Entah sudah diperingati kali keberapa Hari Perhubungan Nasional (Harhubnas) pada hari peringatan 17 September 2012 oleh pemerintah secara nasional. Tapi dari peringatan demi peringatan ternyata tak pula mampu menurunkan tingkat kecelakaan lalulintas public transport darat, laut, dan udara.
Terus meningkatnya korban kecelakaan demi kecelakaan yang menelan korban jiwa manusia itu pertanda kegagalan pemerintah dalam mengakomodasi kepentingan umum dalam menyediakan public transport yang murah, aman, dan nyaman. Akibatnya masyarakat mencari alternatif lain dengan bersepeda motor meskipun mengandung resiko lebih besar.
Kebutuhan public transport telah menjadi kebutuhan dasar hajat hidup manusia untuk mobilisasi aktivitasnya. Namun ketersediaan dan keandalan public transport kita masih jauh dari Visi dan Misi yang diembannya. Meski Rencana Pembangunan Jangka Panjang Departemen Perhubungan (RPJP Dephub) berupa kebijakan transportasi bersifat indikatif untuk periode 20 (dua puluh) tahun ke depan (2005-2025), tapi penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Tatanan Makro Strategis Perhubungan yang telah berjalan dalam kurun waktu tujuh tahun ini ternyata belum tampak hasilnya.
Benturan Visi dan Misi
Secara substansial, Tatanan Makro Strategis Perhubungan merupakan perangkat hukum di bidang Transportasi dan Tata Ruang, serta penjabaran transportasi secara sistemik, strategik, konsepsional, makro, dan filosofis yang dirumuskan menjadi Sistem Transportasi Nasional (SISTRANAS). Tapi ketika pada skala nasional, SISTRANAS itu ingin diwujudkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Pulau/Kepulauan (RTRW Pulau/Kepulauan) ternyata selalu menuai kendala.
SISTRANAS yang ingin diwujudkan dalam kerangka Visi dan Misi Presiden Terpilih itu ternyata menemukan benturan dengan Visi dan Misi Gubernur Terpilih yang memiliki keyakinan politik berbeda ketika akan diwujudkan ke dalam Tataran Transportasi Wilayah (TATRAWIL). Begitu pula ketika TANTRAWAIL yang disusun mengacu kepada Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan (RTRW Pulau/Kepulauan) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang berpedoman pada kerangka Visi dan Misi Gubernur Terpilih juga seringkali berbenturan dengan Visi dan Misi Bupati/Walikota Terpilih pada skala lokal (Kabupaten/Kota) yang punya keyakinan politik berbeda. Pada akhirnya kehendak SISTRANAS yang ingin mensinergikan ke dalam Tataran Transportasi Lokal (TATRALOK) yang disusun berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota menemukan jalan buntu.
Karenanya, mimpi keberhasilan pembangunan di sektor public transport baik secara makro dan mikro masih utopia. Sebab, kegagalan secara makro dapat dilihat dari nihilnya sumbangan nilai tambahnya terhadap Produk Domestik Brutto, dampak ganda (multiplier effect) yang ditimbulkannya terhadap pertumbuhan sektor-sektor lain dan ketidakmampuannya meredam laju inflasi akibat hambatan-hambatan kelancaran distribusi barang dan jasa ke seluruh pelosok tanah air. Sedangkan dari aspek mikro, ketidakberhasilannya dapat dikaji dari kapasitas yang tersedia, kualitas pelayanan, aksesibilitas, kemampuan daya beli masyarakat dan utilisasi yang tersedia.
Sinergi Eforia Menolak
Eforia Otonomi Daerah baik pada Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menafsirkan Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 terlalu mengesampingkan kepentingan publik. Tapi justru lebih menonjolkan kepentingan daerah daripada kepentingan nasional. Akibatnya banyak muncul Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi.
Lucunya, kebanyakan Pemerintah Daerah telah menolak dan mengajukan yudicial review terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 69 dan Nomor 70 Tahun 2001 yang menimbulkan kejanggalan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesian (NKRI). Semestinya institusi pemerintah (Pemerintah Kabupaten/Kota) tidak menolak dan melakukan yudicial review terhadap produk hukum NKRI.
Namun, hal itu tetap dipandang perlu adanya penyempurnaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dengan beberapa pertimbangan dalam penyempurnaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1992 antara lain:
Pertama, aktivitas public transport pada hakekatnya hanya mengenal daerah bangkitan dan tarikan sehingga tidak dapat dipenggal-penggal atas daerah administratif tertentu tapi harus dalam perwujudan taknis yang mencerminkan NKRI.
Kedua, pembagian kewenangan wilayah laut 4 mil untuk Kabupaten/Kota dan 12 mil untuk provinsi sebagaimana pada Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1992 perlu dihapuskan, mengingat pada dasarnya wilayah laut merupakan perekat dari pulau pulau di Indonesia menjadi suatu NKRI, sehingga tidak dapat dibagi-bagi berdasarkan kepentingan daerah.
Ketiga, perlu ada kejelasan terhadap pengertian “urusan pemerintahan”, agar hal tersebut tidak diartikan secara luas, yang seakan-akan mencakup pula urusan pengusahaan yang telah dilaksanakan oleh BUMN.
Sebagai respon terhadap berbagai aspirasi perubahan itu, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai penyempurnaan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999. Terkait dengan itu Departemen Perhubungan berperanserta aktif bersama dengan Departemen Dalam Negeri dalam menyusun draft Peraturan Pemerintah yang menetapkan kewenangan-kewenangan bidang perhubungan yang akan diserahkan kepada daerah.
Dalam rangka mewujudkan kelancaran dan keserasian sinergi pelaksanaan tugas di bidang perhubungan antara Departemen Perhubungan dengan Pemerintah Provinsi, sesuai dengan hasil pembahasan bersama antara jajaran Departemen Perhubungan dengan Dinas Perhubungan Provinsi pada Rapat Kerja Departemen Perhubungan Tahun 2002 telah ditetapkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 4 Tahun 2003 tentang Tata Hubungan Kerja antara Departemen Perhubungan dengan Pemerintah Provinsi selanjutnya dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pertanyaannya: adakah progres Kerja, Kerja, dan Kerja pembangunan public transport dalam tahun 2012 ini? Masih menjadi pertanyaan besar!
Oleh: M. Said Sutomo
Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur