Kemana Dana BPDPKS Rp 7,6 Trilyun Guna Pengadaan 1,6 Milyar Liter Migor Untuk Stabilisasi Harga di Pasar ?

Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur mempertanyakan dana subdisi sebesar Rp 7,6 triliun yang dikelola oleh  Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS ) untuk menstabilkan harga minyak goreng (migor) dengan pengadaan  1,6 milyar liter migor di pasar, karena sampai saat ini harga migor di pasar modern maupun di pasar tradisional tetap meroket, yang menyebabkan masyarakat konsumen dan para pelaku usaha kuliner kecil mengeluh sejak awal bulan Januari 2022.

Saat ini, pertengahan bulan Februari 2022 harga migor di pasaran sudah tembus hingga Rp  17.000 – Rp 18.000/liternya.   Itupun masyarakat konsumen pada umumnya konsumen merasa sulit mendapatkannya. Padahal, pemerintah telah merelease bahwa migor kemasan sederhana ditetapkan dengan harga jual Rp 14.000 (awal Januari 2022).

Direktur Utama  BPDPKS, Eddy Abdurrahman dalam acara dialog di Metro TV pada acara Ekonomic Challengges-Gejolak Harga Minyak Goreng mengatakan, bahwa BPDPKS mengelola dana sebesar Rp 7,6 trilyun untuk menstabilkan harga dengan pengadaan  1,6 milyar liter migor . (periksa juga laporan di bpddp.or.id, 28 Januari 2022).

“Sampai pemerintah merasa perlu merelease kedua,  melalui Surat Edaran (SE) Dirjen PDN Kemendag tanggal 18 Januari 2022, bahwa pemerintah  menentukan satu harga jual Rp 14.000 /liter untuk semua migor kemasan sederhana dan premium, yang diharapkan berlaku sejak 19 Januari 2022 di seluruh anggota ritel modern APRINDO dan 1 (satu) minggu kemudian berlaku di pasar tradisional dan ritel lokal. Tetapi, pada kenyatannya SE itu tetap tidak efektif, ” ucap Muhammad Said Sutomo, Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur dan ANggota Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI periode 2020-2023.

Kemudian per tanggal 28 Januari 2022 diberlakukan per-1 Februari 2022 Kemendag merelease  lagi kebijakan harga baru. Bahwa minyak curah dengan harga Rp 11.500, minyak kemasan sederhana Rp 13.500 dan minyak premium Rp 14.000 /liter.

Menurut M. Said Sutomo, Ketua YLPK Jawa- Timur menyatakan, solusinya adalah pemerintah harus memberikan subsidi itu langsung kepada masyarakat pemakai via RT/RW dengan nilai tertentu yang bisa dipakai sebagai voucher potongan harga pada saat membeli di ritel modern/tradisional dan seterusnya bisa di reimburse ke pabrikan.

“Tidak melakukan operasi pasar jika ada rantai distribusi (khususnya di pasar tradisional/ritel lokal) yang belum dijalankan karena itu akan berdampak harga tetap tinggi,” ucapnya.

Menurut M. Said Sutomo , berdasarkan  survey di lapangan sampai sekarang, ternyata  di pasar harga tetap  tinggi. Harga  migor belum belum juga stabil, masih memberatkan ibu ibu rumah tangga yang butuh migor setiap harinya ke pasar  tradisional maupun pasar modern.

Dan selanjutnya, masih menurut Said Sutomo, solusinya antara lain adalah pemerintah  harus memberikan subsidi itu langsung kepada masyarakat pemakai migor via RT/RW dengan nilai tertentu yang bisa  dipakai sebagai voucher potongan harga  pada saat membeli di ritel modern/tradisional, dan seterusnya pelaku usaha bisa mereimburse  ke pabrikan.

Sebaiknya tidak melakukan operasi pasar dan subsidi jangan diberikan kepada   pelaku usaha, karane operasi pasar yang dilakukan oleh pemerintah selama tidak menyelesaikan akar msalahnya.

Justru merusak sistem distribusi migor yang selama ini telah terbangun mata rantainya dari pabrikan sampai kepada konsumen akhir migor yang semuanya menerima asas manfaatnya dan subsidi kepada pelaku usaha selama ini tidak transparan pengelolaannya.

“Tidak melakukan operasi pasar, karena operasi pasar akan merusak mata rantai distribusi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), khususnya di pasar tradisional/ritel lokal yang tidak berjalan selama ini. Sehingga ketika operasi pasar berhenti , maka harga migor akan berdampak kembali ke harga asal yaitu tetap tinggi,” ucapnya.

M Said mengatakan, bahwa transparansidan pengawasan terhadap pelaksanaan dan pertanggungjawaban pada publik tentang pemanfaatan dana subdisi  stabilisasi harga migor yang sebesar Rp 7,6 trilyun untuk pengadaan dan distribusi sebanyak 1,6 milyar liter migor kepada masyarakat konsumen yang dikelola BPDPKS untuk masa 6 bulan itu adalah sangat penting.

“Pengelolaan dana BPDPKS itu perlu dipertanyakan bagaimana pemerataannya di pasar moder dan tradisional?,” ujar M Said Sutomo.

Hanya Konsen Harga di Pasar

Melihat harga migor yang tetap tinggi, membuktikan mekanisme pasar tidak normal. Adanya supply dan demad yang tidak seimbang. Ada dugaaan dipermainkan oleh pihak pihak yang tidak punya  etikad baik dengan memanfaatkan kondisi pasar yang tidak seimbang antara supply dan  demand.

“Jika demand meningkat dan supply barang berkurang, maka berakibat harga akan naik seperti sekarang ini. Dan sebaliknya, jika supply berlebih sedangkan demand berkurang, maka harga barang di pasar akan turun,” katanya.

Kini menjadi tugas pemerintah untuk menyeimbangkan antara supply dan demand. Negara harus hadir di tengah pasar yang tidak seimbang itu.

“Nah, adanya lonjakan harga migor di pasaran yang menyebabkan masyarakat  dan pelaku usaha kuliner mengeluhkan belakangan ini, membuktikan bahwa peran pemerintah belum efektif dan negara belum hadir dalam mengendalikan keseimbangan suplly dan demand migor. Anehnya lagi, sekarang ini ada harga barang, tetapi tidak ada barangnya,” tegas M Said Sutomo.

Sambil memperlihatkan foto foto aduan konsumen yang dikirimkan ke Handphone nya di supermarket maupun pasar tradisional yang menunjukkan  gelondangan (tidak ada migor) di rak rak kosong. Harga  migor yang ada dan tertera di rak barang, namun migornya tidak ada.

“Peran pemerintah dan negara harus hadir saat ini. Perencanaan perlindungan konsumen harus bagus dalam memenuhi kebutuhan konsumen Indonesia, sebagaimana diatur dalam Peratuan Presiden RI Nomor 50 Tahun 2017 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen,” kata M Said Sutomo.

Sumber Berita : Media Surabaya Rek