Hukum Pemakai Formalin

No comment 1723 views

formalinJakarta – Penjual usus ayam berformalin harus mendapatkan sanksi hukum yang tegas agar penjualan makanan berbahaya kepada konsumen tidak terulang. Keputusan tersebut menunjukkan ketegasan dan kesungguhan pemerintah melindungi kesehatan konsumen.

Temuan atas usus ayam berformalin menyeruak sepanjang pekan lalu. Hari Kamis, polisi mendapati usus ayam berformalin seberat 650 kilogram di sebuah rumah potong ayam di Jakarta Barat. Usus itu dipasarkan oleh pelaku di Pasar Tambora. Seorang pemilik berinisial LTF ditetapkan sebagai tersangka.

Hari Sabtu, pemerintah merazia sejumlah pasar dan mendapati usus berformalin dengan berat total 24,5 kilogram. Usus yang mengandung bahan berbahaya itu ditemukan di Pasar Serdang, Kemayoran, serta di kelompok Arella, Jalan Penghulu Kelurahan Cipulir, Kebayoran Lama.

Selain itu, petugas juga menyita 5 liter formalin di Pasar Cipete. Formalin itu diduga digunakan untuk mengawetkan makanan. Berbeda dengan penanganan temuan usus berformalin di Jakarta Barat, pemerintah hanya memberikan peringatan kepada para penjual dan menyita usus berformalin itu.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo, Senin (29/11), mengatakan, penggunaan formalin untuk mengawetkan makanan mentah sudah sering terjadi, termasuk pada kasus usus yang diawetkan dengan formalin.

”Razia makanan segar perlu sering dilakukan untuk mencegah peredaran makanan berformalin,” kata Sudaryatmo.

Pemerintah perlu menggandeng kepolisian sehingga pelaku yang tertangkap bisa langsung diproses secara hukum. ”Butuh penegakan hukum yang tegas untuk menindak penjual atau produsen yang menjual bahan makanan dengan formalin,” ujar Sudaryatmo.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen mempunyai sejumlah hak, antara lain berhak mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi makanan.

Sebelumnya, Kepala Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta Ipih Ruyani mengatakan, penjual usus ayam yang berformalin diberi sanksi berupa peringatan. Apabila pelaku mengulangi perbuatan mereka hingga tiga kali, pemerintah baru mengambil langkah hukum.

Di sisi lain, Sudaryatmo berpendapat, pemerintah juga perlu menyediakan saluran pengaduan apabila masyarakat menemukan atau curiga dengan adanya makanan berpengawet formalin.

”Selama ini, masyarakat bingung harus mengadu ke mana jika mereka menemukan atau ragu dengan makanan yang dijual di pasar. Kalau ada saluran pengaduan, mereka bisa segera menyampaikan masalah ini kepada pemerintah dan pemerintah menindaklanjuti dengan merazia tempat yang dimaksud,” kata Sudaryatmo.

Pentingnya menindak tegas pengguna formalin untuk pengawetan bahan makanan juga datang dari Guru Besar Ilmu Kedokteran Komunitas dan Keluarga Universitas Indonesia Firman Lubis.

”Pelaku perlu diberi sanksi tegas karena penggunaan formalin sangat membahayakan kesehatan manusia. Kalau tidak diberi sanksi keras, kejadian seperti ini akan terulang,” ujarnya.

Firman mengatakan, selain pada kasus usus, penggunaan formalin untuk bahan pengawet makanan juga beberapa kali ditemukan dalam makanan mentah, seperti ikan, daging ayam, daging sapi, bahkan juga tahu dan tempe.

Tidak hilang

Formalin yang digunakan untuk pengawet bahan makanan ini tidak hilang kendati makanan sudah dicuci. ”Makanan yang sudah kena formalin tidak bisa dibersihkan meski sudah dimasak sekalipun,” kata Firman.

Efek formalin yang terkonsumsi manusia tidak langsung terasa. Zat berbahaya itu mengendap dan terakumulasi.

Penyakit akibat formalin bisa saja terdeteksi bertahun-tahun setelah orang mengonsumsi makanan. Sejumlah penyakit bisa timbul akibat formalin dalam tubuh, antara lain kanker.

Di sisi lain, calon konsumen juga perlu mengenali makanan berformalin, antara lain makanan itu bertekstur lebih kenyal serta tidak dihinggapi lalat kendati makanan itu berbau amis.

Apabila dibiarkan dalam suhu ruangan, makanan itu juga tidak membusuk bahkan hingga tiga hari kemudian. Kemampuan pengawetan formalin ini, menurut Firman, yang juga menjadi pilihan bagi penjual bermodal pas-pasan untuk mengawetkan makanan segar.

”Apalagi, sebagian pedagang tidak punya mesin pembeku makanan yang bisa menampung bahan makanan yang tidak laku terjual pada hari itu,” katanya.

Masalah pengawetan ini, menurut Firman, juga perlu disosialisasikan kepada penjual agar mereka tidak lagi memakai bahan berbahaya.

Sumber : Kompas