi segera menetapkan tersangka dalam kasus tersebut, mengingat proses hukum kasus tersebut sudah sampai pada penyidikan.
Menurut M Said Sutomo, kejadian ini selain dapat dikualifikasikan melanggar kode etik kedokteran, jika pelakunya dokter. Melanggar kode etik perawat jika yang berbuat perawat. Juga melanggar UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
“Karena jasa kesehatan yang dijual tidak memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan bagi pasien. Pasien adalah konsumen, sedangkan rumah sakit, praktik jasa kesehatan dokter bersama asistennya adalah pelaku usaha karena menerima imbalan jasa kesehatan yang dibayar oleh pasien atau konsumen,” jelasnya.
Jika kejadian itu terjadi dalam rumah sakit, tambahnya, maka yang bertanggungjawab adalah manajemen atau pimpinan rumah sakit, bersama dokter dan perawatnya. “Apalagi jika di dalam rumah tersebut tidak memiliki SOP pelayanan, ini pelanggaran.”
Rumah sakit harus memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP). Misalnya, jika pasien itu perempuan, maka, harus dilayani oleh perawat perempuan. Tetapi, kalau ada pasien perempuan dilayani perawat pria, itu harus dikonsultasikan dulu dengan pasien atau keluarganya.
“Jadi manajemen internal rumah sakit itu harus ada SOP-nya. Kalau melanggar sanksinya berat. Kalau pelayanan kesehatan, di mana pun berada, tidak memiliki SOP, maka, dapat dikualifikasikan melanggar UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ada pasal 8 ayat (1) huruf a, sanksinya pidana kurungan 5 tahu atau pidana denda Rp2 miliar. Aparat penegak hukum bisa bergerak,” jelas Ketua YLPK Jatim ini.
Sumber berita : DUTA CO